AS sebelumnya memasukkan Huawei dalam daftar hitam sejak 2019. Washington juga bolak-balik mendesak sejumlah negara agar tidak membeli produk Huawei. Desakan terutama disampaikan kepada sekutunya di Eropa dan Pasifik.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
WASHINGTON, SABTU — Amerika Serikat menambah tekanan baru untuk perusahaan raksasa telekomunikasi asal China, Huawei. Washington ingin pasokan keping pengolah informasi ke Huawei terhenti sama sekali.
Keinginan itu diwujudkan dalam aturan baru Kementerian Perdagangan AS yang dinyatakan mulai berlaku sejak Jumat (15/5/2020). Aturan itu untuk melemahkan Huawei setelah statusnya ditetapkan sebagai perusahaan yang masuk daftar hitam AS.
Dengan aturan tersebut, produsen teknologi maju AS harus mendapat persetujuan pemerintah sebelum menjual produk ke Huawei. ”Ada celah teknologi yang dimanfaatkan Huawei untuk memakai teknologi AS dari pabrik di luar negeri,” kata Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross seraya menyebut aturan baru akan menutup celah itu.
Memang, Kementerian Perdagangan AS memberi masa tenggang hingga 120 hari ke depan untuk penerapan aturan baru itu. Meskipun demikian, pada akhirnya aturan itu menambah tekanan AS pada Huawei.
AS memasukkan Huawei dalam daftar hitam sejak 2019. Keputusan itu membuat Google, perusahaan asal AS, menghentikan kerja sama dengan Huawei. Padahal, seluruh produk Huawei berbasis sistem operasi Android yang dimiliki Google.
AS juga melarang produk Huawei dibeli oleh perusahaan-perusahaan AS dengan alasan keamanan. Washington juga bolak-balik mendesak sejumlah negara untuk tidak membeli produk Huawei. Desakan terutama disampaikan kepada sekutunya di Eropa dan Pasifik.
Sementara pada 2018, atas permintaan AS, Kanada menangkap Direktur Keuangan Huawei Meng Wanzhou. Sampai sekarang, Meng masih ditahan di Kanada sembari menunggu hasil sidang soal permohonan ekstradisinya ke AS. Washington meminta agar dia ditangkap karena diduga terlibat dalam ekspor benda yang mengandung teknologi buatan AS ke Iran. Washington menganggap hal itu sebagai pelanggaran atas sanksi unilateralnya ke Teheran.
Pengacara hukum niaga AS, Kevin Wolf, mengatakan, aturan itu merupakan pengendalian ekspor yang baru dan rumit di AS. Meskipun demikian, tetap ada celah berupa pembelian keping pengolah informasi yang tidak dirancang khusus untuk Huawei.
Sementara media China, Global Times, mengungkap bahwa Beijing mempertimbangkan balasan untuk perusahaan-perusahaan AS. Media yang dekat dengan Pemerintah China itu menyebut Boeing, Apple, Qualcomm, dan Cisco dalam daftar pembalasan. Perusahaan-perusahaan AS itu mendapat manfaat besar dari China, baik dari segi produksi maupun penjualan.
Apple, Cisco, dan Qualcomm bisa dijerat dengan aturan antimonopoli dan keamanan sibernetika. Sementara Boeing dihukum dengan penundaan pembelian pesawat oleh pemesan di China. Apple dan Qualcomm mengandalkan China untuk tempat produksi sekaligus penjualan produknya. Sanksi Beijing akan mengganggu proses produksi ataupun penjualan perusahaan-perusahaan itu.
Tergantung Impor
Meski menjadi pusat produksi aneka produk teknologi mutakhir, China amat bergantung pada impor. Sebab, China belum bisa memproduksi teknologi sesuai standar kebutuhan masa kini. Hal itu antara lain berlaku untuk peranti penyimpan yang bisa diakses tanpa menggunakan daya listrik (NAND flash) yang dibutuhkan untuk memproduksi ponsel, komputer, mobil transmisi otomatis, hingga televisi terbaru. Perusahaan Korea Selatan, Samsung dan SK Hynix, mengontrol 45,1 persen pasar NAND flash global.
Adapun Jepang lewat Kioxia dan AS lewat Western Digital, Micron Technology, dan Intel mengendalikan lebih dari 50 persen pasar NAND flash global. Di sisi lain, separuh pembelian NAND flash global berasal dari aneka pabrik di China.
Fakta itu berlaku pula untuk peranti penyimpan penyimpanan dinamis (DRAM) yang dibutuhkan pada setiap ponsel, komputer, hingga televisi terbaru. Samsung, SK Hynix, dan Micron memasok 95 persen kebutuhan pasar global. Dengan demikian, sebagaimana dilaporkan Financial Times, perusahaan China, seperti Xiaomi, Huawei, ZTE, dan Lenovo, amat bergantung pada impor untuk menghasilkan produk mutakhir yang diterima secara global.
Ketergantungan juga terjadi karena ASML, perusahaan Belanda, merupakan satu-satunya penyedia mesin cetak berbasis ultraviolet yang dibutuhkan dalam produksi prosesor 7 nanometer (nm) yang merupakan standar terbaru. Sementara perusahaan China baru bisa memproduksi prosesor 28 nm. Padahal, ponsel masa kini membutuhkan prosesor berukuran paling besar 14 nm.
Nikkei melaporkan, pada 2018 Washington menekan Amsterdam agar ASML tidak mengekspor mesin mutakhirnya ke Beijing.
Pasar mesin untuk memasukkan miliaran transistor dan komponen lain dalam satu keping pengolah informasi (cip) dikendalikan oleh AS lewat Lam Research dan Applied Materials serta oleh Jepang lewat Tokyo Electron. Perusahaan AS lain, KLA-Tencor, menyediakan teknologi penguji dan pemantau kualitas produksi cip. (AFP/REUTERS)