China Merevisi Jumlah Kematian di Wuhan, Naik 50 Persen
China mengakui ada perbaikan penghitungan jumlah korban meninggal di Wuhan, Hubei, yang menjadi asal mula Covid-19, yang berpengaruh pada lonjakan kasus kematian nasional.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
WUHAN, SABTU — Pemerintah Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, yang menjadi asal dan pusat penyebaran virus korona baru pembawa penyakit Covid-19, mengakui ada kesalahan penghitungan jumlah korban meninggal dalam kasus itu. Setelah direvisi, terjadi peningkatan 50 persen pada jumlah korban meninggal di Wuhan dan 39 persen secara nasional di negeri ”Tirai Bambu” itu.
Dalam pernyataannya melalui Twitter, otoritas pengawas epidemi Wuhan pada Jumat (17/4/2020) menyatakan, pihaknya telah menambahkan 1.290 korban meninggal dalam penghitungan total di kota itu menjadi 3.869 kasus kematian. Sementara jumlah korban meninggal di China meningkat 39 persen menjadi 4.632 orang.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian mengakui adanya perbaikan penghitungan jumlah korban di Wuhan. Hal itu karena penyebaran virus yang cepat telah berkontribusi pada penghitungan rendah. Namun, dia membantah bahwa tindakan itu adalah tindakan yang disengaja.
”Tidak pernah ada penyembunyian. Kami tidak akan pernah membiarkan penyembunyian apa pun,” kata Lijian.
Pemerintah China dan Kota Wuhan mengemukakan alasan terlewatnya sejumlah penghitungan antara lain staf medis kewalahan pada hari-hari awal ketika infeksi meningkat yang mengarah pada keterlambatan pelaporan, kelalaian atau kesalahan pelaporan, fasilitas pengujian dan perawatan yang tidak mencukupi, serta kematian beberapa pasien di rumah tidak dilaporkan dengan benar.
Data mengenai jumlah korban meninggal dan kecepatan dalam penyebarluasan informasi adalah dua hal yang menyulut perselisihan antara China dan Amerika Serikat. Presiden AS Donald Trump dalam banyak kesempatan menuding pemerintahan Presiden China Xi Jinping telah menyembunyikan informasi tentang penyebarluasan virus yang berbahaya ini.
Beberapa pihak yang mencoba memberitahukan otoritas kesehatan di luar China menjadi pesakitan karena sanksi dan tekanan yang diberikan oleh pemerintah setempat. Termasuk dokter Li Wenliang, yang akhirnya meninggal karena terpapar virus korona baru (SARS-CoV-2), saat merawat pasien positif Covid-19. Pengekangan informasi itu, yang menurut Trump, berdampak pada kesiapan negara lain dalam merespons penyakit itu, termasuk AS sendiri.
”Angkanya (angka kematian di China) jauh lebih tinggi daripada yang disampaikan. Dan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian di AS,” kata Trump.
Jumlah korban meninggal di seluruh dunia per hari rata-rata 8.000 orang, hingga kini total berjumlah 154.262 jiwa. AS menjadi negara dengan jumlah korban meninggal dunia terbanyak, yaitu 37.158 jiwa. Disusul Italia dengan 22.745 korban meninggal, Spanyol dengan 20.002 korban, dan Perancis dengan korban 18.681 jiwa.
Sejumlah peneliti dari Universitas Stanford, AS, meyakini kalau jumlah tersebut hanya merupakan puncak gunung es dari kenyataan yang sesungguhnya. Dokter Jay Bhattacharya, anggota tim penelitian yang dipimpin Profesor Eran Bendavid, mengatakan, timnya menemukan banyak kasus yang tidak teridentifikasi meski orang itu sudah menjalani tes virus.
”Ini konsisten dengan temuan dari seluruh dunia bahwa penyakit ini, epidemi ini lebih jauh dari yang kita duga,” kata Bhattacharya.
Sementara itu, Pemerintah Amerika Serikat meminta Pemerintah China untuk merevisi aturan kontrol kualitas barang ekspornya yang baru, khususnya untuk ekspor alat pelindung diri (APD). Revisi aturan ini dibutuhkan agar aturan itu tidak membuat pemenuhan pasokan APD ke AS terlambat.
AS butuh APD China
Pemerintah China beberapa waktu terakhir memberlakukan aturan pemeriksaan pabean wajib pada produk APD setelah banyak keluhan atas kualitas APD yang dihasilkan produsennya di negara tersebut. Pada saat yang sama, Beijing ingin memastikan bahwa APD di pasaran dan diproduksi oleh para produsen memiliki sertifikat dan kualitas yang baik.
”Kami menghargai upaya untuk memastikan kontrol kualitas. Tetapi kami tidak ingin ini berfungsi sebagai penghalang untuk ekspor tepat waktu pasokan penting,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri.
Dia menambahkan, revisi ini dimaksudkan agar ekspor APD yang vital dan dibutuhkan oleh AS, tidak terlambat di tengah kemendesakan kebutuhan APD tersebut.
Untuk memenuhi kebutuhan APD, AS sangat bergantung pada produksi China, yang sejatinya adalah saingan utama dalam banyak sektor, termasuk sektor bisnis dan perdagangan.
The Wall Street Journal mengabarkan, mengutip memo bisnis dan diplomatik AS menyebutkan bahwa ada pembatasan ekspor oleh Pemerintah China terkait kebutuhan APD, seperti masker wajah, kit uji, dan peralatan medis lainnya. (AFP/REUTERS)