Muncul Kekhawatiran Pelanggaran HAM dalam Penanganan Covid-19
Pembatasan pergerakan dilakukan pemerintah untuk menghambat penyebarluasan Covid-19. Namun, sejumlah pemerintah memanfaatkan ”kekuasaannya” untuk menekan aktivis HAM dan oposisi.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
AMMAN, MINGGU — Sejumlah negara mulai melakukan pembatasan gerak warganya untuk mencegah penyebaran lebih luas virus korona jenis baru (SARS-CoV-2), penyebab penyakit coronavirus disease 2019 atau Covid-19. Terkait hal itu, aktivis mengingatkan agar perang melawan Covid-19 ini jangan sampai melanggar hak-hak sipil warga negaranya.
Pembatasan gerak yang dilakukan pemerintah di beberapa negara mulai melibatkan aparat militer dan kepolisian, khususnya untuk menjaga pintu masuk dan keluar. Penggunaan kendaraan tempur, polisi, atau militer bersenjata lengkap adalah salah satu langkah yang ditempuh pemerintah untuk membatasi gerak warga.
Selain pembatasan fisik dalam bentuk larangan keluar rumah dan berada di keramaian, beberapa negara juga menggunakan teknologi untuk mengawasi pergerakan warganya. Mereka menggunakan aplikasi khusus hingga peranti lunak pengenalan wajah untuk mengawasi pergerakan warganya.
Kawasan Afrika dan Timur Tengah menjadi perhatian utama aktivis hak asasi manusia (HAM) terkait upaya pemerintah di negara-negara di kawasan itu dalam membatasi pergerakan warganya. Apalagi dua kawasan ini dikenal dengan rekam jejak yang buruk mengenai HAM.
Sejumlah rezim otoriter, misalnya, menambah jumlah aparat keamanan yang diturunkan untuk mengawasi pergerakan warga. Pada saat yang bersamaan, negara-negara di Afrika goyah karena tidak memiliki fundamental ekonomi dan politik yang kuat.
Dikutip dari laman CNN, di Jordania, misalnya, setelah Raja Abdullah II mengeluarkan dekrit yang memberikan pemerintah kekuasaan lebih untuk mengatur negara, lebih dari 1.000 orang ditangkap karena melanggar jam malam.
Laman Arab News melaporkan, dekrit yang dikeluarkan Raja Abdullah II pada Selasa (17/3/2020) memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk melakukan penyisiran dan menggunakan kekuatan dalam kondisi darurat ini untuk memerangi penyebaran virus SARS-CoV-2.
Dekrit kerajaan itu juga memberikan kekuasaan yang luar biasa kepada Perdana Menteri Jordania Omar Razzaz untuk menggunakan seluruh kekuatan militer dalam penerapan jam malam, penutupan usaha, serta membatasi kebebasan warga untuk bergerak. Langkah itu merujuk undang-undang pertahanan yang diberlakukan apabila ada peperangan dan bencana.
Di dalam sebuah tulisan yang diterbitkan The Financial Times, sejarawan Israel, Yuval Noah Harari, mengingatkan, persoalan penghormatan terhadap HAM terancam tereduksi dengan berbagai kebijakan lockdown yang ketat.
”Kalau kita tidak berhati-hati, pandemi ini mungkin akan menjadi titik tonggak sejarah baru yang menyoal pengawasan terhadap warga sipil. Perang besar menyoal kebebasan pribadi telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir. Penyebaran virus ini mungkin bisa menjadi titik kritis dalam pertempuran,” tutur Harari.
Human Rights Watch, lembaga advokasi HAM, telah mengingatkan beberapa pemerintahan di kawasan Afrika dan Timur Tengah untuk tidak menjadikan perang melawan Covid-19 ini sebagai alasan untuk melanggar hak-hak sipil warga negaranya masing-masing.
Selain mengkritik penggunaan kekuatan militer yang berlebihan di Jordania, Eric Goldstein, Deputi Direktur HRW Wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, juga mengkritik penggunaan kekuatan militer yang berlebihan di Aljazair.
Gerakan Massa Hirak atau Revolusi Senyum yang sudah berjalan selama satu tahun terakhir dan berhasil menggulingkan Presiden Abdelaziz Bouteflika, untuk pertama kali ditangguhkan mengingat kondisi yang tidak memungkinkan, termasuk kemungkinan terjadinya penyebaran virus di tengah keramaian.
Namun, kriminalisasi beberapa aktivis terkait dengan gerakan ini terus dilakukan oleh kepolisian dan militer. Setelah aktivis dan oposisi pemerintah Karim Tabou ditahan polisi pada Jumat (27/3/2020), kini disusul penahanan jurnalis terkemuka Aljazair, Khaled Drareni, pada Sabtu (28/3/2020). Drareni ditahan karena dinilai menyerang integritas nasional Pemerintah Aljazair.
”Hirak telah menangguhkan kegiatannya. Tapi, Pemerintah Aljazair belum menangguhkan penindasannya,” kata Goldstein melalui akun resmi lembaga yang dipimpinnya.
Dia menuding Pemerintah Aljazair menggunakan krisis kesehatan, pandemi global Covid-19, untuk menindas kelompok yang memiliki pandangan berbeda dengan pemerintah melalui pengadilan.
Tekanan terhadap jurnalis juga terjadi di Mesir. Koresponden surat kabar The Guardian yang bertugas di Mesir diminta segera meninggalkan negara tersebut karena menuding pemerintah telah menyembunyikan fakta sebenarnya tentang para korban Covid-19.
Samuel Miller McDonald, analis energi dan politik Universitas Oxford, dalam tulisannya di laman The Guardian mengatakan, dalam kondisi darurat, banyak pemerintahan mencoba meningkatkan kewenangannya, termasuk dalam hal membatasi dan mengawasi perilaku warganya.
Pengalaman di Amerika Serikat pascaserangan 9/11, menurut McDonald, menjadi contoh yang baik bagaimana Pemerintah AS bisa mengintrusi, mengawasi kehidupan warganya setiap saat melalui National Defense Authorization Act.
”Siapa pun yang peduli dengan demokrasi dan kebebasan sipil harus menolak kebijakan seperti itu. Kebebasan sipil tidak akan mudah kembali apabila hal ini sudah kembali normal,” kata McDonald. (AFP/REUTERS)