Gegar ASEAN Hadapi Covid-19
Pandemi Covid-19 membuat negara-negara di Asia Tenggara kewalahan. Mereka sudah berusaha menutup diri dan membatasi pergerakan warganya, tetapi jumlah kasus positif Covid-19 terus bertambah.
Pandemi Covid-19 membuat negara-negara di Asia Tenggara kewalahan. Mereka sudah berusaha menutup diri dan membatasi pergerakan warganya, tetapi jumlah kasus positif Covid-19 terus bertambah.
Asia Tenggara, dengan hubungan erat yang terjalin dengan China, menjadi kawasan yang terbilang awal mendapat kasus Covid-19 impor dari China. Thailand melaporkan kasus pertamanya pada 12 Januari 2020, disusul Singapura pada 22 Januari, dan Malaysia pada 24 Januari.
Jika melihat data Indeks Ketahanan Kesehatan Global (Global Health Security Index) 2019, sebenarnya hanya dua negara ASEAN, yaitu Kamboja dan Brunei Darussalam, yang berada di bawah rata-rata indeks sebesar 40,2 dari total skor 100.
Artinya, kemampuan untuk sistem kesehatan setiap negara dalam mencegah, mendeteksi dan melaporkan, merespons dengan cepat, serta memenuhi kapasitas inti dalam Regulasi Kesehatan Internasional 2005 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah lumayan baik meski masih banyak yang perlu diperbaiki.
Namun, realitas di lapangan memperlihatkan, saat Covid-19 menyerang, ketahanan negaranegara itu tidak sebagus data yang ada. Hingga Sabtu (28/3/2020), Malaysia melaporkan 2.320 kasus, Thailand 1.245 kasus, Indonesia 1.155 kasus, dan Filipina 1.075 kasus. Sistem kesehatan negara-negara di ASEAN juga kewalahan.
Indonesia, misalnya, memiliki angka kematian tertinggi di ASEAN, 102 kasus meninggal dari 1.155 kasus yang dilaporkan pada 28 Maret 2020. Sebagai perbandingan, Malaysia dengan 2.320 kasus memiliki 27 kasus meninggal dan Filipina dengan 1.075 kasus memiliki 68 kasus meninggal. Ini belum termasuk persoalan keterbatasan alat pelindung diri yang terus diteriakkan oleh tenaga kesehatan.
Seperti mayoritas negara di dunia yang gagap dalam merespons penyebaran wabah Covid-19 yang cepat, beberapa negara di ASEAN menghadapi kritik dari publik karena dinilai lambat dalam mengantisipasi dan menangani Covid-19. Mulai pekan lalu hingga akhir April 2020, Thailand menutup perbatasan bagi orang asing dan membatasi pergerakan warganya.
Malaysia dan Filipina, jika tak diubah lagi, akan mengakhiri pembatasan gerak pada pekan kedua April 2020. ”Kita berperang melawan hal tak kasat mata. Situasi yang kita hadapi saat ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah,” kata PM Malaysia Muhyiddin Yassin.
Bangkok, Kuala Lumpur, dan Manila memutuskan pembatasan gerak dan menutup perbatasan demi mengurangi laju penularan virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Kegiatan perkumpulan massa, sebelum pembatasan diberlakukan, menjadi lokasi utama penyebaran virus. Hal itu disimpulkan setelah para peserta sejumlah kegiatan keagamaan positif terinfeksi di Malaysia.
Tidak mudah bagi tiga negara itu menerapkan kebijakan tersebut. Sejak pembatasan diberlakukan, tetap banyak pelanggaran dan penularan. Di beberapa daerah di Malaysia, sama sekali tidak boleh ada pengunjung dan penduduk setempat dilarang keluar rumah. Semua tempat usaha harus ditutup.
Sulitnya jaga jarak
Langkah tegas ini diambil karena penularan dan pelanggaran pembatasan gerak terus terjadi. Thailand menyebut kegagalan menjaga jarak menyebabkan penularan terus terjadi. Sebagian orang memang secara sengaja tidak menjaga jarak dan tetap berkumpul di luar rumah. Sebagian lagi memang tidak mampu menjaga jarak, seperti terjadi di San Roque, Manila.
”Mereka tidak mampu menjaga jarak,” kata Estrelieta Bagasbas yang memimpin Kadamay San Roque, sebagaimana dikutip Al Jazeera. Kadamay San Roque adalah kelompok pendamping masyarakat miskin di San Roque, salah satu kawasan kumuh di Manila. Di sana, rumah dengan panjang dan lebar kurang dari 4 meter dihuni lebih dari tiga orang.
Rumah-rumah itu berimpitan satu sama lain. Di lingkungan seperti itu, mustahil menjaga jarak sekurangnya 1,5 meter di antara satu orang dengan orang lain. Masalah lain adalah mayoritas penghuni di lingkungan seperti itu tak punya penghasilan tetap dan tabungan memadai untuk memenuhi kebutuhan selama perintah isolasi diberlakukan. Mereka mengandalkan penghasilan yang didapat setiap hari.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte mencoba mengatasi itu dengan membuat undang-undang yang memberinya wewenang khusus, termasuk realokasi anggaran senilai 4,1 triliun peso Filipina. Dana darurat utama bakal dialokasikan untuk Kementerian Kesehatan dan bantuan langsung tunai bagi 18 juta keluarga di Filipina.
Jumlah dana awal yang dibutuhkan diperkirakan tidak kurang dari 200 miliar peso Filipina. Pemerintah Filipina juga siap melakukan realokasi dana-dana dari pos anggaran lain sekiranya dana darurat pandemi Covid-19 tidak cukup.
Warga tak mampu
Sementara Malaysia, selepas hampir dua pekan memerintahkan isolasi, masih terus membahas cara terbaik mendistribusikan pangan untuk warga tidak mampu. Namun, cara penyaluran pangan selama dua pekan terakhir belum menyelesaikan masalah keterbatasan makanan sejak perintah isolasi diberlakukan.
Paket makanan warga tidak mampu adalah bagian stimulus yang dikucurkan Malaysia. Total 270 miliar ringgit disiapkan untuk menangani dampak Covid-19. Dana itu dipakai untuk subsidi tagihan layanan listrik hingga air, bantuan langsung tunai, hingga pembebasan pajak sementara waktu.
Untuk UKM, ada subsidi upah dan penundaan pajak sementara waktu. Untuk perusahaan yang bukan UKM disiapkan pinjaman dengan alokasi total 50 miliar ringgit. Malaysia menyiapkan rumah sakit darurat untuk menopang rumah sakit biasa dengan total hampir 20.000 ranjang di semua rumah sakit darurat.
Melihat kegagapan respons negara-negara itu, pada akhirnya semua pemimpin perlu mengambil tindakan tegas untuk menekan kasus Covid-19. Ketika sistem kesehatan kewalahan menghadapi penyakit ini, harapannya ada pada kepemimpinan negara untuk mengambil kebijakan yang berbasis bukti.
(AFP/REUTERS)