Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Perceraian Meningkat Selama Karantina
Karantina wilayah untuk memutus penyebaran Covid-19 menimbulkan efek samping yang mahal, yakni kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian yang meningkat. Bagi sebagian orang, ternyata rumah bukanlah tempat yang aman.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
ZURICH, JUMAT — Kekerasan dalam rumah tangga, termasuk perceraian, di banyak negara meningkat pada masa pandemi seiring diberlakukannya perintah bagi jutaan penduduk untuk tetap berada di rumah guna mencegah penyebaran Covid-19. Perempuan dan anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan menjadi korban.
Menurut Direktur Regional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Eropa Hans Kluge, stres dan kecemasan yang ditimbulkan oleh pembatasan kehidupan sosial selama berminggu-minggu telah menjadikan ketidakpastian, pemisahan, dan ketakutan menjadi bagian keseharian banyak orang.
”Kehilangan pekerjaan, kekerasan terkait konsumsi alkohol dan obat-obatan meningkat; stres dan ketakutan, warisan pandemi ini, bisa menghantui kita bertahun-tahun,” ujar Kluge.
Kluge menyebutkan banyak negara, seperti Belgia, Bulgaria, Perancis, Irlandia, Rusia, Spanyol, dan Inggris melaporkan kenaikan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai respons atas pandemi Covid-19.
”Meskipun datanya langka, negara anggota melaporkan kenaikan 60 persen panggilan darurat oleh perempuan yang jadi korban kekerasan oleh pasangan mereka pada April 2020 dibandingkan April 2019,” kata Kluge dalam konferensi secara daring dari Kopenhagen, Denmark, Kamis (7/5/2020).
Di Spanyol, laporan KDRT pada April 2020 meningkat 60 persen dibanding April 2019, sedangkan jika dibandingkan dengan Maret 2020 laporan KDRT juga naik 38 persen. Adapun di Inggris panggilan pada saluran laporan KDRT naik 49 persen di awal April 2020 dibanding April 2019. Di Perancis, laporan KDRT pada Federasi Nasional untuk Solidaritas Perempuan sejak Perancis memberlakukan karantina wilayah naik 2-3 kali lipat.
Pada 6 April 2020, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menulis di Twitter, ”Perdamaian bukan hanya tiadanya perang. Banyak perempuan yang menjalani karantina wilayah untuk mencegah #COVID19 menghadapi kekerasan di tempat yang seharusnya paling aman: di rumah mereka sendiri.”
”Hari ini saya memohon perdamaian di rumah di seluruh dunia. Saya mendesak semua pemerintah memprioritaskan keamanan perempuan di masa pandemi ini,” tambah Guterres kala itu.
Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) memperkirakan, akan ada 31 juta kasus kekerasan domestik di dunia jika penutupan wilayah berlangsung hingga enam bulan. Untuk setiap perpanjangan penutupan wilayah selama tiga bulan, akan ada 15 juta kasus kekerasan berbasis jender di dunia.
Psikolog asal London, Lucy Atcheson, mengatakan, orang-orang menjalani karantina wilayah dan berada di rumah akan mempererat kebersamaan. Namun, bagi sebagian sebaliknya, yakni memperuncing perbedaan dan meningkatkan konflik.
”Ini bagaikan menempatkan semua masalah ke dalam penggorengan dan memanaskannya,” ujar Atcheson yang selama melayani konseling daring.
”Terkadang situasi ini membuat kita sadar, betapa singkat hidup ini. Kalau kita ada dalam hubungan yang buruk, kita akan meninggalkannya karena sadar hidup ini terlalu singkat untuk dijalani menderita,” lanjut Atcheson.
Perceraian
Selain kekerasan dalam rumah tangga, karantina wilayah juga memunculkan dampak sosialnya yang lain terhadap hubungan keluarga, yakni perceraian. Mengutip informasi dari media lokal di China, pada akhir Maret 2020 harian The New York Times melaporkan bahwa permohonan perceraian meningkat di setidaknya dua provinsi di China, yaitu Sichuan dan Shanxi. Kota Dazhao di Provinsi Sichuan, misalnya, menerima hampir 100 permohonan cerai dalam kurang dari tiga minggu.
Di Jepang isilah ”perceraian korona” juga menjadi tren di media sosial untuk menggambarkan kondisi pernikahan banyak pasangan di Jepang. Twitter menjadi media untuk menumpahkan kekesalan para istri yang frustrasi dan marah terhadap suaminya.
Tingginya perceraian membuat perusahaan rintisan di Tokyo menyediakan layanan menginap di apartemen bagi pasangan yang sedang mempertimbangkan berpisah. Apartemen ini menjadi ”penampungan sementara” yang sunyi bagi mereka yang ingin mengakhiri hubungan dengan pasangannya untuk berpikir dengan jernih sebelum bertindak.
Sejumlah negara juga telah mengambil langkah untuk mengatasi KDRT. Italia, misalnya, memiliki aplikasi sebagai saluran untuk permintaan tolong tanpa harus menelepon. Sementara Perancis menyediakan nomor SMS dan akun Twitter sebagai saluran pelaporan selain laporan kepada polisi. Selain itu, pemerintah menugaskan apotek dan jaringan supermarket untuk mengatur titik pertemuan bagi korban KDRT.
Seperti di Jepang, Perancis dan Belgia mengubah hotel jadi tempat penampungan korban KDRT. Adapun Greenland membatasi penjualan minuman keras agar rumah menjadi lebih aman bagi anak-anak.
Namun, situasi yang lebih suram terjadi di Rusia yang memiliki kasus KDRT tinggi bertahun-tahun. Tahun 2017, Presiden Vladimir Putin menurunkan kategori tindak serangan sederhana terhadap anggota keluarga untuk KDRT menjadi tindak pidana ringan dengan denda 76 dollar AS.
”Agar ada tindakan tambahan terhadap pelaku KDRT selama pandemi dan karantina wilayah membutuhkan perubahan dalam hukum dan kemauan politik,” ujar Olga Gnezdilova, pengacara di Russian Justice Initiative.