China Rengkuh Dunia via ”Diplomasi Korona”
Di tengah pandemi virus korona tipe baru saat ini, China boleh jadi negara yang memantik rasa kesal, tetapi juga dirindukan. Rasa kesal itu terkait posisinya sebagai asal munculnya wabah yang membuat kalang kabut dunia.
Di tengah pandemi virus korona tipe baru saat ini, China boleh jadi negara yang memantik rasa kesal, tetapi juga dirindukan. Rasa kesal itu terkait posisinya sebagai asal munculnya wabah yang membuat kalang kabut dunia. Namun, bantuan negara itu juga dirindukan untuk menangani Covid-19. Ketika negara-negara kelimpungan akibat virus itu, China hadir menggelontorkan bantuannya.
”Terima kasih, Saudara Xi”, demikian tulisan di sejumlah papan reklame bergambar foto wajah Presiden China Xi Jinping di beberapa sudut ibu kota Belgrade, Serbia, beberapa hari terakhir ini. Maret lalu, saat enam tenaga profesional medis dari China menapak tangga turun pesawat Air Serbia di Belgrade, karpet merah terbentang di landasan bandara. Enam tenaga ahli medis China itu diterima bak tamu kehormatan, disambut langsung oleh Presiden Serbia Aleksandar Vucic dan sejumlah anggota kabinetnya di bandara.
Serbia, salah satu negara mitra dekat Beijing di Eropa, merupakan salah satu penerima bantuan China dalam menanggulangi wabah Covid-19. Deretan negara penerima bantuan atau produk perlengkapan medis dari ”Negeri Tirai Bambu” itu bertebaran di seluruh kawasan, mulai dari Asia, Afrika, Eropa, hingga Amerika, bahkan termasuk rival utama, Amerika Serikat. Selain Serbia, negara- negara itu antara lain Kamboja, Laos, Pakistan, Iran, Irak, Aljazair, Etiopia, Italia, Venezuela, Argentina, Ekuador, Chile, dan Meksiko.
Baca juga: Jumlah Kasus di Hubei Terus Turun, China Mulai Bantu Negara Lain
Sejumlah negara Uni Eropa (UE) juga menerima bantuan China, antara lain Austria, Belgia, Perancis, Hongaria, Belanda, dan Spanyol. ”Terbukti, tanpa Anda, Eropa nyaris tidak bisa mempertahankan diri sendiri,” ujar Vucic kepada Duta Besar China untuk Serbia.
Indonesia juga merupakan salah satu penerima bantuan dari China. Seperti dirilis Kedutaan Besar China di Jakarta melalui halaman Facebook-nya, Beijing pada 28 Maret lalu memasok bantuan peralatan medis, seperti alat tes korona, masker N95, masker bedah, pakaian pelindung medis, dan ventilator portabel. Pada 2 April lalu, seperti dilansir laman Kementerian Luar Negeri China, Presiden Xi berbicara melalui telepon dengan Presiden Joko Widodo.
”Saya yakin, di bawah kepemimpinan Anda, Indonesia pada akhirnya bakal mampu mengalahkan wabah ini,” kata Xi saat itu. ”Indonesia berharap untuk memperdalam kerja sama dan hubungan dengan China,” ujar Presiden Jokowi. Pada saat awal China mulai menghadapi wabah ini, Indonesia juga mengirim bantuan ke sana.
Indonesia berharap untuk memperdalam kerja sama dan hubungan dengan China. (Presiden Jokowi)
Bantuan donasi atau penjualan alat-alat perlengkapan medis dari China itu menjangkau sekitar 90 negara, termasuk AS. Badan Kerja Sama Pembangunan Internasional China juga menyebutkan, sejumlah negara dan lembaga internasional menjalin komunikasi lewat konferensi video untuk mengetahui cara China menangani pandemi Covid-19. Maklum, sejak pertengahan Maret, China mulai mengendalikan persebaran wabah. Pada 8 April lalu, isolasi Wuhan, kota episentrum penyebaran wabah, juga telah dibuka.
Baca juga: Pelajaran dari Wuhan, Pandemi Korona Terbukti Bisa Dikalahkan
Selain berupa perlengkapan medis dan alat-alat terkait pencegahan penularan Covid-19, bantuan dari China itu juga berupa pengiriman tim medis dan tenaga profesional yang memberikan arahan dan masukan tentang penanganan wabah. Mereka, misalnya, memberikan saran kepada negara-negara penerima agar membangun rumah sakit-rumah sakit darurat, menerapkan karantina atau isolasi warga, hingga mengeluarkan pembatasan kedatangan warga dari luar.
Atas saran China, Serbia mulai mengarantina warga yang mengalami gejala ringan agar wabah tidak menyebar. Belgrade juga mengerahkan tentara untuk membangun rumah sakit-rumah sakit darurat. Mereka juga menggelar tes massal bagi sebanyak mungkin warga Serbia. Menurut pejabat negeri itu, pendekatan ala China yang mereka terapkan telah memperlambat penularan virus.
”Kami telah menerapkan model China, yakni dengan menjangkau dan merawat sebanyak mungkin seluruh warga yang terinfeksi,” ujar seorang sumber yang dekat dengan kepresidenan Serbia.
Ubah kebijakan
Atas saran dari China pula, sebuah negara bisa mengubah kebijakan. Kamboja, mitra dekat Beijing di Asia Tenggara, memberlakukan pembatasan berskala besar atas kedatangan pengunjung internasional. Pada April ini, bersamaan dengan Tahun Baru Khmer, Kamboja diperkirakan bakal menerima luapan kunjungan pulang warganya dari luar negeri. Mereka yang baru tiba akan menjalani karantina di hotel-hotel atau sekolah-sekolah yang diubah menjadi tempat karantina.
Atas saran dari China, negara bisa mengubah kebijakan. Kamboja, mitra dekat Beijing di Asia Tenggara, memberlakukan pembatasan berskala besar atas kedatangan pengunjung internasional.
Semua itu dilakukan atas saran tim medis dari China. ”Pembatasan terbaru untuk mengurangi mobilitas orang dan melarang warga asing datang ke negeri ini adalah langkah-langkah pengendalian yang dilakukan China,” ujar Liang Wenbin, anggota tim medis China yang dikirim ke Kamboja.
Di Aljazair, China mengirim tim medis beranggota 13 orang dan bantuan perlengkapan medis, termasuk respirator, senilai sekitar 450.000 dollar AS. Selain itu, Aljazair juga memesan 100 juta masker wajah, 30.000 alat tes, baju pelindung, dan perlengkapan medis lainnya.
Media China melaporkan, Beijing direncanakan membangun sebuah rumah sakit kecil yang bisa melayani sekitar 5.000 warga Aljazair dan 4.000 warga China yang dipekerjakan perusahaan China State Construction Engineering Corporation (CSCEC). BUMN China ini menggarap banyak proyek infrastruktur di Afrika, termasuk Masjid Agung Aljazair—salah satu masjid terbesar di dunia—dan bermarkas di Aljazair.
Baca juga: Wabah Korona Merebak di Afrika, Jack Ma Sumbang 1 Juta Peralatan Tes Medis
Kawasan Benua Amerika tak luput dari jangkauan China. Dari Argentina hingga Meksiko, dari Brasil hingga Peru, negara-negara Amerika Latin juga menerima tawaran bantuan dari China guna mengatasi wabah Covid-19. Kepada Presiden Argentina Alberto Fernandez yang menerima di kediamannya di permukiman elite suburban Olivos di Buenos Aires, pertengahan Maret lalu, Dubes China Zou Xiaoli menawarkan donasi masker, sarung tangan, termometer, dan alat pelindung diri (APD).
Bagi Argentina, yang kini dililit utang luar negeri 110 miliar dollar AS dan tengah menegosiasi ulang dengan para kreditor, bantuan dari Beijing itu disambut dengan sukacita. ”Ini bagian dari keterkaitan kami dengan China, yang berhubungan secara solid, saling menghormati, melebihi hubungan perdagangan yang kuat,” ujar seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Argentina.
Chile setali tiga uang dengan Argentina. Seperti diungkapkan menteri kesehatannya, negara itu mengirim pesawat angkatan udara ke China untuk mengangkut pasokan donasi Beijing, termasuk peralatan tes dan respirator. Venezuela bahkan tak sekadar memperoleh bantuan perlengkapan medis, tetapi kini juga membahas kemungkinan dukungan dana dari Beijing.
Nama China pun harum di kalangan pemimpin negara-negara Amerika Latin. ”Terima kasih China atas kerja sama dan solidaritas dengan Ekuador!” cuit Otto Sonnenholzner, Wakil Presiden Ekuador, di Twitter, sambil memerinci bantuan dari China, antara lain termasuk 40.000 masker untuk operasi, termometer inframerah, dan APD.
Kecurigaan Barat
Meski demikian, tidak semua pihak memandang positif terhadap inisiatif China tersebut. Beberapa kalangan di Barat, termasuk pejabat di UE, memperlihatkan pandangan curiga terhadap inisiatif Beijing mengulurkan bantuan ke seluruh pelosok dunia. Sebagian pandangan itu bernada rasis.
Ada semacam kecurigaan di sebagian kalangan Barat bahwa China memanfaatkan pandemi korona sebagai kesempatan memainkan kekuatan lunak (soft power) dengan ”diplomasi virus korona”.
Presiden AS Donald Trump pernah menyebut virus korona tipe baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19 dengan istilah ”virus China”, sedangkan Menlu AS Mike Pompeo memberi nama ”virus Wuhan”, memantik kemarahan Beijing. Menteri Pendidikan Brasil Abraham Weintraub mengaitkan pandemi korona dengan rencana China menguasai dunia.
Baca juga: Pelajaran Penting dari Lonjakan Kasus Kematian di Kota New York
”Kami harus sadar, ada komponen geopolitik, termasuk pertarungan pengaruh melalui pelintiran dan ’politik kedermawanan’,” ujar Josep Borrell, Kepala Kebijakan Luar Negeri UE. Dirjen Urusan Eropa Departemen Luar Negeri Perancis Amelie de Montchalin menyatakan, ”Kadang-kadang lebih mudah menebar propaganda, foto-foto yang indah, dan kadang-kadang mengeksploitasi apa yang sedang terjadi.”
Ada semacam kecurigaan di sebagian kalangan Barat bahwa China memanfaatkan pandemi korona sebagai kesempatan untuk memainkan kekuatan lunak (soft power)-nya dengan ”diplomasi virus korona”. Melalui bantuan ke sejumlah negara itu, China disebut berupaya mengubah narasi: citra sebagai negara tempat asal muasal virus yang kemudian menjadi pandemi global, dipoles dengan citra sebagai pemimpin dunia dalam perang melawan virus korona.
Jika menelusuri jauh ke belakang sebelum pandemi ini terjadi, tak sulit menempatkan persoalan itu dalam kerangka perebutan pengaruh China versus Barat. Pertarungan itu kian meningkat, terutama sejak Beijing gencar melebarkan sayap lewat Prakarsa Sabuk dan Jalan, agresifnya dalam pengembangan basis militer di Laut China Selatan, tekad perusahaan raksasa Huawei menguasai teknologi informasi dunia, serta ambisi China mengimbangi AS sebagai kekuatan adidaya dunia. (AP/AFP/REUTERS)