Israel mencatat 9.404 kasus Covid-19, sementara Palestina hanya 263 kasus. Israel dan Palestina sama-sama memperketat perbatasan, pembatasan gerak, dan mendorong warga diam di rumah untuk mengendalikan laju infeksi.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
RAMALLAH, RABU — Wabah Covid-19 yang dipicu oleh virus korona tipe baru menghadirkan dilema rumit bagi para pekerja dari Tepi Barat, Palestina. Mereka harus memilih karantina tanpa penghasilan atau bekerja dengan risiko lebih besar tertular Covid-19.
Jamal Salman, pekerja dari Tepi Barat, sudah lama menjadi buruh bangunan di Tel Aviv, Israel. Ada asrama di lokasi proyek sehingga ia tidak perlu kembali setiap hari ke rumahnya di Tepi Barat. Dengan jadi pekerja bangunan, ia bisa mendapat 1.500 dollar AS per bulan.
Semua harus dilepaskan sejak wabah SARS-CoV-2 melanda. ”Virus korona seperti perang habis-habisan, semua menderita,” kata pria yang kini menganggur itu.
Hingga Rabu (8/4/2020), Israel mencatat 9.404 kasus Covid-19. Sementara Palestina hanya 263 kasus. Hal itu menunjukkan peluang tertular Covid-19 lebih tinggi di Israel dibandingkan di Palestina. ”Kalau ada pekerjaan lain, saya sebenarnya ingin tetap tinggal,” kata Mohammed Falah, warga Tepi Barat yang juga bekerja di Tel Aviv.
Ia pulang setelah tiga pekan bekerja di Tel Aviv dengan gaji 70 dollar AS per hari. Seperti pelintas lain, ia disemprot dengan cairan disinfeksi begitu melewati pos pemeriksaan. ”Sepatu saya pun disemprot,” ujarnya.
Ia mematuhi perintah isolasi 14 hari. Sebab, tidak ingin keluarganya tertular. ”Saya punya keluarga dan ingin melindungi mereka,” katanya.
Israel dan Palestina sama-sama memutuskan pengetatan perbatasan, pembatasan mobilitas, dan mendorong warga diam di rumah untuk mengendalikan laju penularan. Israel dan Palestina juga sepakat, para pekerja dari Tepi Barat bisa tinggal di Israel selama dua bulan dalam masa pandemi. Kemudahan itu berlaku dengan syarat mereka tidak bolak-balik Tepi Barat-Israel. Warga Tepi Barat harus memilih bekerja dan tinggal di Israel sampai perintah pembatasan selesai atau pulang ke Tepi Barat tanpa penghasilan sampai pembatasan dicabut.
Jamal sebenarnya sudah tinggal di Tel Aviv. Akan tetapi, setiap malam istrinya selalu menelepon dan meminta dia pulang. Istrinya khawatir Jamal terinfeksi SARS-CoV-2. Menteri Tenaga Kerja Palestina Nasri Abu Jaish mengatakan, ribuan warga Tepi Barat pulang dari Israel selama musim liburan. Palestina mengawasi mereka secara ketat, sebab 73 persen kasus infeksi Covid-19 di Palestina terkait pekerja yang pulang dari Israel.
Pekan lalu, Israel memulangkan 250 pekerja Tepi Barat. Tempat kerja mereka, rumah potong arah dekat Jerusalem, menjadi lokasi penyebaran virus dengan sembilan orang dipastikan terinfeksi.
”Dengan penutupan perbatasan, tanpa kunjungan pelancong, satu-satunya sumber pendapatan hanya dari Israel, tempat wabah lebih banyak,” kata pejabat Kementerian Kesehatan Palestina, Kamal al-Shakra.
Pejabat lain di Kemenkes Palestina, Ali Abed Rabu, mengatakan bahwa Palestina tidak bisa memeriksa semua warga yang ke Israel. Kemampuan Palestina terbatas. Karena itu, Israel dan Palestina akhirnya sama-sama melarang pekerja bolak-balik. Selain itu, ada ketentuan isolasi mandiri 14 hari bagi yang diduga terinfeksi.
Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) wilayah Palestina, Gerald Rockenschaub, memuji keputusan itu. Tidak mudah memeriksa pekerja. Apalagi, banyak warga Palestina yang tidak terdaftar sebagai pekerja di Israel.
Rockenschaub menyebut Palestina tidak akan sanggup menanggung dampak pandemi. Sebab, sistem layanan kesehatan Palestina amat rapuh di tengah konflik panjang Israel-Palestina. (AP)