Perempuan Penjelajah yang Memborong Buah di Pasar Bogor Tahun 1896
Eliza Ruhamah Scidmore, perempuan pertama anggota National Geographic Society. Ia berkeliling Jawa tahun 1896. Tiba di Bogor, ia memborong buah-buahan di pasar dan menuangkan hasil petualangan rasanya ke sebuah buku.
Pulau Jawa disebut sebagai pulau tropis tersubur di dunia pada zaman kolonialisme Eropa. Meski demikian, sedikit sekali catatan tentang Pulau Jawa yang tersedia di dunia Barat pada tahun 1800-an akibat sifat tertutup Pemerintah Hindia Belanda yang membatasi akses dunia luar ke Nusantara, termasuk Pulau Jawa.
Penulis dan perempuan penjelajah asal Amerika Serikat, Eliza Ruhamah Scidmore alias ERS, tercatat berkeliling Jawa tahun 1896, bersamaan dengan Belanda yang mulai melakukan liberalisasi. Ia membuat catatan menarik tentang aneka buah tropis yang dijual di Pasar Bogor, Jawa Barat, saat berkunjung ke kota yang dijuluki ”Buitenzorg” (kota yang tenteram) itu.
ER Scidmore yang juga tercatat sebagai perempuan pertama yang menjadi anggota National Geographic Society itu menyebut Kota Bogor sebagai tropical garden atau taman dunia tropis karena suasana nyaman dan aneka tanaman tropis yang tumbuh di sana.
Baca juga : Tinggal Selangkah Lagi, Kebun Raya Bogor Menuju Situs Warisan Dunia
Julukan itu merujuk pada keberadaan Kebun Raya Bogor, yang dulu disebut-sebut sebagai kebun raya terbaik di dunia. Kebun raya ini berada di pusat kota Bogor, di antara Istana Gubernur Jenderal, pasar, dan pecinan.
ER Scidmore dalam buku Java The Garden of the East mencatat kehidupan di Bogor, termasuk keragaman buah dan bunga di Pasar Bogor yang dilihatnya saat bertualang menjelajahi Pulau Jawa.
Pasar Bogor dibangun dengan bentuk paviliun memanjang dengan ruangan lapang yang berlantai ubin tegel. Para pedagang kecil dari kampung-kampung datang seminggu dua kali untuk berjualan di pasar yang berada di kawasan pecinan (pemukiman Tionghoa) dan terletak di seberang pintu masuk kebun raya.
Selain paviliun dengan los terbuka, di pasar ini juga terdapat bangunan permanen dengan tembok, tempat penjahit dan pedagang kebutuhan rumah tangga berjualan tiap hari.
Para penjahit di Pasar Bogor duduk di lantai menghadap mesin jahit tangan buatan Amerika Serikat. Umumnya, mereka menjahit rok, kain sarung, ataupun jaket tutup khas warga Bumiputera. Para pelanggan menunggu para penjahit bekerja.
Di luar kompleks pasar tersebut, pedagang musiman dari kampung menggelar dagangan di bawah kerimbunan payung tradisional. Mereka menjual aneka tanaman, buah, dan aneka bunga.
Tak jauh dari sana membentang rumah-rumah warga Tionghoa di Pecinan dengan gantungan lampion dan kertas azimat dari kelenteng, di ambang pintu.
Saat ke pasar, Scidmore dibantu Amat, seorang bujangnya asal Bogor, yang membawakan aneka buah dari pasar ke hotel tempatnya menginap. Amat membawa banyak bungkusan buah-buahan ke hotel lalu mengajarkan Scidmore cara mengupas dan menikmati aneka buah eksotis tersebut.
Beragam buah tersebut dikupas di beranda hotel. Bungkusan daun pertama yang dibuka Amat berisi buah duku dan buah-buahan kecil lainnya. Amat juga membawa aneka bunga dan sayur-mayur.
Beragam jenis pisang yang dijual di Pasar Bogor turut dibeli. Setandan pisang berwarna kuning kemerahan dianggap Scidmore rasanya tidak cocok dengan seleranya. Dia mencatat, buah pisang ditanam setiap petani Sunda dan Jawa di Pulau Jawa. Pisang dapat tumbuh subur tanpa memerlukan banyak upaya manusia untuk merawatnya.
Untuk menghasilkan 1.000 pons atau 500 kilogram pisang, setara dengan kerja keras petani Eropa atau Amerika untuk menghasilkan 99 pons atau 45 kilogram kentang, dan 33 pons atau 16,5 kilogram gandum. Buah pisang adalah sumber pangan anugerah Tuhan bagi warga yang tinggal di daerah tropis.
Selanjutnya, Scidmore mengeksplorasi buah rambutan (Nephelium lappaceum) yang dilihatnya sangat menarik. Rambutan berwarna merah cerah dan rambutan muda berwarna kehijauan diboyong Scidmore. Dalam tulisannya, rambutan disebut mudah dikupas dengan bagian dalam berair.
Baca juga : Akhir Kisah Kapal Induk Terkait Konflik Irian Barat dan Perang Malvinas
Lalu, dia mengupas buah duku yang disebutnya merupakan kombinasi anggur hijau besar, almond segar, serta buah zaitun, tetapi dengan isi hanyalah bola cairan berkulit tipis. Rambutan dan duku, menurut Scidmore, mirip buah leci dari China.
Eksplorasi berlanjut dengan buah salak atau ”buah terlarang” yang bentuknya mirip buah pir. Tumbuh di pohon yang serupa semak duri, salak memiliki kulit mirip kulit ular derik (rattle snake) di Amerika Serikat.
Kulit yang bersisik tajam itu membuat orang enggan mencoba salak. Buah salak ia sebut rasanya biasa saja, dengan daging padat seperti buah apel dengan rasa dan tekstur seperti kacang.
Buah berikut adalah jambu air yang ditulis Scidmore sebagai jamboa atau apel mawar (rose apple) dengan nama Latin Eugenia malaccensis. Jambu berdimensi seukuran salak dengan warna albino atau putih salju di bagian dalam dan merah atau merah muda pada bagian kulit serta ujung buah. Jambu terlihat berair, wangi, dan penuh cairan. Sekali coba, ujar Scidmore, rasa jambu tidak terlupakan.
Buah eksotis lainnya adalah Averrhoa carambola alias star fruit atau buah belimbing, yang di Asia Timur dikenal sebagai chinese gooseberry. Bagian dalamnya berisi cairan buah yang terasa masam.
Uji rasa dilanjutkan dengan breadfruit atau buah sukun (Artocarpus altilis) dan kerabatnya, yakni nanko atau buah nangka yang bernama Latin Artocarpus integrifolia. Satu buah nangka tercatat bisa mempunyai bobot 30-40 pons atau 15-20 kilogram!
Buah nangka menjadi salah satu sumber pangan utama di Jawa yang harus dimasak dengan saksama sebelum disajikan di meja makan. Buah nangka matang yang dijual di pasar, dibawa pedagang dengan cara diikat dengan tali rotan.
Adapun keberadaan buah sukun oleh para pakar ekonomi, filsuf, dan ilmuwan sangat dipuji karena dianggap dapat menyediakan kebutuhan pangan masyarakat asli Asia. Dalam perhitungan mereka, hasil buah dari sepuluh pokok pohon sukun dapat memenuhi kebutuhan pangan seluruh keluarga selama satu tahun.
Baca juga : Allen Pope, Pilot CIA yang Membantu Pemberontakan Permesta
Penjelajah Inggris, Kapten James Cook, dalam catatan perjalanannya ke Pasifik pada medio 1700-an, mencatat, pohon sukun tidak membutuhkan banyak perawatan. Buahnya juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan hingga ke anak cucu.
Buah yang dinilai paling menarik adalah durian (Durio zibenthius) yang besarnya hampir seukuran nangka, memiliki daging seperti melon, tetapi lebih lembut dan memiliki krim seperti lemak almond yang bak mentega. Terkadang, baunya seperti telur busuk meski ketika dimakan rasanya dapat diterima orang Eropa.
Orang Eropa seperti penjelajah Alfred Russel Wallace menyebut durian sebagai raja buah-buahan. Anak-anak dari pemukim Inggris di Jawa sangat menyukainya dan menyebutnya sebagai darling durian.
Sementara Residen Yogyakarta pada zaman pendudukan Inggris, John Crawfurd, menyebutnya sebagai gabungan antara krim segar dan filbert (kacang sejenis hazelnut). Secara umum, durian disebut baunya memang memuakkan, tetapi rasanya sangat nikmat.
Buah durian dijajakan di hampir setiap pasar tradisional di Jawa. Warga pun sengaja menanam dan menunggu durian matang jatuh di halaman rumah mereka. Durian jatuhan sangat disukai. Sering terjadi, orang terluka kejatuhan buah durian karena buah yang ada memang sengaja tidak dipetik dari pohonnya.
Buah lain yang dicoba Scidmore adalah pepaya, mangga, jeruk lokal, dan jeruk bali (Citrus decumana). Namun, yang paling utama, menurut Scidmore, adalah buah manggis atau mangosteen (Garcinia mangosteen) yang berbuah setiap bulan November-Desember di Jawa.
Buah berwarna ungu gelap yang menggantung tinggi di pohon itu dipetik petani yang kemudian membawanya ke pasar dalam bentuk ikatan berisi hingga 20 tangkai buah, yang tampak seperti anggur raksasa.
Buah manggis disebut Scidmore seperti salju lembut dalam cangkang merah mawar dan mudah dicungkil dengan garpu. Kelembutan manggis akan lumer di lidah seperti kombinasi kue tart manis, jus apel, dan kelembutan es krim. Dia menulis, daging buah manggis dalam bahasa Perancis sebagai neige parfumee atau salju wangi.
Dia menyayangkan manggis yang tidak bisa dikirim ke Eropa karena jarak yang jauh, bahkan dengan bantuan mesin pendingin di kapal modern sekalipun, karena isi buah manggis akan melumer atau membusuk setelah sepekan dipetik dari pohon.
Manggis bisa didapati di pasar di Singapura. Saigon, ibu kota Cochin China, salah satu koloni Perancis di Indo China, juga menghasilkan manggis yang dijual hingga ke Shanghai dan Yokohama, Jepang. Saking sulitnya mengirim manggis ke Eropa, sampai-sampai ada tawaran hadiah 30 poundsterling bagi kapten kapal Inggris yang mampu mengantarkan buah manggis kepada Ratu Inggris!
Pohon manggis juga tumbuh di Semenanjung Malaya dan berhasil dikembangkan di Ceylon (Sri Lanka), sehingga ada harapan bisa dibudidayakan di Hindia Barat (Karibia) agar tersedia bagi pasar buah di New York (Amerika Serikat) dan London (Inggris).
Selepas menjajal beragam buah dari Pasar Bogor, Eliza Scidmore bertualang merasakan buah kelapa segar yang dipetik di dekat makam pelukis Raden Saleh di dekat Bondongan, Bogor. Lokasi tersebut berdekatan dengan sekolah Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK) Bogor yang menembus jalan setapak ke arah Jalan Rangga Gading (sekarang Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi/STIE Kesatuan Bogor).
Seorang pemuda setempat memanjat pohon kelapa lalu memetik sekelompok buah kelapa seberat 20 pons atau sekitar 10 kilogram yang kemudian dilemparkan ke tanah. Buah tersebut kemudian dibawa ke hotel dan airnya dinikmati Eliza Scidmore.
”Airnya terasa tawar dan daging buah kelapa seperti kulit tanpa rasa. Seperti omelet dingin tanpa telur,” kata Scidmore mengomentari buah kelapa segar.
Selain beragam buah, dia juga mengumpulkan aneka bunga indah yang dibeli di Pasar Bogor. Beberapa bunga yang dicatat secara khusus oleh Scidmore di antaranya bunga kenanga, bunga sumboja (yang dimaksud adalah kamboja atau frangipani yang bernama Latin Plumeria acutifolia), dan cempaka atau Arabian Jasmine.
Minat Eliza Scidmore terhadap beragam flora kelak membawanya sebagai orang yang menanam cherry blossom atau pohon sakura di Washington DC. Dia berulang kali ke Jepang pada akhir 1800-an hingga awal 1900-an karena saudaranya menjadi diplomat di Tokyo.
Pohon sakura yang ditanam Eliza Scidmore hingga kini menjadi simbol persahabatan Amerika Serikat dan Jepang. Sayang, jejak Scidmore, perempuan pertama di National Geographic Society yang pernah bertualang di Jawa, tidak banyak dikenal di Indonesia.