Covid-19 Tak Cukup Dilawan Hanya dengan ”Lockdown”
Melawan Covid-19 tak bisa mengandalkan satu intervensi saja. Penutupan wilayah tanpa pemeriksaan mereka yang terduga positif secara masif justru membahayakan. Penyakit Covid-19 akan bangkit kembali.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
LONDON, SELASA — Banyak negara saat ini menerapkan kebijakan penutupan wilayah (lockdown) guna memutus mata rantai penularan wabah Covid-19. Sebagian negara memberlakukan jam malam. Banyak dari negara-negara itu juga menjatuhkan sanksi atas pelanggaran kebijakan tersebut. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, semua itu tidak cukup untuk mengakhiri pandemi Covid-19.
Menurut WHO, negara-negara tidak bisa hanya menerapkan kebijakan penutupan wilayah untuk mengakhiri pandemi Covid-19 tanpa diikuti oleh intervensi kesehatan untuk mencegah bangkitnya infeksi pasca-penutupan wilayah.
”Kita perlu fokus menemukan mereka yang sakit, mereka yang terinfeksi virus korona baru dan mengisolasi mereka, melacak riwayat kontaknya, dan mengisolasi mereka,” kata Mike Ryan, Direktur Eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan WHO, dalam wawancara dalam siaran Andrew Marr Show BBC, Minggu (22/3/2020).
”Bahayanya sekarang jika penutupan... apabila tidak disertai intervensi kesehatan yang kuat, ketika kebijakan pembatasan mobilitas dan penutupan dicabut, penyakitnya akan muncul kembali.”
Banyak negara di Eropa dan Amerika Serikat meniru China dan negara Asia lainnya dengan kebijakan pembatasan yang drastis dalam melawan virus korona jenis baru. Para pekerja didorong untuk bekerja di rumah. Sekolah, bar, pub, dan restoran ditutup.
Menurut Ryan, contoh di China, Singapura, dan Korea Selatan yang memberlakukan pembatasan ketat yang disertai dengan pemeriksaan semua orang yang terduga menjadi model bagi Eropa yang kini jadi episenter pandemi. ”Begitu kita menekan penyebarannya, kita harus mengejar virusnya. Kita harus melawan langsung virusnya,” ujar Ryan.
Model Korsel
Sejak melaporkan adanya kasus infeksi virus korona di wilayahnya pada 20 Januari 2020, Korea Selatan fokus mencari jejak pasien yang terkontaminasi virus dan menerapkan pelacakan terhadap mereka yang melakukan kontak dengan pasien positif Covid-19. Pemerintah juga aktif melakukan sterilisasi lingkungan yang dikunjungi pasien positif Covid-19. Mereka yang positif kemudian dikarantina.
Langkah pelacakan itu didukung dengan peraturan pemerintah yang memungkinkan mengakses data individu, termasuk data kamera pemantau (CCTV), GPS tracking dari gawai dan mobil, rekaman kartu kredit, serta informasi dari imigrasi.
Tanpa mengurangi strategi pelacakan (trace), Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit Korea Selatan (KCDC) lebih fokus menerapkan kebijakan pengetesan cepat (rapid test) dalam menghadapi wabah.
Yang terbaru, dengan melibatkan 117 institusi kesehatan untuk menjalankan tes dan 96 laboratorium kesehatan, Korea Selatan mampu mengetes 20.000 orang dalam satu hari. Namun, rata-rata mereka mengetes 12.000 orang per hari. Hingga 18 Maret 2020, lebih dari 270.000 orang telah dites di seluruh Korea Selatan.
Dengan melibatkan 117 institusi kesehatan untuk menjalankan tes dan 96 laboratorium kesehatan, Korea Selatan mampu mengetes 20.000 orang dalam satu hari.
Strategi tersebut didukung dengan menerapkan pembatasan sosial, seperti melarang pertemuan yang melibatkan banyak orang, menutup sekolah, serta mengimbau warganya melakukan ibadah di rumah dan bekerja dari rumah.
Hingga 17 Maret 2020 terdapat 8.320 kasus terkonfirmasi Covid-19 dengan 81 orang meninggal di Korea Selatan.
Terkait penanggulangan wabah Covid-19, dalam kampanye bertema ”tendanglah virus korona bersama Presiden FIFA Gianni Infantino” melalui konferensi pers virtual, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengibaratkan perang melawan Covid-19 seperti taktik sepak bola. ”Anda tak bisa memenangi sepak bola hanya dengan bertahan. Anda juga harus menyerang,” ujar Tedros.
Menjaga jarak fisik bisa mengulur waktu dengan memperlambat penyebaran wabah, kata Tedros, ”tetapi itu langkah-langkah defensif yang tidak akan membantu kita menang”. ”Agar bisa menang, kita harus menyerang virus dengan taktik agresif dan terarah,” kata Tedros, seraya menekankan kembali seruan untuk digelar ”tes bagi semua kasus terduga, mengisolasi, dan merawat semua orang yang terkonfirmasi kasusnya, menelusuri, serta mengarantina semua orang yang pernah menjalin kontak dengan penderita”.
Melalui klip video di media sosial, para bintang sepak bola dari sejumlah negara menyerukan lima langkah sederhana yang harus dilakukan, yakni menghadapi dengan ”tangan, sikut, wajah, jarak, dan menggunakan rasa”. ”Untuk wajah kalian, jangan sentuh mata kalian, hidung kalian, dan mulut kalian. Cara ini bisa mencegah virus masuk tubuh kalian,” ujar Lionel Messi, bintang sepak bola asal Argentina di klub Barcelona.
”Jika kalian merasa kurang fit, tetap tinggallah di rumah,” kata Samuel Eto’o, salah satu striker paling hebat di Afrika.
Melacak virusckorona
Secara terpisah, ilmuwan Inggris melacak sebaran virus korona jenis baru, mencoba mengawasi kemungkinan mutasinya, dan menganalisis strainnya dengan menggunakan urutan genetika virus tersebut.
Para ilmuwan itu akan mengumpulkan data dari sampel orang yang terinfeksi di Inggris, Wales, Skotlandia, dan Irlandia Utara. ”Virus ini adalah salah satu ancaman terbesar negara ini di masa sekarang, dan adalah hal yang krusial untuk membantu kami melawannya dengan memahami bagaimana virus ini menyebar,” kata Sharon Peacock, Direktur Public Health England (PHE), Senin (23/3/2020).
Para peneliti dari seluruh Inggris yang bekerja dalam tim akan memetakan dan menganalisis kode genetik sampel Covid-19 secara utuh.
Proyek senilai 20 juta poundsterling atau sekitar 23 juta dollar AS yang dinamai Covid-19 Genomics UK Consortium itu akan dipimpin oleh Wellcome Sanger Institute yang memiliki kepakaran di bidang penelitian genetika, PHE, dan juga oleh lembaga pemerintah di bidang kesehatan, seperti National Health Service, dan universitas.
”Pengurutan genom akan membantu kita memahami Covid-19 dan penyebarannya. Ini juga akan bisa membantu bagaimana membuat panduan terapi dan melihat dampak dari intervensi yang sudah dilakukan,” kata kepala penasihat ilmiah Pemerintah Inggris, Patrick Vallance.
Dalam sebuah epidemi, pengurutan genom dapat membantu para ilmuwan memonitor perubahan kecil dalam sebuah virus dalam skala nasional ataupun internasional untuk lebih memahami bagaimana virus itu menyebar dan apakah strain baru sudah terbentuk.
”Semua virus terus bermutasi sepanjang waktu, ada yang lebih cepat dari virus lainnya,” ujar Paul Klenerman, profesor dari Oxford University yang terlibat dalam tim tersebut. ”Untuk Covid-19, ini baru dimulai. Namun, variasi baru ini bisa dilacak dengan rinci.” (REUTERS/MAHATMA CHRYSHNA/SAM)