Kisah-kisah Kedermawanan dan Gerakan Solidaritas Dunia di Tengah Wabah Korona
Pandemi Covid-19 telah menyebabkan disrupsi besar dalam kehidupan masyarakat global. Meski demikian, musibah ini juga menggerakkan nurani warga di sejumlah negara untuk bahu-membahu meringankan beban sesama.
Kim Byung-rok bukanlah orang yang memiliki pendapatan berlimpah. Bersama istrinya, lelaki berusia 60 tahun itu kini membuka usaha reparasi sepatu di salah satu sudut kota Seoul, Korea Selatan. Penghasilannya jauh di bawah standar di Korsel yang rata-rata sekitar 4,8 juta won (Rp 64 juta) per bulan.
Meski demikian, Kim ingin membantu warga Korsel yang terkena dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19. Dia memutuskan menghibahkan sebagian tanah miliknya seluas 3,2 hektar kepada pemerintah setempat untuk dijual. Seluruh hasil penjualan tanah itu, yang diperkirakan 570.000 dollar AS (Rp 9,3 miliar), akan disumbangkan kepada warga yang terdampak Covid-19.
Kim menabung selama puluhan tahun untuk membeli lahan yang terletak di wilayah pegunungan, tak jauh dari kota Paju, sekitar 30 kilometer di utara Seoul. Ia memilih membeli lahan di pegunungan karena udaranya segar. Cocok bagi dia yang sebenarnya memiliki masalah dengan pernapasan.
Kim bercerita, pada usia muda, dirinya pernah divonis mengidap penyakit tuberkulosis atau TBC. Pekerjaannya sebagai penyemir sepatu sejak usia 10 tahun, sejak ayahnya meninggal, membuatnya bergelut dengan bahan-bahan kimia dan menghirup udara kotor terpapar bahan kimia. Dia selamat. Namun, kini hanya satu paru-parunya yang berfungsi.
Sebagian orang, termasuk beberapa orang tetangganya, menilai keputusan mendonasikan hasil penjualan tanahnya tidak tepat. Sebab, secara ekonomi, dia masuk golongan warga yang hidup pas-pasan. Ia seharusnya menerima program bantuan langsung tunai yang dicanangkan Presiden Korsel Moon Jae-in.
Kim tinggal bersama istri dan dua dari tiga anaknya di sebuah flat sederhana dengan dua kamar. Ia juga masih harus mengeluarkan biaya tidak sedikit untuk merawat anak bungsunya yang mengidap down-syndrome. Namun, kondisi itu tidak membuatnya urung menghibahkan lahannya untuk membantu warga.
Aku selalu berpikir, semoga suatu saat aku bisa melakukan hal yang sama seperti ketika orang lain membantuku. Dan, kini adalah saatnya.
”Mereka meminta aku mengutamakan keluarga terlebih dulu,” kata Kim.
”Aku selalu berpikir, semoga suatu saat aku bisa melakukan hal yang sama seperti ketika orang lain membantuku. Dan, kini adalah saatnya,” katanya.
Ucapan itu semacam nazar ketika menderita sakit TBC bahwa setelah sembuh dari TBC, Kim bertekad menolong warga yang kurang mampu. Terlebih karena sewaktu muda, dia juga selalu mendapatkan uluran tangan dari orang lain saat hidupnya penuh kesulitan.
Kim juga mengatakan, dirinya tidak pernah dan tidak akan membiarkan anak-anaknya kelaparan. ”Selama ini aku juga hidup cukup dan bahagia. Aku puas dengan kehidupanku dan tidak bisa memalingkan wajah dari kaum miskin dan yang lebih membutuhkan,” kata Kim.
Kim sadar bantuannya tidak akan bisa membantu banyak seluruh rumah tangga di Korea Selatan yang terdampak. Berdasarkan data Pemerintah Korea Selatan, sedikitnya 14,1 juta keluarga di Korea Selatan terdampak secara ekonomi. Pandemi Covid-19 secara global saat ini menghentikan aktivitas ekonomi di banyak negara, termasuk Korea Selatan.
Makanan bagi papa
Di belahan bumi lain, Emiliano Moscoso, pemilik jaringan restoran cepat saji Sierra Nevada di Bogota, Kolombia, tergerak karena kesadaran seperti dirasakan Kim. Pemerintah Kolombia mengumumkan penutupan wilayah di Bogota sejak 20 Maret hingga setidaknya 31 Mei nanti.
Moscoso dan beberapa pegawainya menyiapkan dan mengirimkan seluruh makanan itu sendiri. Tidak jarang, saat mengirimkannya ke wilayah-wilayah berbahaya, dia mendapat pengawalan polisi.
Presiden Ivan Duque memerintahkan seluruh warga tidak meninggalkan rumah, kecuali untuk kepentingan yang bersifat darurat, seperti belanja kebutuhan pokok atau ke apotek dan rumah sakit. Di Kolombia, Covid-19 telah merenggut nyawa 19 orang dari 1.161 warga yang positif.
Kebijakan itu membuat banyak warga kesulitan memperoleh makanan, khususnya di wilayah kantong kemiskinan di Bogota. Banyak warga di wilayah itu yang merupakan pekerja di sektor informal dan berpendapatan harian.
Melihat kondisi tersebut, Moscoso memutuskan mendonasikan makanan produksinya ke wilayah-wilayah itu. Setiap hari, setidaknya Moscoso membuat lebih dari 600 burger untuk dibagikan ke sejumlah lokasi di Bogota. Sekitar separuh dari burger tersebut dibagikan kepada warga migran Venezuela yang tengah mencari suaka ke Kolombia.
Dia bersama beberapa pegawainya menyiapkan dan mengirimkan seluruh makanan itu sendiri. Tidak jarang, saat mengirimkannya ke wilayah- wilayah berbahaya, dia mendapat pengawalan polisi.
Saat mengantar ke salah satu lokasi, dia tercekat. Di sana dia menemukan beberapa keluarga, dengan banyak anggota keluarga, telah bertahan hidup selama beberapa hari tanpa makanan.
”Itu terjadi hanya beberapa hari setelah kebijakan penutupan wilayah. Bagaimana kalau kebijakan ini berlangsung untuk 20, 30, atau hingga 40 hari? Orang-orang tak bisa pergi keluar mencari nafkah,” kata Moscoso
Gerakan yang digalang Moscoso ini disambut beberapa donatur dan pemilik restoran lainnya. Moscoso, yang berjanji tidak akan melakukan pemutusan hubungan karyawan pada karyawannya yang sebagian adalah memiliki keterbatasan fisik (kaum difabel), mengajak mereka aktif.
”Kini, kami sering kali kewalahan menerima pasokan makanan dan permintaan,” katanya.
”Keranjang Solidaritas”
Tidak hanya di Kolombia. Di Italia, salah satu negara yang paling parah terpapar Covid-19, juga muncul gerakan untuk menolong kelompok rentan. Di kota Napoli, warga menginisiasi gerakan ”Keranjang Solidaritas” di depan rumah-rumah mereka.
Melalui gerakan itu, warga berkemampuan ekonomi lebih meletakkan dua atau lebih keranjang di depan rumah mereka yang berisi bahan makanan pokok, seperti pasta dan minyak, untuk bisa diambil siapa pun yang membutuhkan.
Gerakan serupa muncul di kota Bari. Gerakan ini diinisiasi Asosiasi Orizzonti. Bekerja sama dengan lebih dari 60 pasar swalayan di kota tersebut, gerakan yang disebut Carello Solidale atau Troli Solidaritas ini mengumpulkan donasi berupa bahan makanan yang diletakkan di dekat pintu masuk dan pintu keluar pasar swalayan. Bahan-bahan pokok ini akan dikirimkan kepada warga yang paling membutuhkan.
Angelo Guariello, pemimpin Asosiasi Orizzonti, mengatakan bahwa pandemi global ini telah mengakibatkan penambahan jumlah kelompok rentan, warga miskin, hingga beberapa kali lipat. Organisasinya telah mendapatkan jumlah permintaan bantuan beberapa kali lipat dibandingkan ”waktu normal”.
”Terciptanya kelompok rentan yang baru, kelompok warga miskin yang baru, harus dihindari karena menghasilkan pelemahan sosial lebih lanjut. Solidaritas adalah satu-satunya obat untuk merasakan satu sama lain, merasa seperti keluarga besar,” kata Guariello, dikutip dari laman Coratolive.it.
Dari masker hingga mural
Pandemi Covid-19 telah menghentikan rantai pasokan peralatan kesehatan di seluruh dunia. Dokter, perawat, dan tim medis di seluruh dunia menjerit karena pasokan alat pelindung diri semakin menipis. Bahkan, mereka bersaing dengan warga kebanyakan untuk mendapatkan masker.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah berulang kali mengingatkan bahwa sebaiknya masker medis digunakan untuk tenaga medis yang berada di garis terdepan penanganan pasien positif Covid-19. Warga yang berkegiatan di rumah disarankan menggunakan masker jenis lain, termasuk masker kain, tetapi itu pun sulit didapat.
Eric Baldwin, pemilik usaha perbaikan kapal layar di South Freeport, sekitar 30 kilometer sebelah utara Portland, mengubah ”bengkel” miliknya menjadi ”pabrik kecil” untuk memproduksi masker. Bersama dengan tiga pegawainya, Eric memproduksi masker dari bahan kain untuk dikirim ke berbagai kota di Amerika Serikat.
Eric, yang sudah berkecimpung dalam usaha perbaikan kapal layar ini selama 25 tahun, mengatakan, meski ada pekerjaan yang sesungguhnya, memperbaiki layar kapal yang robek atau bahkan membuat yang baru, membuat masker wajah untuk melindungi warga dari kemungkinan penyebaran virus SARS-CoV-2 membuatnya terpanggil.
Kini, setiap hari, setidaknya bengkel Eric mampu memproduksi sekitar 500 kain. Kini, bersama dengan beberapa donatur, dia berupaya memproduksi lebih banyak masker untuk dikirimkan ke beberapa negara bagian.
Solidaritas global terus terbangun melihat banyaknya korban berjatuhan hingga meninggal akibat wabah ini. Solidaritas tidak hanya berbentuk benda, tetapi juga penghargaan bagi para pekerja di garis terdepan penanganan virus ini, seperti para dokter, perawat, bidan, dan petugas pemadam kebakaran atau bahkan petugas taman pemakaman umum di beberapa negara yang berjibaku secara langsung dalam menangani korban.
Di Inggris, misalnya, Perdana Menteri Boris Johnson yang didiagnosis positif mengidap Covid-19 bersama-sama seluruh rakyat Inggris memberikan apresiasi kepada pekerja medis dan lainnya yang telah berjibaku menanggulangi penyakit ini. Gerakan ini, dalam bentuk lain, juga terjadi di seluruh dunia.
Di Milan, Italia, gerakan itu dituangkan melalui aksi melukis mural tentang perawat dan tim dokter di Milan, Italia, yang bertuliskan ”I Tutti Voi.. Grazie!” (kepada Anda semuanya... terima kasih!), atau melukis pelangi di kaca-kaca rumah. Di Mesir, tata lampu dibuat sedemikian hingga menyimbolkan semangat solidaritas di Piramida Giza di Mesir. Hal serupa melalui permainan tata cahaya lampu di Pegunungan Matternhorn, Swiss, dengan simbol #hope atau harapan.
Kini, masyarakat di sejumlah negara saling menguatkan, saling membantu, saling memberi harapan satu sama lain agar pandemi ini bisa dilewati. Seperti ungkapan terkenal di Jerman: Halt die Ohren steif (ini jangan sampai membuatmu terjatuh, jangan sampai kehilangan harapan). (AP)