Akibat rivalitas Amerika Serikat-China pada masa mendatang, Asia Timur bakal lebih tidak stabil ketimbang Eropa saat mengalami Perang Dingin AS-Uni Soviet. RI harus bersiap menghadapi perubahan akibat rivalitas AS-China.
Oleh
·6 menit baca
Menyambut kemerdekaan ke-75 tahun Indonesia pada 17 Agustus 2020 dan ulang tahun ke-55 harian Kompas pada 28 Juni, harian Kompas mengadakan rangkaian diskusi panel menyongsong 100 tahun Indonesia pada 2045. Setelah diskusi pertama pada Januari silam, digelar diskusi kedua pada Februari yang dihadiri panelis Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan II Marsekal Madya Fadjar Prasetyo, peneliti Center for Strategic Risk Assessment Kusnanto Anggoro, pengajar FISIP Universitas Indonesia Inaya Rakhmani, serta Head of Department of International Relations Centre for Strategic and International Studies Jakarta Shafiah Muhibat. Laporan diskusi dirangkum Ninuk M Pambudy, A Tomy Trinugroho, Anthony Lee, dan Edna Caroline Pattisina, serta disajikan di halaman 18 dan Kompas.id.
Menuju satu abad kemerdekaannya pada tahun 2045, Indonesia akan berhadapan dengan tatanan dunia yang berubah cepat yang salah satunya dipengaruhi rivalitas China dan Amerika Serikat. China yang ekonominya terus menguat akan menjadi ”penantang” AS sehingga memunculkan bipolaritas baru dalam sistem dunia. Karena itu, doktrin kebijakan luar negeri Indonesia yang liat dan lentur menjadi sebuah kebutuhan.
Rivalitas antara China dan Amerika Serikat berlangsung beberapa tahun terakhir. Awal Juli 2018, AS mengenakan tarif 25 persen terhadap 818 produk impor dari China senilai 34 miliar dollar AS—yang belakangan direvisi sehingga mencakup nilai 200 miliar dollar AS—menandai awal perang dagang AS-China. Awal Agustus 2018, China membalas dengan menerapkan tarif tambahan terhadap 5.205 produk yang berasal dari AS, dengan nilai 60 miliar dollar AS (china-briefing.com, 26/2/2020). Perang dagang yang berlanjut itu turut menggoyang ekonomi dunia.
Tahun-tahun menjelang 2045 diperkirakan masih akan ditandai dengan kebangkitan China. PricewaterhouseCoopers (PwC) memprediksi, China, dari sisi kapasitas ekonomi, akan berada di peringkat pertama dunia, mengalahkan AS pada tahun 2030. Saat ini, China berada di posisi kedua setelah AS. Konsekuensi dari China yang semakin kuat secara ekonomi akan pula membuat negara ini mengembangkan ambisi geopolitiknya. Apalagi, pada saat bersamaan dengan peningkatan kekuatan ekonomi, China membagun kekuatan militer dan mengembangkan eksplorasi luar angkasa.
China yang ekonominya terus menguat akan jadi ”penantang” AS sehingga memunculkan bipolaritas baru dalam sistem dunia.
Kontestasi China dengan AS berpotensi terus terjadi. China sejak 2013 mendorong kerja sama one belt, one road (OBOR) yang belakangan berganti nama menjadi belt and road initiative (BRI) sebagai upaya memperluas pengaruh ekonominya.
Selain itu, China juga bisa lebih agresif mencapai ambisi kekuatan maritimnya, termasuk di Laut China Selatan. Di kawasan kaya sumber daya alam laut ini, China terlibat saling klaim hak pulau ataupun perairan dengan beberapa negara di kawasan tersebut, seperti Filipina, Malaysia, dan Vietnam. China juga mengklaim hak memanfaatkan kekayaan laut di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara, yang juga berada di Laut China Selatan.
Bipolaritas abad ke-21
Setelah Uni Soviet runtuh pada awal 1990-an, sistem dunia yang bipolar, yakni antara AS dan Uni Soviet berganti. Ada pakar yang menyebutnya unipolar berpusat pada AS, serta ada pula yang menyebutnya multipolar, tetapi tetap AS menjadi negara dengan kekuatan dominan. Menguatnya China bisa kembali membawa dunia pada sistem perimbangan kekuasaan bipolar yang baru, yakni ada China di satu kutub dan AS di kutub yang lainnya.
Øystein Tunsjø, profesor di Norwegian Institute for Defence Studies, berargumen bahwa secara struktur, sistem bipolar di abad ke-21 ini mirip dengan bipolaritas di abad ke-20. Ada dua negara dengan kekuatan lebih dari negara-negara lain, dan tidak ada kekuatan ketiga yang bisa menantang dua kekuatan itu. Dalam petikan artikel di Thediplomat.com (19/02/2019), penulis buku The Return of Bipolarity in World Politics: China, the United States, and Geostructural Realism itu berargumen, kendati sistem dunia kembali bipolar, ada perbedaan mendasar dari sisi geopolitik di antara bipolaritas AS-China dan AS-Soviet. Rivalitas AS dan China kini diprediksi mayoritas terjadi di laut, berbeda dari sebelumnya yang terjadi di darat.
Dampaknya, Asia Timur bakal lebih tidak stabil ketimbang Eropa di era Perang Dingin AS-Soviet. Tunsjø memprediksi, perang besar kemungkinan bisa terhindari akibat hambatan lautan, tetapi hal ini meningkatkan risiko perang terbatas yang secara langsung melibatkan AS dan China di perairan di Asia Timur.
Melemahnya multilateralisme
Di Asia Tenggara, Indonesia juga harus bersiap menghadapi perubahan konstelasi politik kawasan sebagai dampak ikutan dari kontestasi pengaruh antara AS dan China. Pada tahun 2020, muncul kecenderungan melemahnya multilateralisme. Negara-negara semakin tidak percaya terhadap kerja sama banyak negara dan cenderung memilih kebijakan luar negeri yang transaksional secara bilateral. Kondisi ini bisa semakin buruk menjelang 2045.
ASEAN, organisasi kerja sama regional di Asia Tenggara, yang menjadi salah satu batu fondasi (cornerstone) politik luar negeri Indonesia juga akan menghadapi tantangan menguatnya bilateralisme. Padahal, kerja sama multilateral lebih menguntungkan bagi negara-negara dengan posisi tawar yang rendah. Indonesia termasuk negara yang diutungkan lewat multilateralisme, seperti selama ini diraih Indonesia melalui ASEAN.
Kementerian Luar Negeri Indonesia sudah menelurkan konsep diplomasi 4+1, yakni penguatan diplomasi ekonomi, diplomasi perlindungan, diplomasi kedaulatan dan kebangsaan, peran Indonesia di kawasan dan global, serta plus penguatan infrastruktur diplomasi. Namun, hal ini juga perlu diperkuat dengan reformulasi ulang doktrin politik luar negeri bebas aktif, yakni tidak memihak pada salah satu kutub kekuatan.
Doktrin bebas aktif itu disampaikan Bung Hatta dalam pidatonya ”Mendayung Antara Dua Karang” pada 2 September 1948. Ia bertutur, ”Pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi obyek dalam pertarungan politik internasional, tetapi kita harus tetap menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya” (Kompas, 2/9/1988).
Di tengah kembalinya bipolaritas sistem dunia, kini antara AS dan China, doktrin tersebut masih tetap relevan, tetapi perlu dijalankan lebih fleksibel dan lentur. Sebab, ada kecenderungan, bebas aktif dimaknai bahwa Indonesia tidak memiliki posisi dalam isu apa pun. Dalam konteks terjadi konflik di laut misalnya, Indonesia cenderung netral, kemudian tidak bersikap dengan mengambil posisi yang jelas dalam isu tersebut. Indonesia tidak bisa terus-menerus memilih sikap netral. Oleh karena itu, ada isu-isu tertentu di mana Indonesia perlu memiliki sikap dan kebijakan yang jelas. Misalnya, dalam konteks sengketa Laut China Selatan.
Doktrin politik luar negeri yang tetap bebas aktif tetapi lentur perlu kembali pada semangat menempatkan Indonesia sebagai subyek, bukan obyek dari konstelasi politik internasional. Apalagi tantangan geopolitik menuju 2045 akan jauh lebih kompleks.
Bipolaritas AS-China hanya satu di antara tantangan yang muncul, seperti arus migrasi yang memudahkan pandemik global terjadi, serta perubahan iklim yang mengancam negara-negara kepulauan. Awal tahun 2020 ditandai merebaknya Covid-19 yang disebabkan virus korona jenis baru. Kendati penyakit ini tidak semematikan sindrom pernapasan akut parah (SARS), penyebarannya relatif lebih mudah. Hingga pertengahan Maret 2020, sudah lebih dari 150.000 orang di lebih dari 100 negara terkonfirmasi positif Covid-19. Penyakit Covid-19 menjadi pandemi global.
Ada kecenderungan bebas aktif dimaknai bahwa Indonesia tidak memiliki posisi dalam isu apa pun.
Dampak pandemi tidak hanya pada kesehatan, tetapi juga pada ekonomi dunia. National Intelligence Council, Amerika Serikat, tahun 2017 meluncurkan Global Trend Paradoxes of Progress untuk meneropong kondisi global hingga 2035. Skenario ”Kepulauan”, satu dari tiga skenario yang dijabarkan, membayangkan pandemik global terjadi pada 2023, menyebabkan turunnya perjalanan global sebagai upaya menekan penyebaran penyakit. Alhasil, produktivitas dan perdagangan global juga melambat.
Perubahan iklim selama 20 tahun ke depan diprediksi para ilmuwan akan menaikkan permukaan air laut. Akibatnya, beberapa negara kepulauan akan terdampak, termasuk Indonesia. Selain itu, negara kepulauan dengan ”ukuran” lebih kecil di Pasifik, seperti Vanuatu dan Tuvalu, terancam tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut. Hal ini membuka kemungkinan arus pengungsi akibat perubahan iklim.
Di tengah berbagai tantangan perubahan geopolitik dunia yang menguji ketahanan Indonesia menuju 2045, sudahkah Indonesia menyesuaikan diri?