Di negara dengan sistem tangan besi, seperti China, kepatuhan warga sudah bukan masalah. Namun, di negara yang mengklaim bebas dan demokratis seperti Amerika Serikat, sulit mengimbau warga agar tetap tinggal di rumah.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Tiga bulan sudah kita hidup bersama virus korona jenis baru yang menyebabkan sedikitnya 1,2 juta orang di sejumlah negara sakit, lebih dari 64.000 orang tewas, dan lebih dari 246.00 orang sembuh. Tidak ada yang menyangka kasus pneumonia yang muncul di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, pada akhir tahun 2019 itu akan bisa membuat seluruh dunia jungkir balik dan mengubah total cara hidup sehari-hari, terutama cara orang berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama.
Menjaga jarak fisik dengan orang lain menjadi salah satu solusi terbaik saat ini untuk mencegah penyebaran virus penyebab Covid-19. Solusi ini membuat hidup kita sebagai makhluk sosial berubah. Untuk memastikan efektivitas jaga jarak fisik, berbagai negara memberlakukan kebijakan karantina diri, karantina per wilayah, dan karantina satu negara. Di Indonesia, digunakan istilah pembatasan sosial berskala besar yang—jika dilaksanakan secara konsekuen— selangkah hampir sama saja dengan karantina.
Di negara dengan sistem tangan besi, seperti China, kepatuhan warga sudah tidak menjadi masalah. Namun, di negara yang selama ini mengklaim bebas dan demokratis, seperti Amerika Serikat, sulit mengimbau warga untuk patuh tinggal di rumah saja. Sejumlah negara bahkan harus mengumumkan ancaman denda dan penjara bagi siapa saja yang tetap mengeyel. Namun, tetap saja ada yang keluyuran di jalanan dan kumpul-kumpul di tempat publik.
Situs CNN, 2 April 2020, menyebut wajar jika warga sulit atau tidak mau tinggal di rumah saja karena manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang tak bisa berjauhan satu sama lain. Di Italia, ada 125.000 orang kena denda karena ketahuan diam-diam kumpul-kumpul dengan orang lain.
Kontak fisik konsensual dengan orang lain dan menikmati kebersamaan dengan orang lain melepaskan endorfin, serotonin, dan oksitosin yang memunculkan perasaan bahagia dan bahkan cinta. Inilah kenapa ketika kita menonton konser atau pertandingan sepak bola, bukan pemain atau musisi yang membuat senang. Namun, berada di tengah-tengah banyak orang itulah yang membuat senang.
Kontak fisik konsensual dengan orang lain dan menikmati kebersamaan dengan orang lain melepaskan endorfin, serotonin, dan oksitosin yang memunculkan perasaan bahagia dan bahkan cinta.
”Ada juga yang tidak suka ramai-ramai. Namun, bagi yang suka, situasi seperti itu membuat dirinya menjadi lebih hidup,” kata Michael Muthukrishna, asisten professor pada Psikologi Ekonomi, London School of Economics and Political Science.
Keharusan menjaga jarak fisik dengan sesama memaksa orang beralih ke media daring. Mulai dari ngobrol biasa sampai rapat dilakukan secara daring. Tetapi, cara itu masih dianggap kurang memuaskan batin karena tidak ada unsur saling sentuh. Otak dan tubuh memberikan sinyal perasaan senang saat berjabatan tangan, memberi pelukan, atau cium pipi kiri-kanan. Wajar, sejak bayi manusia terbiasa dengan sentuhan.
Pendiri dan Direktur Institut Penelitian Sentuhan di University of Miami, AS, Tiffany Field menjelaskan, sistem kekebalan tubuh akan kuat melawan virus jika ada sentuhan. Tak hanya itu. Risiko kesehatan mental juga bisa ditekan. Dari beberapa penelitian Field, terbukti perilaku anak dan remaja yang tidak mendapat afeksi menjadi lebih agresif.
Ironisnya, meski kontak dengan sesama ternyata berguna untuk kesehatan, di saat pandemi Covid-19 begini, justru kontak dengan sesama itu pula yang berisiko tinggi menularkan virus. Untuk mengakali ini, kata Field, sesama antar-anggota keluarga, misalnya, bisa saling memijat. Bagi yang tinggal sendiri di rumah, bisa memijat diri sendiri.
”Sentuhan bisa membuat detak jantung melambat dan hormon stres turun. Bahkan, untuk jangka panjang (memijat) bisa membunuh bakteri, virus, dan sel kanker. Pijat-pijat badan sendiri saja cukup,” ujar Field.
Sosiolog dari the Vrije Universiteit Amsterdam, Bianca Suanet, mengingatkan untuk tetap berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain melalui cara apa pun. Ia khawatir keharusan untuk menjaga jarak fisik ini akan berdampak buruk kepada orang tua yang lebih rentan merasa kesepian. Orang yang punya banyak teman yang solid pasti akan kehilangan kontak sosial tatap muka,” ujar Suanet.
Rasa kehilangan itu setidaknya, kata Suanet, bisa diatasi dengan sesekali saling menelepon atau membawakan belanjaan bahan makanan. Saling membantu sesama itu setidaknya kini menjadi cara terbaik agar kita merasa terhubung dengan orang lain.