Perusahaan Minyak dan Gas Global Siap Potong Dividen
Jatuhnya harga minyak akhir-akhir ini telah membuat perusahaan-perusahaan energi sempoyongan. Kondisi itu relatif sama dengan yang terjadi sebelumnya pada tahun 2014-2016.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
LONDON, RABU — Perusahaan-perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia tengah mempertimbangan langkah pemotongan pembagian dividen tahun ini. Langkah itu bakal diambil dibandingkan pilihan untuk menambah utang di tengah kondisi yang tidak pasti, khususnya dampak perekonomian akibat pandemi Covid-19.
Lima perusahaan terbesar minyak dan gas telah menghindari pengurangan dividen selama bertahun-tahun. Hal itu dipilih untuk menjaga investor-investor mereka. Sepanjang tahun 2019, misalnya, mereka menambah utang hingga 25 miliar dollar AS guna mempertahankan belanja modal sambil memberikan dividen cukup besar kepada para pemegang saham.
Strategi tersebut dirancang untuk mempertahankan daya tarik saham perusahaan minyak di mata investor. Langkah ini dianggap strategis di tengah tekanan yang meningkat dari para aktivis penggiat iklim yang mendorong dunia bergerak lebih cepat menuju pemenuhan target emisi karbon.
Namun, untuk saat ini, strategi seperti itu dinilai berisiko. Harga minyak telah merosot 60 persen sejak Januari menjadi di bawah 30 dollar AS per barel. Permintaan atas minyak global runtuh karena pandemi Covid-19 serta perang harga antara Arab Saudi dan Rusia. Kedua produsen minyak raksasa itu mengancam akan membanjiri pasar dengan minyak mentah.
”Dalam jangka panjang, pantas untuk memotong dividen. Kami tidak mendukung peningkatan utang untuk mendukung dividen,” kata Jeffrey Germain, seorang direktur pada lembaga Brandes Investment Partners.
Portofolio lembaga keuangan itu mencakup beberapa perusahaan minyak Eropa. Utang gabungan perusahaan Chevron, Total, BP, Exxon Mobile, dan Royal Dutch Shell mencapai nilai 231 miliar dollar AS pada 2019. Jumlah ini hanya terpaut sedikit dari posisi 235 miliar dollar AS pada 2016 ketika harga minyak juga jatuh di bawah 30 dollar AS per barel. Chevron merupakan satu-satunya perseroan yang mengurangi utangnya tahun lalu.
Jatuhnya harga minyak akhir-akhir ini telah membuat perusahaan-perusahaan energi sempoyongan. Kondisi itu relatif sama dengan yang terjadi sebelumnya pada tahun 2014-2016. Harga minyak mentah anjlok dari 115 dollar AS per barel pada 2014 menjadi 27 dollar AS pada 2016.
Jatuhnya harga minyak akhir-akhir ini telah membuat perusahaan-perusahaan energi sempoyongan.
Perusahaan-perusahaan mulai dari Exxon hingga Shell telah mengumumkan rencana untuk memotong pengeluaran dan menunda program pembelian kembali saham mereka. Hal itu dipilih untuk menyeimbangkan pembukuan mereka dan mencegah naiknya tingkat utang. Namun, sejauh ini tidak ada yang mengumumkan rencana untuk memotong dividen.
Pangkas modal
Shell, perusahaan yang membayar dividen 15 miliar dollar AS pada tahun lalu, bangga karena tidak pernah memotong dividen sejak 1940-an. Namun, pada pekan ini, pihak perseroan mengumumkan rencana untuk memangkas pengeluaran modal sebesar 5 miliar dollar AS.
Dengan tumpukan utang tertinggi di antara perusahaan saingannya sebesar 81 miliar dollar AS pada akhir 2019 dan rasio utang terhadap modal yang meningkat, beberapa investor mengatakan bahwa Shell mungkin harus membagi dua dividennya untuk menyeimbangkan pembukuannya.
”Langkah-langkah yang diambil oleh Shell tampaknya cukup, tetapi seiring waktu, jika Shell (misalnya) tidak menghabiskan cukup belanja modal, produksi akan mulai turun dan arus kas yang mendasarinya tidak akan cukup untuk mempertahankan dividen jangka panjang,” kata Jonathan Waghorn, Co-manager Guinness Global Energy Fund.
Pihak manajemen Shell sejauh ini menolak mengomentari hal itu. Bahkan, jika harga minyak pulih ke level 40 dollar AS per barel, utang perusahaan minyak akan naik ke level yang terlalu tinggi pada 2021, kata analis Morgan Stanley, Martijn Rats. ”Banyak yang masih belum pasti, tetapi jika pasar komoditas berkembang seperti yang diharapkan, kami pikir perusahaan di Eropa akan mulai mengurangi dividen pada paruh kedua 2020,” ujar Rats.
Banyak yang masih belum pasti, tetapi jika pasar komoditas berkembang seperti yang diharapkan, kami pikir perusahaan di Eropa akan mulai mengurangi dividen pada paruh kedua 2020.
Manajemen BP, yang terakhir kali memotong dividennya setelah ledakan rig Deepwater Horizon pada tahun 2010, belum mengumumkan rencana terperinci untuk menghadapi krisis kali ini. Manajemen BP juga menolak berkomentar.
”Mengingat semua negatifnya, saya tidak melihat ada kerugian jangka panjang untuk memotong dividen sementara, dan begitu keadaan berubah akan disesuaikan tingkatannya,” kata Darren Sissons, Manajer Portofolio Campbell, Lee & Ross, mengomentari kemungkinan aneka langkah perusahaan-perusahaan minyak besar.
Hasil dividen—rasio dividen dengan harga saham—pada saham perusahaan minyak telah melonjak dalam beberapa pekan terakhir setelah jatuhnya harga minyak mentah. Kondisi itu mencapai level yang tidak terlihat dalam beberapa dekade.
Hasil dividen yang tinggi dapat menyiratkan bahwa investor memberikan tingkat risiko yang lebih tinggi untuk dividen perusahaan, tetapi perusahaan-perusahaan minyak besar tidak ingin mengurangi pembayaran. Hal itu dikatakan Alasdair McKinnon, Manajer Portofolio The Scottish Investment Trust. (REUTERS)