Alami Krisis Terburuk Pasar Kerja, Dunia Harus Atasi Bersama
Kebijakan-kebijakan memerangi Covid-19 bisa mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) 305 juta pekerja formal hingga triwulan II-2020.
Tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang dialami banyak negara belum juga mereda. Situasi ini diperburuk oleh tingginya angka pengangguran. Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan, 1,6 miliar pekerja informal terpukul.
Sudah hampir empat bulan kebijakan karantina untuk mencegah penyebaran pandemi virus korona baru terbelit pro dan kontra.
Di satu sisi, karantina diyakini efektif menekan penambahan jumlah kasus penyakit Covid-19. Namun, di sisi lain, karantina justru menyebabkan banyak usaha tutup. Jutaan orang pun kehilangan pekerjaan dan jatuh miskin.
Berbagai program dan paket bantuan diberikan pemerintah negara-negara di dunia. Salah satunya India, yang memberikan bantuan pangan, seperti beras dan padi-padian, bagi sedikitnya 80 juta pekerja migran yang terdampak kebijakan karantina dan kehilangan pekerjaan akibat pandemi.
Menteri Keuangan Nirmala Sitharaman mengatakan, pemerintah akan mengalokasikan 463,06 juta dollar AS untuk bantuan pangan selama dua bulan ke depan itu.
Baca juga: Setelah Kehilangan Pekerjaan, 14 Pekerja Migran India Tewas Terlindas Kereta
Jutaan pekerja migran terpaksa meninggalkan kota-kota besar di awal karantina karena tidak ada lagi pekerjaan. Selain makanan, Sitharaman juga menjanjikan bantuan tempat tinggal dan transportasi bagi pekerja migran.
Sejak April lalu, New Delhi mengalokasikan jutaan dollar AS dalam bentuk pekerjaan kepada 23 juta tunakarya di desa lewat program jaminan pekerjaan perdesaan.
Tanpa perlindungan
Karena tidak memiliki biaya untuk naik angkutan umum, puluhan ribu pekerja migran yang tidak tertampung di kota-kota di India pulang ke kampung halaman dengan berjalan kaki. Ada perempuan hamil dan pekerja anak-anak.
”Saya tidak tahu masa depan akan seperti apa. Yang jelas, saya tidak akan kembali ke Delhi lagi,” kata Hari Ram (28), buruh migran.
Bank Dunia menyebutkan, hampir separuh populasi India berpenghasilan kurang dari 3 dollar AS per hari. Lebih dari 90 persen orang bekerja di sektor informal yang tak memberikan jaminan perlindungan sosial, simpanan, ataupun asuransi kesehatan dan jiwa.
Para pekerja migran yang pulang kampung mengatakan akan kembali bertani atau bekerja di proyek pembangunan jalan, kandang hewan, dan fasilitas simpanan air bersih di daerah-daerah tandus. Ini merupakan program pemerintah yang memberikan jaminan pekerjaan selama 100 hari dalam setahun di perdesaan India dengan upah 2,56 dollar AS per hari.
Pemerintah bilang tinggal saja di rumah. Lantas, mau dapat uang dari mana dan makan apa? Akhirnya nanti kami bisa mati dan tidak akan ada yang peduli.
Manish Verma, buruh bangunan, karena tak punya uang, terpaksa membawa istri dan anaknya pulang jalan kaki sejauh 700 kilometer di Negara Bagian Uttar Pradesh. Verma tidak membawa bekal makanan dan hanya ada biskuit pemberian orang di jalan. Di jalan, mereka masih dikejar-kejar polisi. ”Polisi memperlakukan kami seperti binatang,” ujarnya.
Munshi Singh, buruh harian, kesal karena pemerintah hanya peduli kepada orang kaya dan mengabaikan yang miskin. ”Pemerintah bilang tinggal saja di rumah. Lantas, mau dapat uang dari mana dan makan apa? Akhirnya nanti kami bisa mati dan tidak akan ada yang peduli,” kata Singh yang berjalan ratusan kilometer ke Bihar.
Kelompok rentan
Apa yang terjadi di India juga jamak di negara-negara Amerika Latin. Kelompok paling rentan adalah perempuan, masyarakat asli atau pribumi, migran, dan pendatang Afrika.
Baca juga: Stimulus AS Tenangkan Pasar Saham Sementara
Laporan Komite Ekonomi untuk Amerika Latin dan Karibia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, Sabtu (16/5/2020), menyebutkan, akses pada air bersih, sanitasi, layanan kesehatan, dan perumahan yang tidak adil akan mengancam mereka.
Perempuan paling rentan karena mayoritas bekerja di sektor informal atau domestik. Begitu juga pekerja domestik yang banyak diisi warga asli dan migran Afrika.
”Khusus untuk populasi pribumi dan Afrika-Amerika, mereka lebih menderita karena ditambah dengan adanya diskriminasi dan rasisme jika sudah menyangkut layanan kesehatan,” kata laporan itu.
Hasil penelitian terbaru Universitas Oxford, Jumat lalu, juga menunjukkan, masyarakat miskin rentan terinfeksi Covid-19. Warga di daerah-daerah yang tidak layak di Inggris empat kali lebih tinggi berisiko terjangkit dibandingkan dengan warga yang tinggal di permukiman orang kaya.
Baca juga: Mengatasi Badai Ekonomi Covid-19
Dari 3.600 data hasil tes Covid-19 yang diteliti, terlihat usia, penyakit hati kronis, dan hidup yang berkekurangan ternyata menambah kemungkinan hasil tesnya positif.
Dari data itu, lebih dari 660 orang tinggal di daerah tidak layak dan 29,6 persen di antaranya positif Covid-19. Adapun 7,7 persen tinggal di permukiman orang kaya.
Studi itu menunjukkan, warga kulit hitam juga berisiko empat kali lebih tinggi terjangkit Covid-19 daripada warga kulit putih (62,1 persen berbanding 15,5 persen).
”Analisis ini membantu memahami bagaimana penyakit Covid-19 memengaruhi orang-orang dari kelompok demografis yang berbeda,” kata Gayatri Amirthalingam dari Kesehatan Publik Inggris yang terlibat dalam studi itu.
Masyarakat dengan pendapatan rendah tampaknya menjadi faktor risiko Covid-19 yang signifikan.
Kendati demikian, masyarakat dengan pendapatan rendah tampaknya menjadi faktor risiko Covid-19 yang signifikan. Peneliti Universitas Birmingham, Rachel Jordan, mengatakan, penelitian itu membantu merancang tes dengan memprioritaskan masyarakat yang paling berisiko.
”Yang jelas, apa pun faktor risikonya, Covid-19 memperparah kesenjangan sosial dan ekonomi,” ujarnya.
Belum reda
Tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang harus dialami negara-negara di dunia belum juga mereda. Ujung akhir pandemi yang belum terlihat mengharuskan negara-negara terus berupaya keras memperlambat penyebaran penyakit itu. Karantina wilayah yang disusul pembukaan kembali secara perlahan dan hati-hati tidak serta-merta mengangkat ekonomi negara-negara.
Baca juga: Mitigasi Ancaman Krisis Ekonomi Covid-19
Bank Pembangunan Asia (ADB), pekan lalu, memperkirakan, biaya yang harus ditanggung global untuk menghadapi Covid-19 senilai 5,8 triliun dollar AS-8,8 triliun dollar AS.
Asumsi terbaru itu menyatakan besaran dua kali lipat dari proyeksi serupa bulan lalu. Ini menandakan tekanan yang dihadapi global belum juga reda. Nilai asumsi terbaru itu setara dengan 6,4-9,7 persen dari total nilai ekonomi global.
Otoritas-otoritas global telah mengambil tindakan agresif untuk melindungi perekonomian mereka dari dampak pandemi. Aneka stimulus jangka pendek dan menengah diluncurkan negara-negara.
”Analisis baru ini menyajikan gambaran luas tentang dampak ekonomi potensial yang sangat signifikan dari Covid-19,” kata Kepala Ekonom ADB Yasuyuki Sawada kepada BBC.
”Ini juga menyoroti peran penting yang dapat dimainkan melalui intervensi kebijakan untuk mengurangi kerusakan pada ekonomi,” lanjutnya.
Tekanan besar
Pengangguran ikut menekan negara-negara akibat Covid-19. ILO memperkirakan, 1,6 miliar pekerja informal terdampak langsung Covid-19. Kebijakan-kebijakan memerangi Covid-19 bisa mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) 305 juta pekerja formal hingga triwulan II-2020.
Hampir 3 juta pekerja yang diberhentikan telah mengajukan tunjangan pengangguran di AS, pekan lalu, sehingga jumlah tunakarya menembus 36 juta orang terhitung sejak dua bulan lalu. Dari data itu diketahui, pasar kerja sedang dicengkeram krisis terburuk dalam beberapa dekade dan ekonomi terpuruk.
Baca juga: Uni Eropa Hendak Menyusun Penyelamatan Besar Terkoordinasi
Negara-negara kaya anggota G-7 lain juga merasakan lonjakan jumlah penganggur. Di Kanada, tingkat pengangguran pada April lalu adalah 13 persen, naik 5,2 persen dari kondisi Maret.
Lebih dari 7,2 juta orang telah mengajukan permohonan bantuan darurat ketenagakerjaan setempat. Kondisi serupa dialami Jepang, Perancis, dan negara G-7 lainnya.
Gelombang PHK di AS telah meningkatkan kekhawatiran bahwa tambahan bantuan pemerintah belum akan cukup. Alokasi anggaran terbaru senilai 3 triliun dollar AS telah disepakati. Tanpa paket bantuan lain, banyak ekonom khawatir bahwa ribuan usaha kecil akan bangkrut, meninggalkan jutaan penganggur.
Pemerintah negara bagian dan lokal yang menghadapi kekurangan pendapatan besar dapat dipaksa untuk memberhentikan jutaan pekerja dan memotong layanan. Gubernur The Fed Jerome Powell menilai, Kongres AS harus mempertimbangkan penyediaan stimulus tambahan untuk menghindari bencana ekonomi lebih lanjut.
Baca juga: Eropa Raih Kemajuan, Laju Infeksi dan Kematian Menurun
Eropa juga tampak terengah-engah. Sebagai bagian dari paket dukungan daruratnya untuk mengatasi dampak ekonomi Covid-19, Uni Eropa menyiapkan instrumen sementara mulai 23 April hingga 1 Juni 2020 untuk membantu pekerja selama krisis. UE menyepakati pinjaman 100 miliar euro bagi anggotanya dari total total 540 miliar euro.
Tidak ada negara yang dapat memastikan kapan pandemi ini akan berakhir, bahkan China yang relatif mampu melewati ”serangan” pertama Covid-19. Jumlah penganggur di negara itu diperkirakan lebih dari 80 juta orang. (AFP/REUTERS/AP)