Penanganan Covid-19 Tidak Boleh Langgar Hak Dasar Warga
Kebijakan darurat yang diambil negara tidak seharusnya mengurangi hak sipil politik warga. Kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, kebebasan pers adalah bagian dari hak yang harus dihormati.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
NEW YORK, KAMIS — Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengingatkan dunia internasional bahwa pandemi global Covid-19 tidak boleh dan tidak bisa menjadi alasan bagi setiap negara untuk membuat kebijakan yang bersifat represif dan melanggar hak asasi manusia. Hak asasi yang dimiliki setiap manusia seharusnya menjadi pemandu pemerintah dalam merespons pandemi ini dan membantu pemulihan krisis kesehatan, sosial, dan ekonomi yang terjadi.
Virus tidak membedakan status sosial, pekerjaan, suku bangsa, agama dan lainnya. Namun, dampaknya yang ditimbulkan dalam bentuk kebijakan pemerintah dan negara sangat terlihat.
”Situasi krisis bisa memberi dalih untuk mengambil langkah-langkah yang represif untuk tujuan tertentu yang sama sekali tidak terkait pandemi,” kata Guterres, Kamis (23/4/2020), di New York, AS.
PBB telah mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa para migran, pengungsi, dan pengungsi internal adalah kelompok yang paling rentan di saat pandemi ini. Kerentanan itu muncul karena lebih dari 131 negara telah menutup perbatasan mereka. Sementara hanya 30 negara yang mengizinkan keberadaan mereka, kecuali bagi para pencari suaka.
Dibandingkan dengan warga di negara-negara maju, warga di negara-negara berkembang dan negara miskin akan merasakan dampak yang lebih parah dibandingkan dengan negara-negara maju karena sebagian terbesar warganya bergantung pada penghasilan harian untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan bertahan hidup. Warga di negara berkembang dan miskin juga lebih sulit untuk mengakses fasilitas kesehatan atau jaring pengaman sosial yang disediakan pemerintah.
Pada rapat Dewan HAM PBB pada 9 April, komisioner lembaga tersebut, Michelle Bachelet, menyebutkan, pandemi global telah memperlihatkan ketidaksetaraan yang sesungguhnya terjadi.
Bachelet juga menyatakan bahwa dampak lebih luas dari pandemi ini adalah berkurangnya penghormatan terhadap hak sipil dan politik warga. Tindakan pemerintah dan negara yang mengeluarkan kebijakan darurat untuk mencegah penyebaran virus dengan membatasi pergerakan warga, tidak jarang beririsan langsung dengan hak sipil dan politik warga.
Dirinya menyatakan kekhawatirannya terhadap kebijakan sejumlah negara menerapkan kebijakan darurat dengan kekuasaan yang tidak terbatas, tidak memiliki batasan waktu, dan tidak bisa ditinjau ulang.
”Dalam beberapa kasus, epidemi itu digunakan untuk membenarkan sikap represif terhadap undang-undang reguler, yang sudah ada, yang akan tetap berlaku lama setelah darurat berakhir,” katanya.
Yang juga menjadi perhatian dan kekhawatiran Bachelet adalah langkah dan kebijakan yang diambil beberapa negara berupaya mengekang kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, termasuk tindakan yang dirumuskan secara samar untuk memerangi dugaan ”informasi yang salah”, yang akhirnya dapat diterapkan untuk membungkam segala macam bentuk kritik.
”Transparansi adalah yang terpenting dan dapat menyelamatkan jiwa dalam krisis kesehatan,” katanya.
Menyikapi itu, Sekjen PBB Antonio Guterres menyatakan, tindakan seperti itu tidak bisa diterima. ”Ruang sipil dan kebebasan sangat penting. Organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta memiliki peran penting dalam demokrasi. Dan, dalam semua hal yang kita lakukan jangan pernah pula: ancamannya adalah virus. Bukan manusia,” kata mantan pemimpin Portugal ini.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah menyerukan agar negara-negara menghentikan segala bentuk kekerasan, ancaman terhadap kebebasan pers, penangkapan, dan memata-matai warga melalui gawai, serta upaya represi lain, yang dicoba dilakukan untuk menghentikan penyebaran Covid-19.
Catatan Amnesty International, beberapa negara menerapkan kebijakan yang cenderung represif terhadap warganya, seperti Tunisia, Afrika Selatan, Tanzania, Jordania, dan Hongaria.
Guterres meminta pemerintah setiap negara untuk transparan, responsif, dan akuntabel, serta menekankan pentingnya ruang sipil dan kebebasan pers yang kritis. Dia juga mengatakan, dalam kondisi darurat pendekatan kekuatan dan kekuasaan dimungkinkan, tapi apabila kebijakan itu dilakukan dengan pengawasan yang minimal dan jangka waktu yang tidak terbatas akan berisiko.
”Pesannya jelas: Orang-orang—dan hak-hak mereka—harus di depan dan menjadi inti (dari kebijakan tersebut),” kata Guterres. (REUTERS/AFP)