WHO dan para pakar di sejumlah negara terus memperbarui informasi soal virus korona. Bukan tidak konsisten, melainkan karena pemahaman terus bertambah atas Covid-19.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
Apabila ukurannya adalah jumlah infeksi dan korban tewas, tidak ada negara yang siap menghadapi virus korona baru yang bernama resmi SARS-CoV-2 itu. Negara-negara di Amerika utara dan Eropa barat, yang dianggap makmur dan memungut pajak dengan tarif rata-rata 40 persen ditambah iuran jaminan sosial serta asuransi, kini mencatatkan total puluhan ribu penularan dan ribuan korban tewas.
Hingga Minggu (22/3/2020), hampir 27.000 orang di Amerika Serikat tertular dan 348 orang di antaranya tewas. Sementara Italia, negara dengan tarif pajak hingga 43 persen per tahun ditambah iuran jaminan sosial dan asuransi, malah menjadi pusat baru wabah. Sudah hampir 54.000 orang tertular Covid-19 di Italia dan hampir 5.000 orang di antaranya meninggal.
Banyak yang menyebut hal itu terjadi karena pemerintah serta fasilitas dan tenaga kesehatan AS ataupun Italia tidak siap. Tidak sedikit pula yang melontarkan aneka pendapat soal keadaan terkini di negara yang sedang menghadapi wabah itu.
Pandemi ini membingungkan antara lain karena masih baru. Meski disebut dari keluarga virus korona, yang telah memicu SARS dan MERS, SARS-CoV-2 belum sepenuhnya dipahami. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan para pakar di sejumlah negara terus memperbarui informasi soal virus ini. Bukan tidak konsisten, melainkan karena pemahaman terus bertambah atas Covid-19. Perbedaan genetika dan tempat hidup manusia serta mutasi virus memungkinkan ada perbedaan-perbedaan informasi soal Covid-19.
Hal itu, antara lain, tecermin dari berbagai hasil penelitian soal Covid-19. Peneliti menemukan jenis virus di Italia berbeda dengan yang ditemukan pada pasien asal China. Peneliti juga menemukan virus bisa hidup hingga berhari-hari, tergantung menempel di mana. Aneka uji coba digelar untuk mengetahui antivirus paling ampuh untuk SARS-CoV-2. Para pakar kesehatan saling berbagi pengalaman tentang cara terbaik menanggulangi wabah di lokasi kerja masing-masing.
Tidak ada satu pun upaya itu bisa dilakukan sendirian. Peneliti di Italia bisa tahu virus di negara itu berbeda dari yang di China karena ada pembagian informasi. Tidak ada pembagian informasi tanpa kerja sama lintas bidang, lintas negara, lintas komunitas.
Kerja sama dan solidaritas global tidak selalu dilakukan di laboratorium canggih. Saling mendoakan dan menguatkan di antara anggota masyarakat adalah bentuk terkecil kerja sama yang kini terjadi di tengah pandemi. Menawarkan tenaga, mengirimkan aneka perlengkapan kesehatan dan pangan, hingga membuat aneka perlengkapan pelindung secara swadaya juga bentuk solidaritas dan kerja sama.
Tentu, tidak semua membagikan energi positif. Tetap banyak yang memilih mengomeli dan menyalahkan apa pun, tanpa ada kejelasan apa yang telah dilakukan untuk mengakhiri krisis ini. Semua salah kecuali diri sendiri. Ada pula yang mempertahankan egoisme dengan cara memborong aneka barang sehingga harganya melambung. Banyak juga, dengan aneka alasan, tidak mau mematuhi imbauan mencegah kerumunan dan menjaga jarak untuk mengurangi penularan.
Setiap krisis memang seperti itu, penuh pro dan kontra dengan dampak jelas. Jika pertentangan meluas menjadi perpecahan, pandemi dan virus akan menang. Sebab, manusia akan menghabiskan energinya untuk bertentangan, alih-alih bekerja sama mencari cara mengalahkan pandemi.
Krisis sedang terjadi dan pilihan ada di tangan masing-masing untuk menyelesaikannya. Jika sulit terlibat kerja sama dalam bentuk penelitian di laboratorium atau memproduksi alat kesehatan, lakukan hal termudah dalam mengatasi pandemi ini: jaga jarak!