Pemimpin Redaksi Media di Mesir Ditangkap Aparat Saat Wawancarai Aktivis
Militer Mesir menahan Lina Attalah, pendiri situs berita independen Mada Masr. Ini adalah upaya penahanan kedua kali terhadap Attalah dan merupakan upaya pemberangusan media secara konsisten oleh pemerintah di Mesir.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
KAIRO, SENIN — Lina Attalah, jurnalis investigatif dan pemimpin redaksi laman berita independen, Mada Masr, ditangkap militer Mesir tidak jauh dari kompleks penjara Tora, Kairo, Minggu (17/5/2020) waktu setempat. Attalah ditangkap ketika tengah menjalani kerja jurnalisti nya, yakni mewawancarai aktivis hak asasi manusia, Laila Soueif.
Soueif adalah ibu dari Alaa Abdel Fattah, aktivis Mesir, yang saat ini dipenjara. Fattah akhir-akhir ini mogok makan untuk memprotes fasilitas kesehatan dan kondisi penjara selama pandemi Covid-19.
Pengacara Attalah, Hassan el-Azhari, mengatakan, kliennya ditahan militer Mesir dengan tuduhan memfilmkan fasilitas militer tanpa izin. Fasilitas militer yang dimaksud kemungkinan adalah penjara Tora. Militer Mesir mengategorikan penjara sebagai bagian dari fasilitas militer di bawah kewenangan mereka.
Azhari dikabarkan sempat tidak bisa menemui Attalah yang menjalani pemeriksaan di kantor polisi di Distrik Maadi, Kairo selatan. Telepon genggam jurnalis yang dinobatkan majalah Time sebagai salah satu ”Generasi Baru Pemimpin” juga sempat disita. Attalah dibebaskan, Minggu malam, setelah membayar jaminan senilai 2.000 pound Mesir.
Amnesty International menilai penangkapan Attalah sebagai perkembangan yang mengejutkan dari satu pemerintahan yang menyebut dirinya sebagai pemerintahan demokratis. Penangkapan Attalah merupakan penangkapan yang kesekian kalinya oleh pemerintahan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi. Peristiwa ini bukanlah yang pertama kalinya Attalah dan media yang diampunya ditekan Pemerintah Mesir.
Pada November lalu, pihak keamanan Mesir menggerebek kantor Mada Masr dan sempat menahan Attalah serta dua jurnalis lain. Penggerebekan itu dilakukan pemerintah setelah sehari sebelumnya aparat juga menangkap salah satu editor Mada Masr, Shady Zalat, di rumahnya di Kairo. Zalat kemudian dibebaskan.
Penggerebekan pada November lalu, seperti dikutip harian The New York Times, terkait pemberitaan Mada Masr tentang penggeseran Mahmoud el-Sisi, putra Presiden Abdel Fattah el-Sisi, dari jabatannya di dinas intelijen Mesir.
Beberapa jurnalis asing yang bekerja untuk Mada Masr juga mendapatkan tekanan.
Beberapa jurnalis asing yang bekerja untuk Mada Masr juga mendapatkan tekanan. Salah satunya Daniel O’Connel, wartawan asal Amerika Serikat, yang ditolak masuk ketika berada di bandara Kairo. Hingga kini, O’Connel tidak bisa masuk kembali ke Mesir.
Mada Masr adalah salah satu dari ratusan situs web yang diblokir oleh Pemerintah Mesir dalam beberapa tahun terakhir. Situs Mada Masr sendiri tidak bisa diakses dari Mesir sejak tahun 2017. Para pembaca situs berita ini harus menggunakan jaringan virtual privat (VPN) untuk bisa mengaksesnya di Mesir.
Pewarta foto ditangkap
Penahanan Attalah merupakan penahanan yang kedua terhadap jurnalis di Mesir dalam sepekan terakhir. Empat hari lalu, Haisan Hassan Mahgoub, pewarta foto Al-Masry al-Youm, ditahan oleh aparat keamanan Mesir dengan tuduhan yang tidak jelas. Kepada keluarga, menurut situs Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), aparat menyebut dia ditahan karena melanggar aturan jam malam dan pembatasan jarak sosial selama pandemi Covid-19.
Sebaliknya, jaksa penuntut memberitahukan alasan penahanan Mahgoub kepada pengacara adalah karena yang bersangkutan diduga tergabung dan membiayai kelompok teroris. Selain itu, Mahgoub juga dituduh telah menyebarkan berita palsu yang mengancam keamanan nasional.
Dalam beberapa tahun terakhir, Mesir memenjarakan puluhan wartawan dan mengusir jurnalis asing di negara tersebut. Menurut data Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), sejak tahun 2015, lebih dari 20 jurnalis dipenjara di Mesir setiap tahunnya. Kondisi kebebasan pers di Mesir memburuk seiring terus bertambahnya jumlah situs media yang diblokir oleh pemerintah Mesir.
Indeks kebebasan pers Mesir juga berada di posisi bawah, yaitu berada di posisi 166 dari 180 negara yang disurvei oleh lembaga Reporters without Borders (RSF). CPJ menobatkan Mesir bersama Turki, China, dan Arab Saudi sebagai negara terburuk memperlakukan jurnalis dan kerja-kerja jurnalistiknya.
Timothy Kaldas, dari Institut Tahrir, seperti dikutip The Guardian, mengatakan bahwa penangkapan Attalah merupakan contoh serangan Pemerintah Mesir kepada jurnalis dan kerja jurnalistiknya. Kebijakan pembungkaman itu, menurut Kaldas, sangat mengkhawatirkan di tengah upaya penanggulangan pandemi Covid-19 di negara tersebut.
”Mungkin Pemerintah Mesir menganggap penangkapan-penangkapan ini sebagai bentuk pengalihan dan tidak akan mendapat perhatian dari negara luar serta tidak akan mendapatkan tekanan soal kebebasan politik. Namun, posisi pers bebas yang dapat dipercaya masyarakat menjadi sangat vital selama krisis kesehatan berlangsung,” kata Kaldas.