Mantan Wakil Dubes Korea Utara untuk Inggris Thae Yong Ho maju dalam pemilihan anggota parlemen Korea Selatan. Thae, yang memilih membelot ke Korsel pada 2016, berkampanye untuk dapil di Distrik Gangnam, Seoul.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Selama puluhan tahun, Thae Yong Ho mengabdi pada rezim Korea Utara sebagai Wakil Duta Besar Korea Utara di Inggris. Lalu, ia pindah ke Korea Selatan dan kini mencalonkan diri dalam pemilu langsung Korea Selatan. Jika menang di daerah pemilihannya, Gangnam, distrik kaya di Seoul yang terkenal berkat penyanyi rap Psy, Thae akan menjadi mantan pejabat Korut pertama yang masuk parlemen Korsel.
Thae meyakini jika ia terpilih, itu akan menguatkan pesan yang ingin dia sampaikan kepada para pejabat Korut. Jika meninggalkan rezim Korut tidak berarti masa depan lantas suram selamanya. ”Pesan saya kepada rezim, pasti akan ada jalan baru yang lebih baik untuk masa depan,” ujarnya, Rabu (8/4/2020).
Pesan ini penting bagi Thae karena di Korut ada pemahaman jika kedua Korea bersatu dengan konsep kebebasan atau demokrasi, mereka yang sebelumnya mengabdi kepada keluarga Kim pasti akan menjadi target sasaran untuk disingkirkan.
”Saya yakin kalau kita bisa mengubah pola pikir kelompok elite Korut, kita bisa dengan mudah meruntuhkan sistem Kim,” kata Thae.
Sistem pemilu di kedua negara tetangga yang secara resmi masih dalam status perang itu berbeda bagaikan bumi dan langit. Di Korut, pemilih antre memasukkan kartu suara yang sudah tercantum satu nama kandidat. Sementara di Korsel, banyak anggota partai politik yang berkompetisi masuk kekuasaan dengan cara apa pun, mulai dari berkampanye di media sosial hingga membungkuk di hadapan komuter demi mendapat dukungan.
Pemilu yang akan diadakan pada 15 April mendatang itu akan memilih parlemen baru melalui gabungan cara, yaitu memilih calon dari daerah pemilihan seperti Thae dengan representasi proporsional. Posisi Presiden Korsel Moon Jae-in tidak akan terpengaruh karena ia dipilih langsung. Namun, pemilu ini sesungguhnya bentuk referendum atas kinerjanya selama ini.
Kecewa
Thae datang dari keluarga terpandang yang banyak berjasa di Korut. Meski demikian, ia memilih meninggalkan Korut pada Agustus 2016. Ia kecewa dengan rezim Korut yang dipimpin Kim Jong Un. Thae memutuskan pindah ke Korsel hanya karena tidak mau anak-anaknya hidup susah di Korut.
Selama 20 tahun terakhir, sedikitnya 33.000 warga Korut pindah ke Korsel. Namun, jarang ada pejabat tinggi yang berani keluar Korut. Sejak keluar dari Korut, Thae sering mengkritik rezim Korut. Ia lalu bergabung dengan kubu oposisi konservatif, Partai Masa Depan Bersatu (UFP), dan diajukan sebagai kandidat untuk kursi parlemen dari Gangnam.
Dalam sistem demokrasi Korsel, kata Thae, setiap dukungan pemilih penting dan harus ada kampanye dengan pendekatan orang per orang. ”Kalau mau menang, kita harus turun ke jalan, harus membungkuk terus, dan harus menyapa sebanyak mungkin orang,” ujarnya.
Beda rezim
Kampanye seperti ini tidak mungkin dilakukan di Korut. Partai Pekerja yang berkuasa di Korut berkuasa penuh dan setiap lima tahun sekali mengadakan pemilu untuk memilih anggota Majelis Rakyat Tertinggi yang hanya menjalankan perintah rezim Korut. Jumlah pemilih yang memberikan suaranya pada pemilu Maret 2019 mencapai 99,99 persen.
Meski sistem pemilunya sama dengan negara demokrasi lainnya, seperti disediakan daftar pemilih hingga pemakaian kotak suara yang tertutup, hanya akan ada satu nama kandidat yang tertera di kertas suara.
Rezim Korut ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka pun memakai sistem republik. Namun, sesungguhnya mereka memakai sistem dinasti. ”Kalau memenangkan Kim Jong Un, maka bisa masuk parlemen,” kata Thae.
Media massa rezim Korut mengecam Thae sebagai ”manusia sampah” dan menuding Thae mencuri uang negara, memperkosa anak di bawah umur, dan menjadi mata-mata Korsel dengan imbalan uang. Ia kini dikhawatirkan menjadi sasaran utama rezim Korut. Posisinya akan lebih mengkhawatirkan jika ia menang dalam pemilu. ”Untuk membuat perubahan memang harus ada risiko yang diambil,” kata Thae. (AFP)