Krisis Sudan Belum Juga Usai Setelah Tergulingnya Bashir
Melonjaknya inflasi, utang publik yang besar, dan upaya rumit untuk menempa perdamaian dengan pemberontak adalah sejumlah tantangan yang kini dihadapi Sudan. Krisis politik dan ekonomi masih mengancam negeri itu.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
KHARTUM, RABU — Telah setahun, sejak pemimpin terlama di Afrika, Omar al-Bashir, digulingkan dari kekuasaannya di Sudan. Bashir digulingkan setelah rangkaian aksi protes massa di jalanan. Namun, hingga kini, Sudan belum juga terlepas dari krisis, baik politik maupun ekonomi. Ketidakpastian di sektor politik membuat upaya pemulihan ekonomi menjadi sulit dilakukan.
Bashir digulingkan pada 11 April 2019 oleh militer negara itu. Dia ditangkap dan ditahan di sebuah penjara Khartum. Pada Desember tahun lalu, ia diperintahkan menjalani proses rehabilitasi selama dua tahun dalam kasus korupsi.
Bashir masih menghadapi dakwaan terpisah atas pembunuhan para demonstran dan kudeta pada 1989 yang membawanya ke kursi kekuasaan. Pihak berwenang juga sepakat bahwa Bashir harus diadili di hadapan Pengadilan Kriminal Internasional atas tuduhan genosida dan kejahatan perang yang dilakukan sejak 2003 dalam konflik Darfur, yang mempertemukan kekuatan pemerintah yang didominasi Arab melawan pemberontak etnis minoritas Afrika.
Setelah Bashir terguling, Militer tampil di garda depan menanggapi kemarahan publik. Setelah melakukan perundingan dengan kekuatan sipil yang menjadi aktor utama unjuk rasa, dibentuklah pemerintahan transisi.
Sejak Agustus tahun lalu, pemerintah transisi—yang terdiri atas pejabat sipil dan militer—telah mengambil alih tampuk kekuasaan di Sudan. Namun, transisi proses politik dari pemerintahan transisi ke pemerintahan sipil rapuh.
Kondisi itu diperparah dengan kinerja perekonomian yang buruk akibat kebijakan pemerintahan era Bashir. Jalinan persoalan politik dan ekonomi itu dinilai berpotensi menjungkalkan Sudan pada situasi yang lebih kelam dan dapat memicu kerusuhan sosial.
”Sejauh ini tantangan utama yang dihadapi masa transisi adalah konstelasi faktor-faktor yang sama yang berkontribusi pada runtuhnya pemerintahan Bashir,” kata Magdi el-Gizouli dari lembaga pengamat Rift Valley Institute. Masalah utama yang dihadapi para pemimpin baru Sudan sekarang, katanya adalah pemulihan kembali tatanan politik dan krisis ekonomi.
Pada Agustus tahun lalu, Sudan membentuk pemerintahan teknokratis. Kabinet, dipimpin oleh ekonom berpengalaman Abdalla Hamdok, yang ditugaskan untuk mengarahkan negara selama transisi tiga tahun. Melonjaknya inflasi, utang publik yang besar, dan upaya rumit untuk menempa perdamaian dengan pemberontak adalah sejumlah tantangan yang harus dihadapi kabinet pimpinan Hamdok.
Ekonomi Sudan, yang sudah menderita akibat sanksi berkepanjangan dari Amerika Serikat, terpuruk sejak tahun 2011 ketika Sudan Selatan yang kaya minyak memisahkan diri lewat proses negosiasi dengan pemerintahan Bashir. Pada Oktober 2017, Washington mengumumkan berakhirnya embargo perdagangan atas Sudan yang telah berjalan selama 20 tahun. Namun, AS tetap memasukkan Sudan dalam daftar hitam sponsor terorisme.
Pemerintahan Hamdok sekarang berharap pencabutan sanksi AS terhadap 157 perusahaan Sudan pada Maret akan membantu menarik investasi asing, tetapi masa depan masih tampak suram.
Pasoka listrik untuk warga masih terbatas dan banyak warga Sudan masih harus mengantre berjam-jam saat membeli roti atau bensin.
”Pemulihan ekonomi di Sudan akan menjadi jalan panjang dan akan membutuhkan dukungan yang serius, berkelanjutan dan terkoordinasi dari donor tradisional, seperti Uni Eropa, Inggris, Jepang, dan AS serta negara-negara Teluk,” kata Jonas Horner dari International Crisis Group. ”Dukungan teknis dan keuangan eksternal jangka panjang diperlukan untuk menarik Sudan keluar dari kubangan lumpur.”
Pemerintahan Hamdok telah berupaya mendorong posisi Sudan di kancah internasional serta meredakan ketegangan dengan AS. Pada Desember tahun lalu, Hamdok yang menjabat sebagai perdana menteri mengunjungi Washington.
Sejumlah pihak mengatakan, dari pertemuan itu lahir kesepakatan berupa kompensasi untuk keluarga korban pengeboman USS Cole di pelabuhan Aden Yaman. Al-Qaeda disalahkan atas serangan itu. Amerika Serikat mengatakan para pengebom yang telah melakukan serangan pada 2000 itu didukung dan dilatih di Sudan. Khartum selalu membantah tuduhan itu, tetapi setuju dengan langkah penyelesaian demi memenuhi syarat utama AS agar Sudan dihapus dari daftar hitam penyokong terorisme.
Selain itu, transisi politik di Sudan juga diuji oleh beberapa insiden keamanan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Pada Januari lalu, lima orang termasuk dua tentara tewas ketika pasukan Sudan menyerang loyalis Bashir. Pada Maret lalu, konvoi kendaraan Hamdok dihujani tembakan dan dibom saat melintas di Khartum. Hamdok selamat tanpa cedera.
Sudan pun terus menghadapi kekerasan komunal sporadis di wilayah-wilayah pinggiran, termasuk di Darfur. Pihak berwenang di negara itu telah memulai pembicaraan dengan kelompok-kelompok pemberontak mengenai kemungkinan kesepakatan damai di Kordofan Selatan dan Nil Biru.
”Kami telah menempuh perjalanan panjang dengan kelompok-kelompok pemberontak bersenjata,” kata menteri informasi dan juru bicara pemerintah Faisal Saleh. ”Masalah luar biasa itu tidak besar, tetapi rumit.” (AFP)