Pembatasan Sosial Diperlonggar, Warga Lebanon Kembali Turun ke Jalan
Demonstrasi tersebut dipicu oleh semakin memburuknya kondisi ekonomi Lebanon serta harga bahan pangan yang meroket. Memburuknya situasi ekonomi dipicu melemahnya nilai tukar mata uang lira Lebanon terhadap dollar AS.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
BEIRUT, SELASA — Demonstrasi melanda beberapa kota di Lebanon sejak beberapa hari lalu, menyusul memburuknya kondisi ekonomi di negara tersebut. Dalam unjuk rasa, Senin (27/4/2020), bentrokan antara pengunjuk rasa dan petugas keamanan tidak dapat dihindari. Pengunjuk rasa merusak pintu masuk beberapa kantor bank dan mencoba membakar kendaraan milik militer.
Petugas Palang Merah mengevakuasi beberapa korban yang terluka akibat bentrokan di Tripoli dan beberapa kota lainnya. Petugas kesehatan dan anggota Palang Merah kesulitan untuk mengakses beberapa wilayah lokasi bentrokan karena demonstran membuat blokade di jalan-jalan dengan batu atau dengan cara membakar ban-ban bekas.
Senin siang, militer Lebanon mengusir para pengunjuk rasa dari jalanan di kawasan Zouk Mosbeh, yang terletak di sebelah utara Beirut, untuk memberikan jalan kepada petugas kesehatan merawat demonstran yang terluka. Namun, tidak lama kemudian, pengunjuk rasa kembali merangsek dan memblokade kawasan tersebut.
Kementerian Kesehatan meminta warga untuk tidak memblokade jalan agar petugas kesehatan bisa menjemput dan merawat pasien positif Covid-19 di daerah-daerah terdampak. Militer pun tidak melarang warga untuk berdemo, tetapi meminta agar jalanan tidak diblokade untuk kepentingan tim medis.
Ekonomi memburuk
Warga turun ke jalan dan menggelar unjuk rasa setelah pemerintah melonggarkan kebijakan pembatasan sosial guna mencegah persebaran wabah Covid-19, termasuk kebijakan jam malam, yang kini hanya diberlakukan selama satu jam pada malam hari. Kebijakan pelonggaran pergerakan warga ini membuat beberapa usaha mulai bergerak kembali dan toko-toko mulai buka melayani warga.
Demonstrasi tersebut dipicu oleh semakin memburuknya kondisi ekonomi Lebanon serta harga bahan pangan yang meroket. Memburuknya situasi ekonomi dipicu melemahnya nilai tukar mata uang Lebanon, pound atau lira, terhadap dollar AS.
Nilai pound Lebanon, atau yang lebih dikenal dengan lira Lebanon, telah terdepresiasi lebih dari 50 persen sejak musim panas lalu. Kekurangan dollar AS telah membuat nilai tukar pound Lebanon menjadi 1.507 pound per 1 dollar AS.
Pekan lalu, depresiasi nilai pound semakin tinggi dengan nilai pembukaan 3.400 pound per 1 dollar AS. Bahkan, pada Jumat akhir pekan lalu, nilai mata uang pound semakin tertekan dan dijual dengan harga 3.800 pound per dollar AS. Bahkan, beberapa laporan menyebutkan, nilai 1 dollar AS setara dengan 4.000 pound. Depresiasi nilai tukar ini telah membuat nilai upah dan tabungan menurun drastis hingga lebih dari 50 persen. Kondisi ini membuat kondisi ekonomi warga penuh ketidakpastian.
Upaya bank sentral Lebanon untuk menahan laju depresiasi, dengan cara menerbitkan surat edaran yang meminta agar pedagang valuta asing tidak menjual dollar AS lebih dari 3.200 pound, gagal. Beberapa pedagang mata uang asing melanggar aturan itu dan memperdagangkan pound dengan nilai yang lebih rendah dibandingkan kebijakan yang telah ditetapkan bank sentral Lebanon.
Salah satu pendemo membawa poster yang bertuliskan: ”Gajiku hanya cukup untuk membeli dua karton susu”.
George Ghanem, salah satu pengunjuk rasa, mengatakan, mereka akan terus bertahan di jalan-jalan untuk menyuarakan keprihatinannya atas kebijakan dan kemampuan pemerintah dalam mengatasi krisis ini. ”Kami ingin hidup bermartabat,” kata Ghanem.
Perdana Menteri Lebanon Hassan Diab menuding Gubernur Bank Sentral Lebanon Riad Salameh berada di balik kehancuran nilai mata uang lokal. Dia mengatakan, bank sentral menutup-nutupi masalah utama di sektor perbankan, mulai dari kerugian yang besar hingga pelarian modal ke luar negeri.
Lebanon adalah salah satu negara di dunia yang paling banyak berutang dan telah bergulat dengan krisis likuiditas, resesi ekonomi, dan meningkatnya pengangguran. Bank Dunia sejak jauh-jauh hari, sebelum pandemi global Covid-19 merebak, telah memprediksi bahwa akan terjadi peningkatan jumlah warga miskin, dari semula 30 persen menjadi 50 persen pada tahun 2020 jika Pemerintah Lebanon tidak segera mengambil tindakan drastis untuk memperbaiki situasi perekonomian negara.
Kantor berita Al Jazeera melaporkan, Menteri Sosial Lebanon Ramzi Moucharafieh menyatakan bahwa 70-75 persen rakyat negara itu membutuhkan bantuan keuangan agar bisa hidup layak. (AP/AFP)