Sudah sejak lama Presiden AS Donald Trump menggunakan Twitter untuk menyebarkan informasi menyesatkan, teori konspirasi, dan kebencian. Namun, baru kali ini Twitter melabeli cuitan Trump dengan peringatan cek-fakta.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
WASHINGTON, KAMIS — Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengancam Twitter dengan aturan baru atau bahkan menutupnya menyusul tindakan media sosial itu yang memberikan peringatan cek-fakta pada dua cuitan Trump.
Trump sebenarnya tidak bisa secara sepihak mengatur atau menutup perusahaan Twitter. Langkah apa pun yang akan diambil memerlukan persetujuan Kongres.
Pemerintahan Trump telah mengesampingkan perintah eksekutif untuk memberdayakan Komisi Komunikasi Federal untuk mengatur perusahaan teknologi informasi dengan menyebut hal ini tidak akan berhasil.
Dalam cuitannya, Rabu (27/5/2020) pagi waktu Washington DC, Trump mengklaim, raksasa teknologi membungkam suara-suara konservatif.
”Kami akan mengatur dengan keras atau menutup mereka sebelum ini terjadi,” katanya. Kemudian, Trump juga mencuit ancaman, ”Tindakan besar menyusul.”
Sekretaris Pers Gedung Putih Kayleigh McEnany mengatakan, Trump akan menandatangani perintah eksekutif terkait perusahaan media sosial. Namun, McEnany tidak menjelaskan detail informasi ini.
Direktur Komunikasi Strategis Gedung Putih Alyssa Farah menyebutkan bahwa Trump akan menandatanganinya pada Kamis (28/5) waktu Washington DC.
Dalam cuitannya, Trump kembali mengulangi klaimnya yang tidak berdasar, yaitu memperluas pemilihan dengan surat ”akan membuka peluang kecurangan, pemalsuan, dan pencurian surat suara”. Pernyataan ini kemudian membuatnya bertikai dengan Silicon Valley.
Kate Ruane dari the American Civil Liberties Union, menuturkan, Trump tidak memiliki kekuasaan untuk mengatur Twitter. Konstitusi ”dengan jelas melarang presiden mengambil tindakan apa pun untuk menghentikan Twitter melabeli cuitan Trump soal pemilihan dengan surat yang bohong”.
Profesor hukum dari Yale University sekaligus pakar Amandemen Pertama, Jack Balkin, mengatakan, setiap usaha untuk mengatur konten perusahaan media sosial akan memerlukan masukan dan persetujuan dari Kongres. Hal ini hampir pasti akan menghadapi tentangan hukum yang keras.
Sementara itu, Komisi Komunikasi Federal tidak memiliki kewenangan mengatur perusahaan internet, seperti Twitter. Yang jelas, ujar Balkin, adalah kewenangan Trump untuk memberlakukan aturannya terbatas.
Presiden memang bisa meminta penyelidikan atau mengeluarkan beberapa perintah eksekutif, tetapi presiden tidak bisa mengesampingkan aturan yang dikeluarkan oleh Kongres yang berakar pada konstitusi.
Mantan hakim federal Michael McConnell, yang kini menjadi Direktur Constitutional Law Center di Standford Law School, juga menyebutkan bahwa Trump tidak memiliki kekuatan hukum untuk mendukung ancamannya. ”Ia tidak memiliki kewenangan itu,” katanya dalam surat elektronik.
Asosiasi Internet, yang di dalamnya termasuk Twitter dan Facebook, menyatakan, platform daring tidak memiliki bias politik dan mereka memberikan ”lebih banyak peluang bagi orang untuk didengar”.
Twitter dan perusahaan media sosial lain belum memberikan reaksi atas ancaman Trump tersebut. Namun, ketika ditanya mengapa Twitter melabeli cuitan Twitter Trump soal pemungutan suara saat pertemuan tahunan Twitter, Rabu (27/5/2020), Penasihat Umum Twitter Sean Edgett mengatakan, setiap keputusan penanganan informasi yang salah dibuat sebagai kelompok.
”Kami memiliki kelompok dan komite yang mengurusi hal ini dan mengambil keputusan terkait apa yang banyak dilihat dan menarik banyak orang...,” kata Edgett.
Steven Livingston, Direktur Institute for Data, Democracy, and Politics di George Washington University, berharap Twitter memfokuskan kebijakannya soal informasi menyesatkan pada isu yang spesifik, seperti proses pemilu dan pandemi Covid-19.
Dalam beberapa tahun terakhir, Twitter memperketat kebijakannya menyusul kritik bahwa sikap lepas tangan Twitter memungkinkan akun palsu dan informasi menyesatkan bermunculan. (AP/AFP/REUTERS)