Tak Ada Jaringan Internet untuk Belajar Daring, Radio Pun Jadi
Di tengah pandemi Covid-19, pelajaran di sekolah bagi anak-anak yang tinggal di wilayah tak terjangku internet mau tidak mau dilakukan melalui radio, seperti zaman dahulu sebelum teknologi internet hadir.
” ... We watch the shows, we watch the stars
On videos for hours and hours
We hardly need to use our ears
How music changes through the years
Let\'s hope you never leave old friend
Like all good things on you we depend
So stick around \'cause we might miss you
When we grow tired of all this visual
You had your time, you had the power
You\'ve yet to have your finest hour
Radio (radio) ...”
Lirik lagu ”Radio Gaga” milik kelompok band musik rock asal Inggris, Queen, yang dirilis tahun 1984 itu mengingatkan betapa besar jasa radio bagi masyarakat kala dunia belum dibuat hiruk-pikuk oleh segala perkembangan teknologi informasi modern. Dengan kehadiran televisi dan internet, perlahan peran radio tergeser dan bukan lagi menjadi sumber informasi yang utama.
Barangkali Marlene Beltran tak pernah mendengar lagu Queen itu atau bisa jadi malah sangat kenal. Yang jelas, Beltran tak pernah absen mendengarkan radio. Apalagi sejak pandemi Covid-19 melanda negerinya.
Setiap pagi, Beltran membantu adiknya yang berusia 5 tahun belajar di rumah orangtua mereka yang berada di daerah pedesaan pinggiran kota Bogota, Kolombia.
Pagi itu, Rabu (27/5/2020), Beltran membantu adiknya membuat kotak kertas yang harus dihiasi dengan gambar yang bercerita. Instruksi cara membuatnya diberikan lewat program belajar di radio.
Baca juga: Suka Duka Belajar di Rumah
Akibat pandemi Covid-19 yang disebabkan virus korona baru, seluruh siswa untuk sementara harus belajar di rumah dengan sistem jarak jauh. Keluarga Beltran yang sehari-harinya bekerja di peternakan sapi perah tidak memiliki jaringan internet di rumah.
Untung saja keluarga Beltran memiliki radio. Untuk membantu siswa belajar dan agar semua siswa di berbagai daerah terjangkau, pemerintah kota mengembangkan materi ajar yang disampaikan melalui radio selama satu jam.
”Jangan sampai anak-anak tidak terbiasa belajar lagi,” kata Diana Lopez, guru di kota Funza, Kolombia, yang ikut membuat materi ajar di radio khusus untuk siswa SD.
Di daerah tempat tinggal Lopez terdapat sedikitnya 10.000 siswa dan sepertiganya tidak mempunyai komputer ataupun jaringan internet di rumah.
”Pelajaran di radio memberi kesempatan anak untuk mengembangkan kemampuan membaca dan menulis. Anak-anak juga perlu tahu bahwa gurunya masih akan terus mendampingi,” ujarnya.
Baca juga: Sekolah Menyiasati Kendala Teknologi Belajar Jarak Jauh
Kondisi serupa juga terjadi di Haiti. Hanya sepertiga populasi yang mempunyai akses internet sehingga radio menjadi satu-satunya media penyampai materi pembelajaran.
Siswa miskin yang tinggal di pemukiman kumuh perkotaan di Ekuador tak hanya mengandalkan radio, tetapi televisi.
Setelah selesai mengerjakan tugas yang didapat dari radio dan televisi, tugas itu harus dikumpulkan di sekolah lalu nanti akan dikoreksi oleh guru.
Konten berbeda
Di Kuba, di mana jaringan internet di rumah hampir tidak ada, memanfaatkan televisi untuk menyampaikan konten-konten pendidikan selama berjam-jam setiap harinya. Satu konten diberikan selama 30 menit dan nanti bergantian materi ajar yang berbeda untuk tingkatan pendidikan yang berbeda.
Dengan kondisi seperempat sekolah negeri Chile berada di daerah perdesaan, pada guru yang tergabung dalam organisasi Teach for All mengembangkan materi ajar 30 menit yang disiarkan lebih dari 200 stasiun radio. Materi ajarnya beragam, seperti matematika, sains, sejarah, dan menulis.
Agar tidak membosankan, materi ajarnya diisi dengan musik dan efek suara yang menarik dengan sesekali diselipkan wawancara dengan tamu hari itu yang memberikan tips dan trik.
”Karena sekolah ditutup, sangat sulit untuk tahu sebenarnya seberapa banyak anak-anak bisa belajar. Program ini dirancang agar anak-anak bisa belajar hal baru dan tetap bisa memotivasi dan memacu semangat mereka,” kata Tomas Recart, Direktur Enseña Chile, afiliasi Teach for All.
Tak ada internet
Studi yang dilakukan Bank Pembangunan Intra Amerika pada tahun ini menyebutkan 86 persen siswa pedesaan di Chile memiliki jaringan internet di rumahnya.
Sementara di Kolombia, Meksiko, dan Peru hanya 35 persen siswa perdesaan yang bisa mengakses internet. Jaringan internet di rumah pun jarang ada di wilayah perdesaan Brasil sehingga warga mengandalkan telepon genggam untuk mengakses internet.
Karena hanya bisa mengakses internet lewat telepon genggam, pemerintah membagikan kartu SIM dengan paket data gratis sehingga anak-anak bisa belajar memakai platform pembelajaran online.
”Sebelum wabah vieus korona saja kesenjangan pendidikan di sini sudah sangat lebar,” kata Claudia Costin, direktur pusat inovasi pendidikan di Getulio Vargas University.
Ahli pendidikan di Bank Pembangunan Intra Amerika, Sabine Rieble-Aubourg, memperkirakan sistem belajar jarak jauh ini akan berlanjut hingga akhir tahun meskipun nanti sekolah akan dibuka. Ini karena pemerintah tetap harus membatasi jumlah siswa di ruang kelas.
Krisis kesehatan seperti sekarang ini memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk memperbaiki kualitas jaringan internet dan kualitas konten materi ajar.
Baca juga: Covid-19 Tak Hentikan Proses Pembelajaran
”Banyak negara yang mencari materi ajar apa pun asalkan gratis. Kalau situasi kembali normal, konten materi ajar harus diperbaiki dan dibuat spesifik per tingkatan kelas serta sesuai dengan kurikulum nasional,” kata Rieble-Aubourg.
Kreativitas guru
Keberhasilan sistem pembelajaran jarak jauh seperti ini tidak hanya tergantung dari siswa dan orangtua tetapi juga guru. Banyak guru yang berusaha menjangkau siswa yang tinggal nun jauh di sana. Namun, tak semuanya disertai niat dan tekad kuat.
Seperti guru SD, Andreza Nascimento, di Manaus yang berada di pedalaman Amazon, Brasil. Nascimento setiap hari merekam video berisi materi ajar untuk siswa-siswa berusia 6-8 tahun.
Saking niatnya membantu para siswa agar memahami materi ajarnya, ia sampai memakai kostum dan memakai banyak properti dan alat peraga belajar.
”Tidak setiap hari mereka ada internet. Tidak apa-apa. Yang penting anak-anak suka teknologi dan saya berusaha membuat konten belajar yang menyenangkan,” kata Nascimento yang mengirim rekaman video materi ajarnya melalui aplikasi WhatsApp.
Guru TK di Funza, Kolombia, Amparo Ramos, juga tak kalah berjuangnya. Ia bahkan memakai uangnya sendiri untuk mencetak rencana dan agenda belajar yang diberikan kepada siswa yang tidak memiliki internet.
Ramos juga memanfaatkan Whatsapp untuk mengirimkan rekaman video permainan pendidikan yang pendek berikut instruksinya kepada orangtua siswa. Ia berharap orangtua juga bisa ikut bermain dengan anak-anaknya.
”Memang tidak mudah dan melelahkan, tetapi ini tetap harus dilakukan. Kami tertinggal dalam hal teknologi sehingga perlu cari cara lain untuk menjangkau orangtua dan anak-anak,” kata Ramos. (AP)