Plasma Darah Pasien Sembuh untuk Mengobati Penderita Covid-19
Selain obat dan vaksin yang masih dalam pengembangan, beberapa negara kini berharap pada plasma darah dari pasien yang sembuh untuk mengobati pasien Covid-19.
Oleh
Adhitya Ramadhan
·3 menit baca
WASHINGTON, RABU — Sambil menunggu obat dan vaksin untuk penyakit Covid-19 rampung dikembangkan dan diproduksi secara massal, beberapa negara berniat menggunakan plasma darah pasien yang sembuh untuk menyembuhkan pasien positif Covid-19.
Dokter-dokter di China, misalnya, sudah melakukan ini kepada pasien Covid-19. Jejaring rumah sakit di Amerika Serikat juga sedang menunggu persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) untuk memulai studi skala besar pemberian plasma darah pada pasien Covid-19 dan orang sakit untuk mencegahnya terinfeksi.
Seorang juru bicara FDA menyebutkan, FDA kini ”sedang bekerja dengan cepat memfasilitasi pengembangan dan ketersediaan plasma dari orang sembuh”.
”Kita tidak tahu hasilnya sampai kita kerjakan, tapi bukti sejarah menunjukkan hasil yang menggembirakan,” kata Arturo Casadevall, dosen di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, Selasa (24/3/2020).
Pemanfaatan plasma darah ini disebut sebagai ”serum pemulihan”. Teknik pengobatan yang telah berusia satu abad lebih ini pernah dilakukan saat wabah flu spanyol tahun 1918 dan wabah campak tahun 1934 di AS.
Selama pandemi flu spanyol 1918 ada beberapa publikasi ilmiah yang menggembirakan bagaimana transfusi produk darah dari pasien yang sembuh menyumbang pada penurunan 50 persen angka kematian pada pasien parah.
Pada tahun 1934, wabah campak di sekolah asrama di Pennsylvania bisa dihentikan ketika serum dari pasien pertama dipakai untuk mengobati 62 pasien berikutnya. Hanya tiga dari 62 pasien itu yang mengalami campak dengan keparahan sedang.
Teknik serupa juga pernah dilakukan untuk mengobati pasien selama wabah ebola tahun 2014 dan flu burung. Media kesehatan STATnews melaporkan pada Kamis (5/3/2020) bahwa perusahaan farmasi asal Jepang, Takeda Pharmaceutical Co, sedang mengembangkan obat untuk infeksi virus korona baru yang dikembangkan dari plasma darah orang yang sembuh dari Covid-19.
Pendekatan tersebut didasarkan pada ide bahwa antibodi yang terbentuk di tubuh pasien yang sembuh kemungkinan bisa membentuk ”imunitas pasif” pada tubuh pasien lain.
Menurut Jeffrey Henderson dari Washington University School of Medicine di St Louis, AS, teknik ini mungkin terdengar seperti ”kembali ke zaman batu”. Namun, ada alasan ilmiah di baliknya. Ketika seseorang yang terinfeksi patogen tertentu, tubuhnya mulai membentuk protein tertentu yang disebut antibodi untuk melawan patogen itu.
Setelah orang itu sembuh, antibodi yang sudah terbentuk berada di aliran darah, terutama di plasma darah, bagian cair dari darah, selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Menurut rencana, studi yang akan dilakukan FDA adalah memberikan plasma darah dari pasien Covid-19 yang sembuh kepada pasien Covid-19 yang masih dirawat melalui infus untuk mengetahui apakah plasma itu bisa membantu tubuh mereka dalam melawan virus korona baru. Para peneliti juga akan melihat apakah teknik ini bisa mengurangi kebutuhan pasien akan ventilator.
Akan tetapi, pemberian plasma darah ini tidak sama dengan vaksin. Perlindungan dari plasma darah bersifat sementara, berbeda dengan vaksin yang perlindungannya permanen.
Vaksin melatih sistem kekebalan seseorang untuk membentuk antibodinya sendiri untuk melawan patogen tertentu. Adapun infus plasma darah hanya memberikan perlindungan sementara sehingga membutuhkan pengulangan.
Liise-anne Pirofski dari Montefiore Health System dan Albert Einstein College of Medicine di New York mengatakan, jika FDA memberikan lampu hijau atas hasil studi penggunaan plasma darah pada pasien ini, studi berikutnya perlu dilakukan, yaitu memberikan plasma darah kepada orang dengan risiko tinggi, seperti petugas medis di rumah sakit, paramedis yang menjadi penolong pertama, dan perawat yang merawat orang sakit di rumah.
”Kita harus bisa memutus lingkaran penularan dan kita juga perlu menolong orang yang sudah sakit,” ujar Pirofski.
Mike Ryan, Kepala Program Kedaruratan Kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mengatakan, teknik plasma pemulihan merupakan bidang yang ”sangat penting untuk dipelajari” sebagai potensi terapi bagi pasien Covid-19.
”Itu harus diberikan pada waktu yang tepat karena bersifat sementara ketika dibutuhkan, pemilihan waktu pemberiannya harus hati-hati dan cara ini tidak selalu berhasil.” (AP)