Kebebasan Pers Terancam di Tengah Pandemi Covid-19
Koalisi One Free Press memberi perhatian publik pada 10 kasus jurnalis ”paling mendesak” yang kebebasannya ditekan. Koalisi itu menekankan perlunya kejelasan atas sejumlah kasus hukum yang melibatkan pekerja media.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
KAIRO, MINGGU — Memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia yang jatuh pada Minggu (3/5/2020), Koalisi One Free Press menyerukan pembebasan segera semua jurnalis yang dipenjara di tengah meningkatnya ancaman terhadap kebebasan pers di seluruh dunia selama pandemi Covid-19.
Seruan serupa juga disampaikan Amnesti Internasional, khususnya atas kondisi pelaku pers di Mesir selama masa pandemi sekarang ini.
Menurut Al Jazeera, Koalisi One Free Press (koalisi yang terdiri dari organisasi berita dan penerbit terkemuka, termasuk Al Jazeera Media Network) memberi perhatian publik pada 10 kasus jurnalis ”paling mendesak” yang kebebasannya ditekan. Koalisi itu juga menekankan perlunya kejelasan atas sejumlah kasus pekerja media dalam mencari keadilan hukum.
Nasib Jamal Khashoggi, jurnalis Arab Saudi yang terbunuh di dalam konsulat kerajaan di Istanbul pada tahun 2018, selama bertahun-tahun menjadi bagian dari kampanye koalisi itu. Demikian juga Mahmoud Hussein, jurnalis Al Jazeera yang telah ditahan tanpa tuduhan resmi di Mesir sejak Desember 2016.
Koalisi itu menerbitkan daftar terbaru daftar awak media yang berada di balik jeruji besi. Nasib mereka dikhawatirkan bisa semakin buruk karena berisiko tinggi terpapar Covid-19.
Azimjon Askarov, wartawan asal Kirgistan, ada di baris pertama sosok itu. Pada 11 Mei 2020, pengadilan Kirgistan dijadwalkan mendengarkan banding terakhir dalam kasusnya. Dia ditangkap pada tahun 2010 atas tuduhan palsu yang mencakup hasutan kebencian etnis dan keterlibatan dalam pembunuhan seorang perwira polisi.
Istri Askarov, Khadicha, baru-baru ini menulis surat kepada presiden negara itu yang memohon pembebasan wartawan itu, dengan mengatakan ia ”benar-benar tidak bersalah” dan menderita peradangan tulang dan sendi yang menyakitkan.
Selanjutnya, empat wartawan Yaman, yaitu Abdulkhaleq Amran, Akram al-Waleedi, Hareth Hameed, dan Tawfiq al-Mansouri, dijatuhi hukuman mati pada 4 April dengan tuduhan menyebarkan berita palsu.
Mereka telah ditahan selama hampir lima tahun oleh Houthi, gerakan pemberontak yang berperang dengan pemerintah yang diakui secara internasional yang didukung koalisi militer yang dipimpin Arab Saudi.
Lalu, terdapat Mahmoud al-Jaziri di Bahrain. Ia dipindahkan ke kurungan isolasi pada 8 April sebagai pembalasan atas klip audio yang muncul di saluran media yang dikelola pemberontak Bahrain Today3.
Dalam rekaman itu, ia membantah laporan bahwa pihak berwenang Bahrain telah mengambil langkah-langkah untuk melindungi para tahanan dari penyebaran Covid-19. Jaziri telah dipenjara sejak Desember 2015 dengan hukuman 15 tahun penjara atas tuduhan menjadi anggota kelompok ”teroris”.
Berturut-turut kemudian adalah Solafa Magdy di Mesir, Darvinson Rojas (Venezuela), Truong Duy Nhat (Vietnam), Elena Milashina (Rusia), Mir Shakil-ur-Rahman (Pakistan), dan Yayesew Shimelis (Etiopia). Truong Duy Nhat, bloger dengan layanan bahasa Vietnam Radio Free Asia yang didanai Kongres Amerika Serikat, menghilang dari sebuah pusat perbelanjaan di ibu kota Thailand, Bangkok, pada Januari 2019.
Dua hari kemudian, dia berada dalam penahanan praperadilan di mana dia tinggal selama 15 bulan sebelum dijatuhi hukuman penjara dengan tuduhan ”menyalahgunakan posisi dan kekuasaannya saat bertugas” sebagai seorang reporter. Sebelumnya, dia telah dua tahun dipenjara karena posting blog yang mengkritik Partai Komunis di Vietnam.
Seruan atas pers Mesir
Di Mesir, sementara itu, Amnesti Internasional menyatakan, jurnalisme di negara itu telah secara efektif menjadi kejahatan selama empat tahun terakhir. Dinyatakan bahwa pihak berwenang menekan perusahaan media dan memberangus perbedaan pendapat.
Bahkan, selama pandemi Covid-19, Amnesti Internasional menyatakan, pemerintah negara itu memperkuat kontrolnya atas informasi alih-alih menegakkan transparansi selama krisis kesehatan masyarakat.
”Pihak berwenang Mesir telah memperjelas bahwa siapa pun yang menentang narasi resmi akan dihukum berat,” kata Philip Luther, Direktur Amnesti Internasional di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Amnesti Internasional mendokumentasikan 37 kasus jurnalis yang ditahan dalam peningkatan tindakan keras pemerintah terhadap kebebasan pers.
Banyak dari mereka yang dituduh ”menyebarkan berita palsu” atau ”menyalahgunakan media sosial” di bawah undang-undang kontraterorisme 2015 yang telah memperluas definisi teror untuk mencakup semua jenis perbedaan pendapat.
Pihak berwenang sebelumnya telah membantah pelanggaran hak, tetapi membenarkan penangkapan atas alasan keamanan nasional.
Menyusul kenaikan Jenderal Abdel Fatah el-Sisi sebagai presiden pada tahun 2013, sebagian besar program televisi dan surat kabar Mesir telah mengambil posisi mendukung pemerintah dan menghindari kritik. Banyak outlet berita swasta Mesir diakuisisi secara diam-diam oleh perusahaan yang berafiliasi dengan badan intelijen negara itu.
Hingga saat ini terdapat 12 jurnalis yang bekerja untuk outlet media milik negara, tetapi tidak jelas nasibnya. Mereka dijebloskan penjara karena mengekspresikan berbagai pandangan pribadi di media sosial.
Salah satunya adalah Atef Hasballah, pemimpin redaksi situs web AlkararPress. Ia melalui media sosial Facebook menentang hitungan kasus Covid-19 versi Kementerian Kesehatan Mesir. Dia digelandang ke dalam mobil polisi dan ditahan dengan tuduhan ”bergabung dengan organisasi teroris”.
Penuntut umum Mesir memperingatkan dalam sebuah pernyataan baru-baru ini bahwa mereka yang menyebarkan ”berita palsu” tentang Covid-19 dapat menghadapi hukuman penjara lima tahun dan hukuman denda. (AP)