Kondisi normal baru akan terus berlangsung sampai ada vaksin atau obat untuk menghentikan virus korona baru. Sehari-hari manusia mau tak mau harus hidup berdampingan dengan virus korona baru itu.
Oleh
Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir/Luki Aulia
·4 menit baca
Sadar atau tidak, pandemi Covid-19 telah mengubah cara berpikir, berperilaku, dan berelasi dengan orang lain. Perlahan tetapi pasti, pandemi telah membentuk kehidupan ”normal yang baru”.
Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia, banyak negara terpaksa mengarantina atau membatasi gerak warga untuk tetap tinggal di rumah saja. Jika terpaksa keluar karena keperluan mendesak, warga harus selalu menjaga jarak fisik dan mengenakan alat pelindung diri.
Sebagian besar warga dunia sudah berdiam di rumah dan bekerja dari rumah selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, hingga kini.
Pandemi yang disebabkan virus korona baru (SARS-CoV-2) telah mengubah cara berpikir, berperilaku, dan berelasi terhadap orang lain. Perlahan tetapi pasti, pandemi telah mendefinisikan kehidupan ”normal yang baru” (the new normal).
Harian The New York Times, Selasa (21/4/2020), menyebutkan kondisi normal ini akan terus berlangsung sampai ada vaksin atau obat untuk menghentikan virus tersebut. Sehari-hari manusia mau tak mau harus hidup berdampingan dengan virus korona baru tersebut sampai vaksin atau obat ditemukan.
Kebiasaan baru
Di dunia Arab, masyarakat pada akhirnya terpaksa beradaptasi menghadapi wabah Covid-19 yang belum jelas kapan akan reda. Mereka melakukan beragam cara untuk beradaptasi antara satu dan lain.
Warga Mesir, misalnya, terakhir ini cenderung ramai-ramai membeli lemari pendingin makanan (freezer) untuk menyimpan bahan makanan agar tak lekas busuk.
Mereka dihinggapi rasa khawatir akan semakin menipisnya persediaan bahan pokok di pasar jika kebijakan penguncian parsial diperpanjang. Apalagi kini sudah memasuki bulan Ramadhan yang biasanya konsumsi makanan meningkat.
Pada waktu siang pun, warga Mesir dianjurkan pemerintah agar berada di rumah, kecuali untuk keperluan darurat. Menjelang jam malam, warga Mesir berbondong-bondong ke toko bahan makanan pokok dan penjual sayuran. Begitulah cara warga Mesir beradaptasi di tengah kepungan pandemi.
Di Jordania, warga lokal memiliki kebiasaan belanja dengan berjalan kaki ke toko dan pedagang kaki lima di dekat rumah mereka. Mereka lebih memilih belanja harian skala kecil dan tak lagi seperti biasanya belanja borongan untuk sebulan.
Mereka sedapat mungkin menghindari bepergian jauh dengan menggunakan kendaraan sehingga jalanan di Amman dan kota-kota lain di Jordania kini sepi.
Perubahan cara belanja juga terjadi di Arab Saudi. Warga biasanya gemar memadati mal-mal. Saat pandemi Covid-19 ini mereka lebih memilih belanja daring untuk memutus rantai Covid-19.
Perubahan kebiasaan sehari-hari juga terjadi di Lebanon. Kelompok kaya dan miskin di sana sama-sama memberi prioritas belanja bahan pokok yang lebih murah dan paling dibutuhkan.
Sebelumnya, rakyat Lebanon terkenal bergaya hidup mewah, memilih barang bermerek dan terkenal. Kini, mereka membuang gaya hidup boros. Situasi serupa terjadi di Maroko dan Tunisia serta negara-negara Arab lainnya.
Mampu beradaptasi
Perilaku sehari-hari seperti itu lama-kelamaan akan terbentuk karena banyaknya informasi yang terekam mengenai hasil penelitian dampak pandemi dan karantina serta pengetahuan mengenai virus korona.
Kemampuan manusia untuk fokus, merasa nyaman berada di sekitar orang lain, bahkan membuat rencana masa depan bisa menurun.
”Kita mampu beradaptasi dengan situasi krisis seberat apa pun. Sesusah apa pun itu, kita akan bisa menjalani hidup sebaik mungkin,” kata Bozovic, warga Montreal, Kanada.
Jika pun nanti karantina dan pembatasan jarak dicabut, kehidupan tetap takkan benar-benar bisa bebas sebebas dulu. Apalagi jika masih ada kasus-kasus positif Covid-19 di tempat lain, yang memicu kekhawatiran akan muncul pandemi gelombang kedua.
Aturan dan norma juga bisa berubah cepat ketika manusia kehilangan kendali atas hidupnya. Psikolog di Institut Kesehatan Mental Singapura, Sim Kong, mengatakan, rasa kehilangan kendali atas rutinitas, kehidupan normal, kebebasan, hubungan tatap muka, dan lain-lain itu yang dirasakan orang ketika terjadi wabah SARS pada 2003.
Studi tentang wabah SARS, ebola, dan flu babi pada waktu itu mencatat terjadinya lonjakan kecemasan, depresi, dan kemarahan. Namun, orang akhirnya bisa mendapatkan kembali rasa otonom dan kontrol atas kehidupannya dengan memperbaiki pola makan sehat, hidup bersih, dan senantiasa mengikuti perkembangan berita.
”Pada saat terjadi perubahan radikal yang berkepanjangan, orang akhirnya berubah,” kata Luka Lucic, psikolog dari Institut Pratt.
Ia memperkirakan, ketika pandemi nantinya terkendali, orang masih akan tetap ragu berdekatan atau berkumpul dengan orang lain karena masih tersisa ketakutan akan terinfeksi dan itu bisa saja tetap tertanam di benak selama bertahun-tahun. Cara kita berinteraksi dengan orang lain bisa berubah.
Solidaritas
Meski akan terjadi perubahan interaksi, solidaritas terhadap sesama justru meningkat saat krisis, seperti terjadi ketika wabah SARS. Sim Kong mengatakan, saat krisis, orang justru semakin peduli pada kebutuhan orang lain, yang bisa membuat orang mampu bertahan hidup di tengah krisis.
Dipali Mukhopadhyay, pengamat politik di Columbia University yang mempelajari cara masyarakat menghadapi konflik, mengatakan, saat krisis, orang justru kreatif mengekspresikan solidaritasnya.
Solidaritas kepada sesama menjadi seperti bentuk perlawanan terhadap situasi krisis. Namun, ini hanya akan muncul ketika orang sudah mulai bisa menerima atau pasrah pada kehidupan normal yang baru.
Setiap orang cenderung hanya bisa membuat rencana-rencana sementara dan jangka pendek. Setiap orang akan tetap berusaha gembira dengan menanamkan harapan bahwa situasi akan kembali pulih seperti sediakala.