Dunia terus berpacu melawan waktu mengembangkan vaksin dan obat untuk menghentikan pandemi Covid-19. Kita pun bisa berperan dengan menjaga tubuh tidak terinfeksi dengan karantina diri dan pembatasan sosial.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Belum tiga bulan dunia mengenal virus korona baru penyebab Covid-19. Informasi yang dimiliki masih terbatas. Tapi kini para pakar harus berjuang mengembangkan vaksin dan obat untuk menghentikan pandemi ini.
Satu hal yang perlu kembali diingat oleh publik adalah bahwa virus korona SARS-CoV-2 ini adalah virus korona jenis baru yang berbeda dengan virus korona lain yang sudah diketahui sebelumnya. Virus SARS-CoV-2 juga berbeda dengan virus penyebab flu.
Informasi mengenai virus ini akan terus berkembang seiring dengan studi-studi yang dilakukan para peneliti.
Dengan pengetahuan yang terbatas ini para pakar berkejaran dengan waktu untuk mengembangkan vaksin dan terapi yang efektif sebab hingga Minggu (22/3/2020) jumlah penduduk dunia yang terjangkit Covid-19 sudah mencapai lebih dari 300.000 orang yang tersebar di sedikitnya 150 negara, sekitar 13.000 di antaranya meninggal dunia.
Pada jumpa pers harian di Geneva, Swiss, Jumat (28/2/2020), Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan, ada lebih dari 20 kandidat vaksin untuk mencegah infeksi SARS-CoV-2 yang sedang dikembangkan. Hasilnya paling cepat bisa didapat 12-18 bulan lagi.
Salah satu kandidat vaksin yang sedang menjalani uji klinis adalah mRNA-1273 yang dikembangkan oleh perusahaan yang berbasis di AS, Moderna. Salah satu perusahaan AS lainnya yang menyusul melakukan uji klinis bulan April 2020 adalah Inovio dengan kandidat vaksin INO-4800.
China yang menjadi sumber awal pandemi Covid-19 pun mengerahkan 1.000 pakar dan melibatkan militer dalam mengembangkan vaksin. Bahkan, China sudah merekrut relawan untuk uji klinis. “China tidak akan lebih lambat dari negara lain,” ujar Wang Junzhi, pakar kontrol kualitas produk biologi dari Chinese Academy of Science dalam jumpa pers Selasa (17/3/2020) seperti dilaporkan New York Times, Kamis (19/3/2020).
Eropa juga mulai mengembangkan kandidat vaksin Covid-19. Di Inggris, misalnya. Seperti dilaporkan the Guardian, Kamis (19/3/2020), dipimpin oleh Prof Sarah Gilbert para peneliti di Oxford University menjadwalkan uji klinis kandidat vaksin, dinamai ChAdOx1, bulan depan. ChAdOx1 ini merupakan satu dari lima kandidat vaksin di dunia yang tahapan pengembangannya paling maju.
Jerman juga tak ketinggalan. Perusahaan farmasi Jerman yang berbasis di negara bagian Baden-Wurttemberg, CureVac, juga turut dalam upaya pengembangan vaksin Covid-19 di dunia.
Obat
Di samping pengembangan vaksin untuk mencegah infeksi SARS-CoV-2 meluas, negara-negara di dunia juga berusaha mencari obat yang tepat untuk menyembuhkan ratusan ribu orang di dunia yang sakit Covid-19.
Kita tahu bahwa informasi dan pengetahuan para pakar tentang SARS-CoV-2 ini masih terbatas. Belum ada vaksin untuk mencegah dan obat untuk mengobati penyakit Covid-19. Namun, penyebaran penyakit ini sangat cepat sehingga korban terjangkit terus bertambah. Dalam situasi ini para pakar kemudian mencoba memanfaatkan beberapa obat penyakit lain untuk diberikan pada pasien Covid-19. Ini tidak berarti obat tersebut lantas jadi obat untuk menyembuhkan Covid-19.
Salah satu contohnya adalah China yang memberikan remdesivir, obat yang masih dalam tahap uji klinis fase 3, kepada pasien Covid-19. Obat ini awalnya dikembangkan untuk terapi penyakit Ebola tapi hasil uji klinis memperlihatkan hasil yang tidak menggembirakan. Ketika diuji untuk SARS dan MERS justru menjanjikan.
Setelah melihat hasil penggunaan remdesivir di China, WHO menyebutkan bahwa obat buatan perusahaan farmasi AS, Gilead, itu, sejauh ini, menunjukkan efikasi dalam terapi. Namun, itu baru di China. Pemberian remdesivir belum tentu cocok bagi pasien di negara lain.
Untuk mendapatkan obat yang memenuhi standar kualitas, keamanan, dan efikasi, hasil di China saja kurang cukup. Perlu penelitian lanjutan yang lebih luas dengan pasien yang lebih banyak dan beragam untuk mendapat bukti ilmiah yang lebih kuat untuk menjawab apakah suatu obat bisa mencegah pasien Covid-19 jadi parah atau menyelamatkan pasien Covid-19 yang parah dari kematian.
“Uji klinis dalam skala kecil yang sporadis dengan metode yang berbeda mungkin tidak memberikan bukti ilmiah yang kuat yang dibutuhkan untuk memutuskan terapi apa yang bisa menyelamatkan nyawa,” kata Tedros di Geneva.
Itu sebabnya WHO kemudian memimpin uji klinis multicenters dan multiarms di 10 negara untuk mendapatkan bukti ilmiah yang kuat. Ada empat obat atau kombinasi obat untuk penyakit lain yang akan diuji klinis untuk mengetahui apakah bisa dipakai dalam terapi Covid-19. Obat tersebut adalah remdesivir, kombinasi dua obat HIV lopinavir dan ritonavir, lopinavir dan ritonavir plus interferon beta, dan obat antimalaria klorokuin.
Walaupun obat atau kombinasi obat itu sudah diberikan pada pasien Covid-19 di beberapa negara bukan berarti sudah menjadi obat standar dalam terapi Covid-19. Jika sudah ada obat untuk terapi Covid-19 tentu WHO tidak akan melakukan uji klinis tersebut.
Untuk bisa hidup, virus membutuhkan inang. Karena itu, menjaga orang sehat untuk tidak terinfeksi serta mengisolasi dan menyembuhkan mereka yang sudah terinfeksi menjadi intervensi yang penting dilakukan. Untuk mengetahui siapa yang positif maka tes laboratoriumlah jawabannya.
Sambil menunggu hasil pengembangan vaksin dan uji klinis obat, kita tetap bisa berperan untuk menekan laju pandemi ini. Caranya dengan menerapkan pembatasan jarak sosial (social distancing), karantina diri, etika batuk dan bersin, menjaga higienitas diri, dan menjaga kesehatan dengan disiplin. Dengan cara ini kita sudah ikut mencegah kasus Covid-19 bertambah banyak.(ADHITYA RAMADHAN)