AS Dinilai Hambat Iran Atasi Covid-19, Biden Desak Pengurangan Sanksi
Membatasi aliran bantuan kemanusiaan internasional untuk mengejar tujuan politik tidak hanya merugikan Iran, tetapi juga AS. Sanksi AS menghambat upaya Iran memerangi pandemi Covid-19, dan itu tidak manusiawi.
JAKARTA, KOMPAS — Iran, salah satu negara paling parah dilanda pandemi Covid-19, kini terpukul oleh sanksi dan tekanan maksimal dari Amerika Serikat. Walau Teheran dan rakyatnya terus bekerja keras untuk memerangi pandemi, sanksi AS telah menghambat upaya mereka.
Terkait dengan itu, bakal capres AS dari Demokrat, Joe Biden, Kamis (2/4/2020) waktu Washington DC atau Jumat WIB, mendesak Pemerintah AS untuk mengurangi sanksi terhadap Iran dalam meredam penyakit Covid-19. Seharusnya AS mengecualikan bantuan medis darurat kemanusiaan bagi Iran.
AS, kata Biden, harus menyiapkan saluran khusus bagi bank dan perusahaan-perusahaan lain untuk beroperasi di Iran dan mengeluarkan lisensi untuk penjualan obat-obatan dan alat kesehatan. Pemerintah juga perlu menjamin para pebisnis bahwa mereka takkan dikenai sanksi karena beroperasi di Iran.
Terkait dengan itu, Biden juga mengharapkan Iran membalas dengan membebaskan warga AS yang ditahan di negara tersebut.
Baca juga : Tiga Negara Eropa Kirim Barang Medis ke Iran
Sementara rival Biden yang juga sesama Demokrat, Bernie Sanders, lebih tegas lagi. Ia justru menyerukan pencabutan sanksi AS terhadap Iran yang kini menderita akibat Covid-19 karena sudah lebih dari 3.100 warganya meninggal.
Jadi bumerang
Biden mengatakan bahwa kampanye ”tekanan maksimum” Presiden AS Donald Trump di Iran, yang mencakup sanksi besar-besaran, justru telah ”menjadi bumerang” dan memicu agresi Iran terhadap AS.
”Tidak masuk akal, dalam krisis kesehatan global, kita menambah kegagalan dengan kekejaman, dengan menghambat akses ke bantuan kemanusiaan yang dibutuhkan,” ujar Biden.
Baca juga : Iran dan Tawaran Bantuan AS untuk Penanganan Covid-19
Menurut Biden, secara artifisial membatasi aliran bantuan kemanusiaan internasional untuk mengejar tujuan politik tidak hanya akan merugikan Pemerintah Iran. Namun, hal itu juga akan meningkatkan ancaman yang ditimbulkan virus ini kepada rakyat AS saat ini dan di masa depan.
Beratkan Iran
Sejak keluar dari kesepakatan nulir (JCPOA) dengan Iran pada 8 Mei 2018, AS terus menjatuhkan sanksi sepihak terhadap ekonomi, investasi, industri minyak, petrokimia, perusahaan asuransi, serta berbagai individu dan perusahaan yang berhubungan dengan Iran. Kini, di saat pandemi Covid-19 meluas ke lebih dari 200 negara, termasuk Iran, sanksi itu semakin memberatkan Iran.
”Sanksi sepihak dan ilegal AS yang diterapkan dalam kerangka tekanan maksimal kepada kami adalah ancaman bagi kesehatan internasional. Rakyat dan Pemerintah Republik Islam Iran terus bekerja keras untuk memerangi Covid-19, tetapi sanksi AS menghambat upaya kami,” tutur Duta Besar Iran di Jakarta Mohammad Azad, Jumat.
Menurut Dubes Azad, sanksi dan tekanan maksimal AS kepada Iran telah membuat pendapatan negara itu dari sektor industri minyak yang diembargo AS menurun dan menyebabkan biaya penanggulangan Covid-19 makin tinggi.
Faktor lain yang menyulitkan Iran, lanjut Azad, adalah langkah AS yang menakut-nakuti sejumlah negara dan perusahaan di dunia untuk tidak menjual obat-obatan dan fasilitas medis kepada Iran.
”Hal ini terjadi pada saat AS mengklaim bahwa obat-obatan dan fasilitas medis bukan termasuk daftar sanksi unilateral mereka,” kata Azad, mengulangi pernyataan ketika bertandang ke kantor Redaksi Kompas, beberapa waktu lalu.
Dubes Azad mengatakan, mengingat pandemi Covid-19 adalah persoalan internasional dan bahkan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres meminta dunia untuk menyatakan perang terhadap Covid-19, penting agar semua negara di dunia berusaha, bersinergi, dan bekerja sama secara kolektif untuk mengatasi penyebaran Covid-19.
”AS harus berhenti memolitisasi upaya kemanusiaan dan mencabut sanksi terhadap Iran,” ucapnya.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif dalam suratnya kepada Sekretaris Jenderal PBB pada Kamis (12/3/2020) menekankan tentang perlunya mencabut sanksi sepihak AS terhadap Iran. Meskipun Iran mampu memerangi Covid-19, sanksi dan prasyarat AS untuk mencegah penjualan obat-obatan dan peralatan medis menyebabkan Iran berkendala meredam pandemi.
Baca juga : Covid-19 di Timur Tengah
Bahkan, dalam situasi yang genting, AS baru-baru ini menjatuhkan sanksi baru kepada lima perusahaan dan lima individu baru yang berhubungan dengan industri nuklir Iran yang berada di bawah pengawasan penuh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
Menurut Dubes Azad, penajaman sanksi ekonomi AS dan ”terorisme” ekonomi terhadap Iran sangat berdampak pada kematian warga Iran akibat Covid-19. Tindakan AS melawan rasa dan nilai-nilai kemanusiaan dan ini tidak akan pernah membuat siapa pun terlindungi dari amarah AS di masa depan.
”Semua negara dunia harus tidak mengakui sanksi-sanksi sepihak AS. Setiap negara harus membuktikan independensi dan komitmennya terhadap nilai-nilai HAM dengan mengabaikan sanksi sepihak AS khususnya di bidang farmasi dan fasilitas medis,” ujar Azad.
Setiap negara harus membuktikan independensi dan komitmennya terhadap nilai-nilai HAM dengan mengabaikan sanksi sepihak AS khususnya di bidang farmasi dan fasilitas medis.
Presiden Iran Hassan Rouhani, dalam suratnya kepada sejumlah kepala negara, menyatakan bahwa mengelola krisis Covid-19 tidak mudah dilakukan oleh negara mana pun secara sendiri. Mematuhi sanksi tak berdasar AS terhadap Iran bukan saja ilegal dan bertentangan dengan resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 2231, tetapi juga tidak etis dan tidak manusiawi.
”Beliau juga menegaskan bahwa sanksi Pemerintah AS terhadap Teheran telah menyebabkan banyak rakyat Iran kehilangan kesehatan, pekerjaan, dan penghasilan mereka. Meski demikian, bangsa Iran tetap tegar menghadapi virus korona baru serta sanksi dan kebijakan tekanan maksimum Pemerintah AS,” tutur Azad.
Usulkan bantuan
Pemerintahan Presiden AS Donald Trump mengaku telah mengusulkan bantuan ke Iran. Namun, Trump menawarkan beberapa perincian dan terus memperluas sanksi. Washington menyatakan tidak pernah menarget barang-barang kemanusiaan.
Beberapa bank atau eksportir di luar China bersedia mengambil risiko sanksi AS dengan melakukan bisnis di Iran.
Trump telah menarik AS dari kesepakatan dengan Iran yang ditandatangani oleh Presiden AS Barack Obama, yang saat itu Biden adalah wakil presidennya, pada Mei 2018. Kesepakatan tersebut berupa pengurangan sanksi kepada Iran dengan imbalan denuklirisasi Iran.
Dari Iran dilaporkan, pada Kamis (2/4/2020), Juru Bicara Parlemen Iran Ali Larijani (62) dinyatakan positif Covid-19 setelah menjalani uji virus korona karena menunjukkan gejala-gejala tertentu.
Ia kini menjalani perawatan dan dikarantina. Larijani dekat dengan Presiden Iran Hasan Rouhani dan terpilih kembali pada 2016 untuk masa jabatan kedua sebagai Ketua Parlemen Iran. Dia adalah salah satu pejabat paling senior di Iran yang terinfeksi Covid-19.
Iran saat ini berusaha keras untuk mencegah penyebaran virus korona baru sejak melaporkan kasus pertamanya pada 19 Februari 2020. Pada Kamis, 2 April, Iran telah melaporkan 124 kematian baru sehingga jumlah kematian meningkat menjadi total 3.160 kematian, dengan lebih dari 50.000 orang terinfeksi dan lebih dari 16.000 kasus sembuh.
Baca juga : Iran di Antara Korona dan AS
Pengumuman itu dikeluarkan ketika Presiden Hasan Rouhani mengingatkan pada pertemuan kabinet bahwa Iran masih akan memerangi pandemi selama satu tahun ke depan.
”Virus korona ini bukanlah sesuatu yang dapat kita tunjuk ke tanggal tertentu dan akan sepenuhnya bisa diberantas saat itu,” kata Rouhani.
Rouhani menyebutkan, virus korona ini mungkin akan ada di Iran hingga beberapa bulan mendatang atau sampai Maret 2021. Kantor berita IRNA melaporkan, ada 23 dari 290 anggota legislatif yang diuji ternyata positif Covid-19. Penyakit ini juga telah menewaskan 12 pejabat atau mantan pejabat Pemerintah Iran.
Setelah berminggu-minggu melakukan penguncian atau karantina, Iran telah memutuskan pekan lalu untuk melarang semua perjalanan antarkota sampai 8 April 2020. Tidak ada penguncian resmi di kota-kota Iran meskipun pemerintah telah berkali-kali mendesak warga Iran untuk tinggal di rumah guna mencegah penyebaran virus.
Iran telah menutup sekolah-sekolah dan universitas-universitas serta empat tempat ziarah utama Syiah, termasuk tempat suci Fatima Masumeh di Qom. Iran juga telah mencegah perjalanan, membatalkan shalat Jumat di masjid, dan sementara menutup parlemen. (AFP/REUTERS)