Gagal di Ebola dan Hepatitis, Remdesivir Kini untuk Covid-19
Otoritas Amerika Serikat memberi lampu hijau pada remdesivir untuk dapat digunakan mengobati Covid-19.
Oleh
Kris Mada
·4 menit baca
WASHINGTON, SABTU — Amerika Serikat menyetujui untuk sementara pemakaian remdesivir sebagai obat dalam penanganan pasien Covid-19. Persetujuan diberikan setelah sebagian subyek uji coba menunjukkan kesembuhan lebih cepat setelah diberi obat tersebut.
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS memberi persetujuan sementara, Jumat (1/5/2020) malam atau Sabtu siang WIB. Remdesivir akan mulai dipakai khusus kepada pasien Covid-19 dengan gejala berat. BPOM AS menegaskan, pengesahan remdesivir tetap harus diproses untuk pemakaian lebih lanjut.
Persetujuan diberikan kala AS telah mencatatkan 1,13 juta infeksi dan 65.776 kematian akibat Covid-19. AS tetap menjadi negara terbanyak untuk kasus infeksi dan kematian akibat Covid-19 daripada ratusan negara lain. Di dunia kini tercatat 3,41 juta infeksi dan 239.282 kematian akibat Covid-19.
Laporan media AS, The New York Times, mengungkap, remdesivir gagal digunakan untuk mengatasi wabah ebola di Afrika. Obat itu juga gagal mengatasi hepatitis. Hingga Jumat (1/5/2020), tidak ada satu pun pengesahan penggunaan obat itu. BPOM setuju setelah uji coba yang disokong Lembaga Penyakit Infeksi dan Menular Nasional (NIAID) AS menunjukkan pasien yang diberi remdesivir sembuh empat hari lebih cepat daripada yang tidak.
Penelitian
Pemanfaatan remdesivir untuk penanganan virus korona, termasuk virus korona baru pemicu Covid-19, antara lain diteliti Mark Denilson. Sejak 2007, peneliti Vanderbilt University menemukan bahwa virus korona punya kemampuan mutasi yang bagus. Virus itu berbasis pada asam ribonukleat (RNA), bukan asam deoksiribonukleat (DNA). Virus-virus yang memicu pandemi, seperti flu dan korona, banyak berbasis RNA dan punya kemampuan mengubah diri dari waktu ke waktu (mutasi).
Pada 2007, Denilson menemukan virus korona bisa memperbaiki cara menginfeksi jika ada kesalahan pada cara sebelumnya. Dalam riset Denilson, remdesivir menghapus RNA yang telah dikembangkan virus korona. Dengan demikian, virus korona tidak bisa berkembang lebih lanjut.
Pemanfaatan remdesivir untuk pasien Covid-19 disokong antara lain Anthony Fauci, Kepala NIAID. Terkait Fauci, DPR AS mengaku tak bisa memanggil ilmuwan itu untuk didengar kesaksiannya.
Juru bicara Komite Kelayakan DPR AS, Evan Hollander, mengatakan, Fauci dipanggil untuk menjelaskan langkah Pemerintah AS menangani Covid-19. Sayangnya, Gedung Putih melarang Fauci bersaksi di DPR AS yang dikontrol Demokrat. Gedung Putih beralasan Fauci sibuk menangani pandemi dan akan ke parlemen di waktu lain.
Fauci malah dijadwalkan hadir di Senat yang dikontrol Republik, partai penyokong Presiden AS Donald Trump, pekan depan. ”Saat pemerintahan Trump berusaha sekuat tenaga menangani Covid-19, termasuk membuka lagi AS dan mempercepat pengembangan vaksin, tidak produktif bagi orang yang sangat terlibat dalam upaya itu untuk hadir di pemeriksaan kongres. Kami siap bekerja sama dengan kongres dan menyampaikan kesaksian pada waktu yang layak,” kata juru bicara Gedung Putih, Judd Deere.
Pelacakan India
Dari India dilaporkan, semua pekerja diwajibkan mengunduh aplikasi pelacak pergerakan orang, Aarogya Setu atau Jembatan Kesehatan. Aplikasi itu dikembangkan Pemerintah India dan sejumlah pihak untuk melacak pergerakan orang.
Berdasarkan data pelacakan itu, bisa diketahui peta persebaran Covid-19. Aplikasi itu membantu aparat mendapat data ke mana saja dan siapa saja yang ditemui seseorang yang diduga atau telah positif terinfeksi Covid-19. ”Penggunaan Aarogya Setu harus diwajibkan bagi pekerja swasta dan pegawai negeri sipil,” kata Kementerian Dalam Negeri India.
Agar aplikasi itu bisa berfungsi optimal, dibutuhkan sekurangnya 200 juta pengguna di seluruh India. Kini, 50 juta orang sudah menggunakan aplikasi tersebut di ponsel masing-masing atau 10 persen dari seluruh pengguna ponsel di negara itu. India adalah negara dengan pengguna ponsel terbanyak di dunia.
Sejumlah pihak khawatir dengan pewajiban itu. Kekhawatiran utama adalah tidak ada kejelasan soal batasan penggunaan data yang dikumpulkan lewat aplikasi tersebut. ”Langkah itu harus didukung peraturan khusus yang memberikan perlindungan data dan diawasi badan independen,” kata Udbhav Tiwari, penasihat Kebijakan Umum pada Mozilla, salah satu pembuat peramban.
Adapun dari Kuala Lumpur dilaporkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta Malaysia membebaskan 586 imigran yang ditangkap Jumat lalu. ”Penangkapan akan membuat mereka (imigran dan pengungsi) malah bersembunyi dan tidak mau berobat. Dampaknya buruk bagi kesehatan mereka dan bisa memicu penyebaran Covid-19,” demikian pernyataan PBB.
Malaysia menangkap mereka di Kuala Lumpur setelah ada desakan umum yang menuding imigran sebagai penyebab Covid-19. Di antara yang ditangkap adalah orang Rohingya. Bersama imigran dan pengungsi lain, orang-orang Rohingya tinggal di dalam kompleks yang dihuni total 9.000 orang. Di antara para migran itu, 235 orang positif terinfeksi Covid-19.
Menteri Koordinator Keamanan Malaysia Ismail Sabri mengatakan, semua orang yang ditangkap telah diperiksa. Mereka akan dimasukkan ke rumah detensi imigrasi sembari menunggu tindakan lanjutan. (AP/REUTERS)