Bom Pertama di Bulan Ramadhan, Puluhan Orang Tewas di Afrin
Serangan mematikan yang pertama di bulan Ramadhan terjadi di Afrin, Suriah utara, yang menjadi basis milisi pro-Turki. Akibat serangan bom mobil pengangkut bahan bakar minyak itu, lebih dari 40 orang tewas.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
DAMASKUS, RABU — Sebuah truk pengangkut bahan bakar meledak di depan sebuah pasar terbuka di kawasan Souk Ali di Afrin, kota di Suriah utara, Selasa (28/4/2020) petang atau Rabu (29/4/2020) WIB. Akibatnya, lebih dari 40 orang tewas, termasuk anak-anak dan perempuan, serta puluhan orang terluka.
Jumlah korban kemungkinan akan terus bertambah mengingat banyak korban luka yang dibawa ke rumah sakit terdekat berada dalam kondisi kritis. Serangan bom tersebut merupakan insiden pertama paling mematikan pada bulan Ramadhan ini di Suriah.
Organisasi Pemantau Hak Asasi Manusia Suriah (SOHR) membenarkan adanya peristiwa tersebut. Direktur SOHR yang berbasis di Hong Kong, Rami Abdul Rahman, mengatakan, enam anggota milisi pro-Turki ikut tewas. Hingga berita ini diturunkan, belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab.
Ledakan tersebut menjadi salah satu yang terbesar di Afrin, kota yang sejak Maret 2018 berada dalam kekuasaan milisi pro-Turki setelah pertempuran selama lebih dari dua bulan dengan milisi Kurdi.
Kementerian Pertahanan Turki menuding Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG), cabang Partai Pekerja Kurdistan (PKK), sebagai pihak yang bertanggung jawab atas ledakan tersebut. ”PKK/YPG sekali lagi menargetkan warga sipil tak berdosa di Afrin,” kicau Kementerian Pertahanan Turki di Twitter.
Serangan di Afrin itu merupakan yang kedua, yang diduga dilakukan oleh para pejuang Kurdi dalam tiga bulan terakhir. Pada Januari lalu, menurut data SOHR, tujuh orang tewas dalam sebuah ledakan bom mobil di kota Azaz, yang juga dikuasai milisi pro-Turki.
Pemerintah Amerika Serikat mengecam serangan tersebut. Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Morgan Ortagus, mengatakan, ledakan itu terjadi ketika warga tengah berkumpul dan mencari penganan untuk berbuka puasa.
”Sebuah tindakan yang hanya dilakukan oleh pengecut. Tindakan ini tidak bisa dibenarkan dari sisi mana pun,” kata Ortagus.
Anggota parlemen Inggris, James Cleverly, mendesak pemerintahnya dan utusan khusus Inggris di Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendesak seluruh pihak yang bertikai melakukan gencatan sementara setelah peristiwa ini terjadi. ”Rakyat Suriah sudah sangat menderita,” kata Cleverly.
Afrin merupakan pusat kota di wilayah Suriah utara yang semula dikuasai oleh milisi Kurdi dari YPG. Namun, setelah bertempur selama hampir dua bulan, YPG mundur dan menuju ke Tel Rifaat di Aleppo utara yang dikuasai Pasukan Demokratik Suriah (SDF).
Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan kubu Turki dengan peralatan tempur berat, seperti tank, pesawat tempur, dan artileri berat lainnya, mengusir YPG dari Afrin.
SDF merupakan koalisi antara pasukan Arab dan Kurdi dengan tulang punggung YPG yang dibentuk Amerika Serikat, terbentuk untuk memerangi kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Pandemi Covid-19
Cleverly tidak hanya mencemaskan soal konflik berkepanjangan yang melanda Suriah, tetapi juga penanganan pandemi Covid-19 yang tidak optimal di negara itu. Peringatan soal ini disampaikan lembaga Human Rights Watch (HRW), sehari sebelum terjadinya ledakan di Afrin.
HRW mendesak Dewan Keamanan PBB menerapkan resolusi baru agar para pihak bertikai membuka kembali perbatasan Al Yarubiyah di wilayah timur laut Suriah, yang sebagian dikuasai Rusia dan kelompok Kurdi.
Wilayah yang menjadi poros utama pengiriman bantuan medis dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ditutup pada Januari lalu atas desakan Rusia.
Louis Charbonneau, salah satu direktur HRW, mengatakan, pembatasan akses menghambat bantuan yang diberikan kepada sekitar 2 juta warga Suriah di wilayah timur laut itu.
”Ini bukan masalah politik. Ini adalah pertanyaan kemanusiaan, (dan) sangat mudah bagi Dewan Keamanan untuk bergerak cepat,” kata Charbonneau.
Gerry Simpson, Direktur Konflik dan Kelompok HAM HRW, menekankan bahwa warga di Suriah timur laut terancam karena tidak memiliki pasokan obat dan perlengkapan medis yang memadai, khususnya bagi penderita Covid-19. (AFP)