Menyusul Langkah Jepang, AS Berencana Pindahkan Pabrik dari China
Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, dan sejumlah lembaga lain di AS sedang mencari cara untuk mendorong perusahaan AS memindahkan produksi dari China. Washington menyiapkan subsidi dan insentif pajaknya.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
WASHINGTON, SENIN — Setelah Jepang, kini Amerika Serikat ingin memutus ketergantungan rantai pasok produksi dari China. Pernyataan AS soal relokasi diungkap di tengah kemungkinan meletusnya perang dagang baru AS-China.
”Kami sudah mengupayakan (mengurangi ketergantungan pada China) itu selama beberapa tahun terakhir dan sekarang kami menambah dorongan. Penting memahami mana saja bagian penting dan wilayah kritis yang sempit,” kata Direktur Pertumbuhan Ekonomi, Energi, dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri AS Keith Krach, Minggu (3/5/2020) sore waktu Washington DC atau Senin dini hari WIB.
Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, dan sejumlah lembaga lain di AS sedang mencari cara untuk mendorong perusahaan AS memindahkan produksi dari China. Subsidi dan insentif pajak disiapkan untuk dorongan itu. Lembaga-lembaga di AS kini sedang menelaah mana saja industri yang penting tersebut dan cara memproduksinya di luar China.
”Ini badai lengkap, pandemi menguatkan kekhawatiran orang-orang tentang berbisnis dengan China,” kata Krach.
AS juga sedang mendorong ”Jaringan Kesejahteraan Ekonomi” yang terdiri atas ”mitra tepercaya” negara itu. Australia, India, Jepang, Selandia Baru, Korea Selatan, dan Vietnam digandeng dalam inisiatif yang disebut Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo sebagai upaya memajukan perekonomian dunia.
Duta Besar Kolombia untuk AS Francisco Santos menyatakan, Bogota tengah berdiskusi dengan Gedung Putih, Dewan Keamanan Nasional AS, dan Kementerian Keuangan AS soal dorongan agar perusahaan AS pindah dari China. Bogota ingin bergabung dengan inisiatif Washington yang mau membawa perusahaan AS lebih dekat dengan rumah.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) AS menyebut relokasi tidak bisa terjadi dalam waktu dekat. ”Pembangunan pabrik baru di AS bisa membutuhkan lima hingga delapan tahun. Kami berharap para pejabat melihat fakta secara benar sebelum membuat keputusan,” kata Wakil Ketua Umum Kadin AS Bidang Kebijakan Internasional John Murphy.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) AS menyebut relokasi tidak bisa terjadi dalam waktu dekat.
Pandemi membuat banyak negara menyadari ketergantungan amat besar pada China. Isolasi untuk mengendalikan laju infeksi Covid-19 membuat banyak pabrik di China berhenti beroperasi. Akibatnya, perusahaan di banyak negara tidak mendapat pasokan dari China. Padahal, produk China dipakai untuk aneka proses produksi di banyak negara.
Hal itu, antara lain, dialami Jepang yang terganggu pasokannya selama China mengisolasi diri. Karena itu, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mendorong perusahaan Jepang memindahkan pabrik dari China. Seperti AS, Jepang juga memasukkan Vietnam dalam daftar calon lokasi pemindahan pabrik.
Keputusan relokasi diungkap Abe pada awal Maret 2020. Kala itu, Pemerintah Jepang menggelar pertemuan khusus bersama dewan investasi negara itu. Abe selaku ketua dewan tersebut menyatakan keinginan agar industri manufaktur yang menjadi basis produksi bernilai tinggi Jepang pulang kandang ke Jepang.
Abe menegaskan, sebagai negara yang sangat bergantung kepada satu negara untuk manufaktur, Jepang harus mencoba untuk memindahkan barang bernilai tambah tinggi agar kembali ke Jepang. ”Untuk (barang-barang) yang lain, kita harus lakukan diversifikasi ke negara-negara seperti di ASEAN,” ujarnya.
Perang dagang
Pernyataan AS soal relokasi dari China diungkap di tengah kemungkinan meletusnya perang dagang baru AS-China dan tudingan AS serta sekutunya bahwa China bertanggung jawab atas pandemi Covid-19. Pompeo menyebut ada bukti kuat bahwa SARS-CoV-2 berasal dari laboratorium di Wuhan, kota di China yang menjadi lokasi pertama Covid-19 terkonfirmasi.
Pernyataan itu berkebalikan dengan kesimpulan intelijen AS serta sejumlah pakar di AS dan Eropa bahwa virus itu bukan buatan manusia. Presiden AS Donald Trump juga berkali-kali menyatakan bisa mengenakan tambahan tarif 25 persen untuk aneka impor senilai 370 miliar dollar AS dari China.
Pernyataan Pompeo memicu kekhawatiran bahwa perang dagang Beijing-Washington bakal segera meletus lagi. Kekhawatiran itu membuat nilai tukar euro dan pound sterling terhadap dollar AS turun 0,4 persen.
”Investor mempertimbangkan dampak negatif dari peningkatan ketegangan AS-China. Keputusan tambahan tarif dan gangguan rantai pasok bersamaan dengan prakiraan pertumbuhan global sedang rawan, menyebabkan mata uang, seperti pound sterling dan euro, diperdagangkan rendah,” kata analis pada Monex Europe, Simon Harvey.
Pernyataan Pompeo memicu kekhawatiran bahwa perang dagang Beijing-Washington bakal segera meletus lagi.
Bursa saham juga terdampak dengan penurunan hingga 2,5 persen pada sejumlah bursa Eropa dan Asia Pasifik. ”Kekhawatiran pada ketegangan baru AS-China menjadi alasan utama,” kata analis di RBC, Adam Cole, dalam catatan kepada investor pada Senin pagi.
Kepala pengelolaan investasi pada lembaga investasi Dolfin, Simon Black, menyebut bahwa investor juga menyesuaikan perkiraan mereka pada kedalaman dampak ekonomi yang ditimbulkan pandemi. ”Sekarang cuma mengandalkan harapan, bukan faktor fundamental,” ujarnya merujuk pada stimulus anggaran dan moneter yang dijanjikan banyak negara.
Penurunan kinerja ekonomi, antara lain, tecermin dari indeks manufaktur (PMI) Eropa yang merosot menjadi 33,4 poin pada April 2020. PMI Eropa terus turun dengan 44,5 poin pada Maret 2020. PMI di atas 50 mengindikasikan pertumbuhan, sedangkan PMI di bawah 50 menunjukkan ekonomi menurun. Dalam 23 tahun terakhir, baru kali ini PMI Eropa merosot sejauh itu.(AP/REUTERS)