Gelombang protes kembali meledak di Hong Kong menyusul rencana China memberlakukan UU Keamanan Nasional-nya di Hong Kong dan Makau. Kelompok antipemerintah menilai, ini akan memberangus kebebasan di Hong Kong.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
HONG KONG, RABU — Kepolisian Hong Kong menangkap sedikitnya 300 orang dari ribuan orang yang berunjuk rasa menentang pemberlakuan undang-undang keamanan di jalan-jalan di Hong Kong, Rabu (27/5/2020).
Polisi Hong Kong menembakkan peluru merica untuk membubarkan demonstrasi yang memenuhi jalan-jalan di tengah kota. Di beberapa lokasi, polisi menangkap dan menggeledah beberapa orang yang dicurigai sebagai pemrotes.
Kehadiran personel polisi yang banyak di sekitar Dewan Legislatif dan blokade polisi bertujuan menghalangi para pemrotes yang berencana mengganggu pembahasan UU yang akan mengkriminalkan siapa pun yang dinilai tidak menghormati lagu kebangsaan China. Rancangan UU tersebut direncanakan efektif diundangkan pada bulan depan.
Polisi mengatakan telah menangkap lebih dari 300 orang yang mayoritas melanggar aturan berkerumun atau berkumpul. Banyak di antara yang ditangkap adalah remaja.
”Secara de facto ini seperti jam malam,” kata Nathan Law, advokat prodemokrasi. ”Pemerintah harus memahami mengapa warga benar-benar marah.”
”Kamu bisa lihat ada banyak polisi di setiap sudut, ini seperti darurat militer,” ujar seorang perempuan dengan nama belakang Bean setelah digeledah polisi.
Polisi menyatakan bahwa mereka ”menghormati hak warga untuk mengekspresikan pandangannya dengan damai, tetapi harus dilakukan dengan legal”. Untuk mencegah penyebaran Covid-19, Hong Kong melarang kerumunan lebih dari delapan orang. Permohonan izin untuk menggelar demonstrasi dan kelompok pemrotes telah ditolak selama berbulan-bulan.
Dalam wawancara dengan stasiun televisi CCTV, pimpinan polisi Hong Kong John Lee menuturkan, polisi telah mengadopsi taktik baru untuk mengontrol situasi ketika ”sesuatu terjadi”.
Marah atas potensi ancaman kebebasan di Hong Kong, orang-orang dari berbagai kelompok umur turun ke jalan. Ada yang memakai pakaian hitam, beberapa memakai seragam kerja, ataupun seragam sekolah, dan ada juga yang menyembunyikan wajahnya di balik payung seperti pada kerusuhan yang mengguncang tahun lalu.
”Meski di dalam hati takut, kamu harus bersuara,” kata Chang (29), seorang pegawai yang menggunakan pakaian hitam dan helm lengkap dengan masker dan kacamata.
Mengetahui rencana aksi unjuk rasa, banyak toko, bank, dan kantor yang tutup lebih awal. Protes kali ini pecah setelah China mengusulkan UU keamanan nasional yang bertujuan untuk mengatasi pemisahan diri, subversi, dan terorisme di Hong Kong.
Dengan UU keamanan ini, badan intelijen China bisa mendirikan pangkalan di Hong Kong. Rencana China ini memicu protes besar dalam beberapa bulan terakhir, Minggu (24/5/2020). Polisi menembakkan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan pengunjuk rasa.
Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa, dan negara lain prihatin atas perkembangan yang terjadi di Hong Kong. Mereka melihat hal ini bisa menjadi titik balik kebebasan di simpul bisnis tersebut.
Namun, otoritas China dan Pemerintah Hong Kong yang didukung Beijing menyatakan otonomi Hong Kong tidak terancam dan UU keamanan yang baru akan benar-benar fokus. ”Ini demi stabilitas jangka panjang Hong Kong dan China, ini tidak akan berdampak pada kebebasan berkumpul dan berpendapat dan tidak akan memengaruhi status kota ini sebagai pusat bisnis,” kata Sekretaris Kepala Hong Kong Matthew Cheung.
Presiden AS Donald Trump yang selama ini sudah berselisih dengan Beijing dalam perdagangan dan virus korona jenis baru mengatakan, AS akan mengumumkan sikapnya terhadap UU keamanan China. Trump juga memberikan peringatan bahwa Hong Kong bisa kehilangan statusnya sebagai pusat keuangan global jika kebebasan dan kekuasaan pengadilan dihilangkan.
China merespons sikap AS itu dengan mengatakan akan membalas segala campur tangan asing. Sementara itu, Taiwan berjanji mengulurkan tangannya untuk membantu warga Hong Kong yang mencari suaka di Taiwan.(REUTERS/AFP/AP)