Kemunculan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un pada Jumat lalu harus diakui menghapus ”kecemasan” sejumlah kalangan. Negara itu akhirnya tetap stabil.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Kemunculan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un pada Jumat lalu harus diakui menghapus ”kecemasan” sejumlah kalangan. Negara itu akhirnya tetap stabil.
Tidak muncul di depan publik selama hampir tiga minggu, termasuk dalam peringatan ”maha penting”, yakni peringatan kelahiran pendiri Korut Kim Il Sung, memicu spekulasi tentang nasib Kim Jong Un. Ada spekulasi yang menyebutkan bahwa cucu Kim Il Sung itu sakit dan dioperasi. Bahkan, ada spekulasi yang menyebutkan Kim Jong Un meninggal.
Hal yang sangat ditakuti beberapa kalangan jika Kim Jong Un meninggal ialah ketidakstabilan yang mendera Korut. Politik domestik negara itu dapat dilanda konflik berlarut-larut akibat persaingan memperebutkan kekuasaan. Lalu, apa jadinya jika orang yang akhirnya memenangi pertarungan itu tidak dapat diprediksi atau kata-katanya tak dapat dipegang sama sekali? Bisa saja ia akan memberi perintah peluncuran rudal yang bertujuan menghancurkan sebuah negara, bukan sekadar uji coba seperti selama ini dilakukan Kim Jong Un.
Yang lebih celaka lagi, jika di tengah konflik domestik yang berlarut-larut, muncul sekelompok perwira militer yang menjual nuklir, teknologi rudal, dan senjata kimia kepada organisasi teroris. Skenario semacam itulah yang ditakuti sejumlah negara dan berbagai lembaga analisis.
Dengan kata lain, jika Kim Jong Un meninggal, ada problem serius yang harus segera diatasi oleh negara yang berada di sekitarnya, yakni China, Jepang, dan Korea Selatan. Selain itu, tentu ada Amerika Serikat, sekutu Korsel serta Jepang, yang akan terlibat aktif untuk mengatasi problem yang ditimbulkan akibat kepergian Kim Jong Un. Di kubu AS, diperkirakan kondisinya lebih menantang mengingat kerja sama militer AS-Korsel sedang tidak seharmonis dulu. Ada keinginan dari salah satu pihak agar beban keuangan pertahanan dibagi lebih merata. Selain itu, hubungan Jepang-Korsel sedang kurang enak terkait isu kerja paksa pada Perang Dunia II.
Yang lebih celaka lagi, jika di tengah konflik domestik yang berlarut-larut, muncul sekelompok perwira militer yang menjual nuklir, teknologi rudal, dan senjata kimia kepada organisasi teroris.
Jika ketidakstabilan terjadi di Korut akibat kepergian Kim Jong Un, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan sejumlah negara. Salah satunya ialah kekuatan asing masuk dan mendirikan rezim boneka. Persoalannya, beberapa kekuatan asing ini memiliki kepentingan yang berbeda satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan persoalan baru. Mereka saling bersaing untuk menancapkan pengaruh.
Lepas dari itu, situasi semakin rumit karena Covid-19 sedang melanda dunia, termasuk negara-negara yang sangat berkepentingan dengan kestabilan domestik Korut. Kepergian Kim Jong Un dan ancaman ketidakstabilan yang ditimbulkannya akan memberi beban tambahan luar biasa di tengah upaya menangani pandemi yang juga sangat melelahkan.
Dalam konteks itulah, kehadiran Kim Jong Un untuk meresmikan pabrik pupuk di sebuah kota di Korut pada 1 Mei (bertepatan dengan Hari Buruh) dapat dilihat memberi penegasan kembali kepada dunia betapa sosok itu memiliki posisi penting. Tidak boleh ada pihak yang mengabaikannya.