Palestina Tidak Mudah Akhiri Kesepakatan dengan Israel
Mahmoud Abbas tidak mudah melaksanakan keputusannya di lapangan untuk mengakhiri semua kesepakatan dengan Israel dan AS karena Palestina sangat bergantung pada Israel di semua sektor kehidupan sehari-hari.
Oleh
Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir
·3 menit baca
KAIRO, KOMPAS — Keputusan Palestina untuk mengakhiri semua kesepakatan dengan Israel tidak mudah. Israel pun didesak menghentikan pencaplokan Tepi Barat.
Israel, Kamis (21/5/2020), menilai keputusan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas pada Selasa (19/5/2020) malam untuk mengakhiri semua kesepakatan dengan Israel dan Amerika Serikat, termasuk kesepakatan keamanan, hanyalah manuver politik.
Harian Israel, Haaretz, menyebutkan, Abbas tidak mudah melaksanakan keputusannya di lapangan untuk mengakhiri semua kesepakatan dengan Israel dan AS karena Palestina sangat bergantung pada Israel di semua sektor kehidupan sehari-hari.
Palestina membeli air, listrik, dan bahan bakar minyak kepada Israel serta perlu berkoordinasi dengan Israel untuk urusan keamanan dan sipil dalam kehidupan keseharian.
Manuver Abbas itu disebut bertujuan agar masyarakat internasional semakin menekan Israel sehingga mengurungkan niatnya untuk menganeksasi secara resmi Lembah Jordan dan permukiman Yahudi ke wilayah kedaulatan negara Israel. Abbas juga menginginkan Israel terpaksa berunding lagi dengan Palestina soal masa depan Lembah Jordan dan permukiman Yahudi itu.
Seperti dimaklumi, salah satu klausul kesepakatan pembentukan pemerintah darurat persatuan nasional Israel pimpinan bersama Benjamin Netanyahu dan Benny Gantz ialah menganeksasi Lembah Jordan dan permukiman Yahudi ke dalam wilayah kedaulatan Israel mulai awal Juli 2020.
Klausul itu sesuai dengan proposal damai AS yang diumumkan Presiden AS Donald Trump pada Januari 2020, yang populer dikenal dengan nama Transaksi Abad Ini. Klausul itu tinggal menunggu pengesahan di Knesset (parlemen Israel) untuk menjadi keputusan resmi yang langsung berlaku.
Abbas dan pimpinan Palestina melihat, pengesahan Knesset hanya soal waktu mengingat tidak ada lagi kekuatan politik dalam negeri Israel yang mampu membendungnya.
Hal ini terutama karena partai kanan Likud pimpinan Netanyahu dan Gerakan Biru-Putih pimpinan Gantz mendominasi Knesset. Pada pemilu Israel, Maret lalu, koalisi Likud dan Biru-Putih meraih 69 kursi, yakni Likud 36 kursi dan Biru-Putih 33 kursi.
Palestina memandang pengesahan Knesset atas aneksasi Lembah Jordan dan permukiman Yahudi mengubur secara final opsi dua negara dan terbentuknya negara Palestina yang terintegrasi secara geografis.
Abbas akhirnya tidak memiliki pilihan lain kecuali hanya mengakhiri semua kesepakatan dengan Israel dan AS dalam menghadapi tekad pemerintah persatuan Israel yang ingin menganeksasi Lembah Jordan dan permukiman Yahudi.
Harian Asharq al-Awsat, mengutip pejabat Palestina, mengungkapkan, pimpinan Palestina akan menggelar pertemuan lanjutan untuk membahas detail teknis pelaksanaan keputusan. Pelaksanaan keputusan Abbas tentu sulit dan harus bertahap. Abbas sendiri tak mengumumkan pembubaran Pemerintah Otoritas Palestina hasil Kesepakatan Oslo 1993.
Abbas, Rabu lalu, hanya mengontak Sekjen PBB Antonio Guterres untuk menyampaikan alasan ia mengakhiri kesepakatan dengan Israel dan AS. Abbas akan berkomunikasi dengan pimpinan Arab dan dunia agar menekan Israel supaya membatalkan niatnya menganeksasi Lembah Jordan dan permukiman Yahudi.
PBB pun telah mendesak Israel menghentikan rencana pencaplokan Tepi Barat. Konflik tidak bisa dihindari jika Israel tetap ngotot melaksanakan rencana perluasan wilayahnya.
Rencana itu merupakan pelanggaran hukum internasional dan membahayakan solusi dua negara serta dapat meningkatkan kembali konflik di kawasan. Desakan yang sama juga disampaikan Pemerintah Perancis dan China. (AP/AFP/REUTERS/MHD)