Waspadai Sindrom Peradangan pada Anak akibat Covid-19
Pandemi Covid-19 pada anak-anak mulai mengkhawatirkan seiring naiknya kasus sindrom peradangan multisistem pada anak di beberapa negara. Dokter di seluruh dunia diminta untuk waspada.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
NEW YORK, MINGGU — Dalam beberapa minggu terakhir, sejumlah kecil kasus sindrom peradangan multisistem pada anak-anak yang diduga terkait Covid-19 di Eropa dan Amerika Serikat meningkat. Organisasi Kesehatan Dunia memberikan peringatan kepada para dokter di seluruh dunia untuk mewaspadai sindrom ini.
Setidaknya ada lima anak, yaitu tiga anak di New York dan masing-masing satu anak di Perancis dan Inggris, meninggal akibat sindrom ini. Setidaknya, ada dua kasus kematian anak lainnya yang diduga disebabkan oleh sindrom yang sama.
Sejauh ini, Covid-19 sudah menginfeksi 4,5 juta di seluruh dunia dan menyebabkan lebih dari 300.000 kematian. Penyakit itu umumnya tidak berakibat fatal terhadap anak-anak dan remaja meski ada juga yang diduga terinfeksi tanpa menimbulkan gejala.
Namun, munculnya sindrom baru ini menjadi bukti bahwa tidak ada kelompok umur tertentu yang aman dari infeksi Covid-19.
Hingga Jumat (15/5/2020), Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC) sudah melaporkan 230 kasus terduga sindrom peradangan multisistem pada anak umur hingga 14 tahun.
Para dokter di Bergamo, Italia, melaporkan peningkatan 30 kali lipat kasus sindrom peradangan yang parah pada anak-anak. Berdasarkan studi yang dipublikasikan di jurnal kesehatan, Lancet, pekan ini, dalam periode dua bulan, yaitu sejak pertengahan Februari 2020 sampai pertengahan April 2020, terdapat 10 kasus sindrom peradangan multisistem. Padahal, kasus serupa dalam lima tahun terakhir ada 19 kasus.
Munculnya sindrom baru ini menjadi bukti bahwa tidak ada kelompok umur tertentu yang aman dari infeksi Covid-19.
Di New York, AS, di mana terdapat 100 lebih kasus sindrom ini, otoritas kesehatan telah mengeluarkan peringatan akan munculnya sindrom misterius ini.
”Laporan awal menduga sindrom ini mungkin terkait dengan Covid-19,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam jumpa pers virtual. Tedros memberikan peringatan kepada para dokter di seluruh dunia untuk membantu ”memahami dengan lebih baik sindrom ini pada anak-anak”.
Tedros juga menyebut bahwa sindrom ini mirip dengan penyakit Kawasaki dan sindrom syok toksik. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS, penyakit Kawasaki yang dikenal juga sebagai sindrom Kawasaki adalah penyakit demam akut yang tidak diketahui penyebabnya. Penyakit ini terutama menyerang anak balita.
Penyakit tersebut pertama kali dideskripsikan di Jepang oleh Tomisaku Kawasaki pada tahun 1967. Kasus pertama di luar Jepang dilaporkan terjadi di Hawaii pada tahun 1976.
Tanda-tanda klinis penyakit Kawasaki termasuk demam, ruam, pembengkakan tangan dan kaki, iritasi dan kemerahan pada bagian putih mata, pembengkakan kelenjar getah bening di leher, serta iritasi dan radang mulut, bibir, dan tenggorokan.
Seperti gejala klinis pada penyakit Kawasaki, sindrom peradangan pada anak yang terkait Covid-19 juga menimbulkan demam terus-menerus, sakit pada perut, ruam, dan pembengkakan lidah.
Sindrom baru ini juga disebutkan mirip dengan sindrom syok toksik, sekelompok gejala yang melibatkan banyak sistem tubuh akibat infeksi bakteri tertentu yang melepaskan racun ke dalam aliran darah dan menyebarkan ke organ tubuh.
Menyerang organ tubuh
Para ahli berspekulasi bahwa virus memicu respons yang buruk sistem kekebalan tubuh sehingga bukannya melindungi tubuh, melainkan malah menyerang organ tubuh. Hanya sedikit anak yang mengalami sindrom peradangan ini yang dinyatakan positif Covid-19. Akan tetapi, hal ini bukan berarti dalam tubuh mereka tidak ada virus korona baru.
Menurut Julia Kenny, konsultan imunologi di Rumah Sakit Anak Evalina, London, rumah sakit Evalina menemukan ada lebih dari 50 anak yang menunjukkan tanda-tanda sindrom itu. ”Sementara sangat sedikit yang dites dengan uji usap, mayoritas positif Covid-19 berdasarkan tes antibodi, yang artinya mereka terinfeksi virus korona baru tanpa menyadarinya,” kata Kenny.
Sindrom ini muncul beberapa minggu setelah puncak infeksi Covid-19 di populasi umum. Ini bisa berarti bahwa ada kemungkinan faktor antibodi tubuh berperan dalam memicu gejalanya.
”Di London, puncak infeksi Covid-19 pada populasi umum diperkirakan terjadi pada minggu pertama atau kedua April dan kami rasa puncak sindrom ini pada anak-anak baru terjadi minggu lalu atau minggu ini,” kata Liz Whittaker, pengajar penyakit menular anak dan imunologi di Imperial College London, dalam jumpa pers pada Rabu lalu.
”Yang kami penasaran adalah apakah sindrom ini muncul karena antibodi atau respons terlambat terhadap virus yang beberapa minggu setelah infeksi,” ujar Liz. ”Itu akan menjelaskan mengapa anak-anak ini tidak positif Covid-19.” (AFP)