Segudang Persoalan Menanti Penyelesaian oleh PM Baru Irak
Politik Irak yang sektarian dapat menyulitkan kompromi. Walakin, Kadhemi mendapat persetujuan parlemen setelah bisa menyatukan mayoritas faksi.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
BAGHDAD, KAMIS — Mantan Kepala Badan Intelijen Nasional Irak Mustafa Kadhemi resmi menjadi perdana menteri negara itu. Masalah keamanan, keterbatasan anggaran di tengah penurunan harga minyak, hingga korupsi siap menunggu penanganan oleh pemerintahan Kadhemi.
Parlemen Irak menyetujui pemerintahan Kadhemi dalam sidang paripurna pada Rabu (6/5/2020). Persetujuan itu mengakhiri hampir enam bulan kekosongan pemerintahan definitif di Irak setelah Adel Abdul Mahdi mengumumkan pengunduran diri pada akhir 2019. Mahdi mundur selepas rangkaian unjuk rasa di berbagai penjuru Irak.
Selepas Mahdi mundur, Presiden Irak Bahram Saleh mengusulkan Mohammed Allawi sebagai pengganti. Allawi gagal mendapat persetujuan parlemen dan akhirnya batal dilantik. Selanjutnya, Saleh mengusulkan Adnan al-Zurfi sebagai calon PM. Seperti Allawi, Zurfi juga gagal mendapat persetujuan parlemen dan terpaksa mundur.
Nasib berbeda dialami Kadhemi yang akhirnya mendapat persetujuan parlemen. ”Pemerintahan ini adalah tanggapan bagi krisis ekonomi, sosial, dan politik yang dihadapi negara kita. Pemerintahan ini akan menyediakan solusi, bukan menambah krisis,” ujar Kadhemi kepada para anggota parlemen.
Parlemen telah menyetujui 15 menteri yang diusulkan Kadhemi dalam kabinetnya. Sementara tujuh menteri lain belum ditunjuk. Dalam konstitusi Irak, pemerintahan bisa dibentuk apabila parlemen menyetujui lebih dari separuh anggota kabinet yang diusulkan perdana menteri.
Calon menteri keuangan, menteri dalam negeri, menteri pertahanan, menteri kehakiman, hingga menteri kesehatan termasuk dalam daftar yang disetujui parlemen. Adapun menteri luar negeri dan menteri perminyakan belum ditunjuk.
Politik Irak yang sektarian dapat menyulitkan kompromi.
Seorang pejabat Irak menyebut, sejumlah kursi dibiarkan kosong sementara waktu. Pengisian akan diserahkan lewat negosiasi faksi-faksi politik. ”Kadhemi akan mencoba kebebasan sebagai PM. Tantangan terbesarnya adalah penangguhan (penyerahan kewenangan) dari pemerintahan Abdul Mahdi yang cemas kepada dia (Kadhemi),” kata Renad Mansour, peneliti senior pada lembaga kajian di Inggris, Chatham House.
”Sangat susah melakukan politik dagang sapi, hal yang dibutuhkan untuk mencapai kesepakatan, apabila menimbang perbedaan di kancah politik,” lanjut Mansour.
Politik Irak yang sektarian dapat menyulitkan kompromi. Walakin, Kadhemi mendapat persetujuan parlemen setelah bisa menyatukan mayoritas faksi politik. Faksi sokongan Iran dan Amerika Serikat, dua negara yang berebut pengaruh di negara kaya minyak itu, sama-sama menyetujui Kadhemi.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo telah mengucapkan selamat kepada Kadhemi. Pompeo juga mengumumkan tambahan 120 hari bagi Irak untuk mengimpor listrik dari Iran. Tambahan waktu itu salah satu bentuk pengecualian atas sanksi AS terhadap Iran.
Memang, tidak semua faksi menyokong Kadhemi. Ada pihak yang dituding oleh sejumlah faksi politik Irak sebagai orang yang membantu Amerika Serikat dalam serangan di bandara Irak pada awal Januari 2020. Serangan itu menewaskan Qassem Soleimani, komandan Brigade Al Quds yang bertanggung jawab untuk operasi luar negeri dan intelijen Garda Revolusi Iran (IRGC). Sebelum tewas, Soleimani diketahui kerap bolak-balik ke Irak dan bertemu banyak faksi di Irak.
Kematian Soleimani tidak mengakhiri pengaruh Iran di Irak. Milisi-milisi sokongan Teheran masih kuat dan menjadi salah satu alat tawar faksi-faksi di Irak. Milisi-milisi itu menjadi salah satu persoalan yang menunggu penanganan Kadhemi.
Masalah lain adalah penurunan harga minyak sehingga bisa memangkas pendapatan yang 90 persen pemasukannya dari hasil ekspor minyak tersebut. Kini, harga minyak hampir separuh dari proyeksi Kementerian Keuangan Irak.
Pemerintahan Kadhemi juga harus berunding dengan AS. Sejak kematian Soleimani, hubungan Baghdad-Washington terus merenggang. Sejumlah pihak di Irak menuntut AS segera menarik tentara pendudukan yang telah ditempatkan di Irak sejak AS menginvasi negara itu pada 2003. (AFP/REUTERS)