Unjuk Rasa Antirasisme di AS Refleksi Kemunduran Reformasi Kepolisian
Unjuk rasa memprotes kematian warga kulit hitam di Minneapolis, George Floyd, terus meluas di Amerika Serikat. Rasa frustrasi atas kematian Floyd akibat tindakan polisi itu merefleksikan gagalnya reformasi kepolisian.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
MINNESOTA, SABTU — Unjuk rasa memprotes isu rasial yang dipicu kematian George Floyd, warga kulit hitam di Minneapolis, Minnesota, AS, akibat perlakuan seorang polisi berkulit putih, Derek Chauvin, meluas dan kian menjadi-jadi. Selain di Minneapolis, unjuk rasa juga meletus di Atlanta, Oregon, New York, hingga ke Washington.
Di Minneapolis, kemarahan massa menyulut pembakaran sejumlah toko dan perusakan sejumlah properti, termasuk kantor polisi. Setali tiga uang, di Atlanta, mobil polisi menjadi sasaran pengunjuk rasa, demikian juga di Portland, Oregon, di mana massa merusak kantor polisi dan menyalakan api di dalamnya. Di Detroit, seorang warga dikabarkan tewas setelah seseorang—dari dalam sebuah SUV—melepaskan tembakan ke arah kerumunan pengunjuk rasa yang berkumpul di dekat kawasan hiburan Greektown.
Sementara itu, dalam unjuk rasa di depan Gedung Putih, Washington, massa meneriakkan kecaman kepada Presiden Donald Trump. Beberapa pengunjuk rasa bahkan berusaha menembus rintangan yang dipasang Paspampres di sepanjang Pennsylvania Avenue. Para pengunjuk rasa juga melemparkan botol dan benda lain ke arah petugas yang mengenakan pakaian antihuru-hara, yang meresponnya dengan semprotan merica.
Untuk menahan laju amuk massa, sejumlah kota meminta bantuan perkuatan dari Garda Nasional dan polisi militer. Bahkan Gubernur Georgia Brian Kemp pada Sabtu (30/5/2020) pagi mengumumkan keadaan darurat ketika kekerasan semakin berkobar di Atlanta. Wali Kota Portland Ted Wheeler juga mengumumkan keadaan darurat dan menetapkan jam malam untuk kota tersebut. Gubernur Minnesota Tim Walz mengatakan, pihaknya akan mengerahkan lebih banyak aparat dan mempertimbangkan meminta bantuan pemerintah federal.
Demonstrasi yang terus membesar itu tampaknya membuat dialog selama bertahun-tahun antara kelompok masyarakat sipil dan kepolisian di Negara Bagian Minneapolis untuk mereformasi lembaga tersebut hancur berantakan.
”Empat malam berturut-turut kekerasan terus terjadi, termasuk pembakaran kantor polisi, membuktikan kepada saya bahwa kita mengalami kemunduran seperti yang terjadi pada tahun 2015,” kata Jeremiah Ellison, anggota Dewan Kota Minnesota, Sabtu. Dia mengatakan, kondisi itu mengingatkannya kembali pada kejadian kerusuhan rasial setelah seorang pria kulit hitam, Jamar Clark, juga tewas di tangan polisi.
Upaya kota
Minneapolis—wilayah dengan jumlah penduduk hampir setengah juta jiwa, terdiri dari 60 persen berkulit putih, 19 persen penduduk kulit hitam, dan sisanya campuran hispanik serta ras lain—memiliki sejarah panjang kesenjangan ekonomi dan pendidikan. Kesenjangan ini telah memarjinalkan penduduk kulit berwarna meski dalam beberapa tahun terakhir kemajuan sudah mulai tampak.
Sejak kejadian kerusuhan rasial tahun 2015, pemerintah kota telah menunjuk kepala polisi kulit hitam pertamanya. Hal ini juga dilakukan untuk mencoba mengupayakan inklusivitas seluruh golongan di lembaga kepolisian.
Untuk mengawal kerja kepolisian, pemerintah juga membentuk gugus tugas yang terdiri dari para aktivis, orang-orang yang mewakili korban kebrutalan polisi, dan para petinggi dari kalangan lembaga penegak hukum non-kepolisian.
Pembentukan gugus tugas itu menjadi sebuah kemajuan yang diapresiasi banyak kalangan, termasuk dari kalangan aktivis. Nekima Levy Armstrong, pengacara hak-hak sipil dan mantan Presiden NAACP Minneapolis (Asosiasi Nasional untuk Kemajuan Warga Kulit Berwarna Minneapolis), adalah salah satu yang mengakui kemajuan itu. Namun, pada saat yang sama, pola pikir dan budaya lama ternyata tidak berubah.
”Sistem itu sendiri tidak berubah. Budaya dalam Departemen Kepolisian Minneapolis tidak berubah,” kata Armstrong.
Komposisi di dalam Departemen Kepolisian Kota, yang terdiri atas 800 orang, masih didominasi oleh para petugas kulit putih. Media Star Tribune pernah melaporkan pada tahun 2014 bahwa komposisi anggota, termasuk kadet, adalah 78,9 persen kulit putih, 9,2 persen kulit hitam, 5,2 persen Asia, 4,1 persen Hispanik dan 2,5 persen Indian Amerika. Data terbaru belum diberikan oleh kepolisian.
Salah satu budaya buruk dan mengakar yang belum hilang adalah perlindungan terhadap para perwira brutal. Mantan Wali Kota Minnesota RT Rybak dan Senator Negara Bagian Minneapolis Jeff Hayden berulang kali mengkritik budaya melindungi para perwira polisi yang brutal yang dilakukan oleh serikat kepolisian kota. Letnan Bob Kroll, presiden serikat kepolisian kota Minnesota, tidak berkomentar soal ini ketika dihubungi.
Perlindungan yang diberikan terus-menerus terhadap polisi yang bertindak brutal oleh kalangan tertentu, menurut aktivis Teqen Zea Aida, mencerminkan rasa frustrasi atas kenyataan tersebut.
Meluas
Ketika kasus Floyd mencuat, rasa frustrasi itu ternyata tidak hanya menghampiri warga Kota Minnesota, tapi juga telah menjalar ke berbagai kota dan negara bagian yang lain. Di kota-kota utama di berbagai negara bagian Amerika Serikat, seperti Texas, California, dan New York hingga Atlanta-Georgia, kerusuhan juga terjadi.
Kerusuhan yang semakin meluas di Minnesota membuat militer AS bersiap-siap turun ke lapangan. Seorang sumber menyebutkan, Presiden Trump telah meminta militer siap diterjunkan sewaktu-waktu untuk membantu Garda Nasional dan polisi memadamkan kerusuhan di beberapa kota.
Mantan Presiden Barack Obama pun menyesalkan tindakan berlebihan polisi kulit putih terhadap seorang warga kulit hitam. Dia mengatakan, pembedaan seseorang hanya karena dia merupakan warga kulit berwarna, tidak boleh menjadi sebuah kenormalan di Amerika Serikat.
”Ini seharusnya tidak ’normal’ di Amerika 2020. Jika kita ingin anak-anak kita tumbuh di negara yang hidup dengan cita-cita tertingginya, kita bisa dan harus berbuat lebih baik,” kata Obama.
Dia menambahkan, untuk jutaan orang Amerika, diperlakukan secara berbeda karena ras adalah tragis, menyakitkan, dan menjengkelkan. ”Apakah itu saat berurusan dengan sistem perawatan kesehatan, atau berinteraksi dengan sistem peradilan pidana, atau berolahraga di jalan, atau hanya menonton burung di taman,” kata Obama menambahkan.
Protes dari Afrika
Kecaman atas pembunuhan Floyd juga datang dari negara-negara Afrika. Ketua Komisi Uni Afrika Moussa Faki Mahamat mengecam pembunuhan Floyd dan menyatakan bahwa lembaga itu menolak praktik diskriminasi tumbuh subur dan terus-menerus atas warga kulit hitam AS.
Beberapa orang terkemuka di Afrika juga terang-terangan mengecam tindakan brutal polisi atas warga kulit hitam. Seorang kartunis kenamaan Kenya, Patrick Gathara, mencuit soal tindakan brutal Chauvin terhadap Floyd, bahkan terhadap Presiden Trump.
Duta Besar AS untuk Kongo, Mike Hammer, menyoroti sebuah tweet dari seorang pengusaha media lokal yang memanggilnya dengan mengatakan, ”Duta besar yang terhormat, negara Anda memalukan. Sebuah kebanggaan rakyat Amerika, yang mampu melewati segregasi politik saat pemilihan umum, hingga kini masih belum bisa menaklukkan setan-setan rasisme. Berapa banyak orang kulit hitam yang harus dibunuh petugas polisi kulit putih sebelum pihak berwenang bereaksi serius?”
Dubes Hammer menjawab cuitan itu dengan mengatakan bahwa Departemen Kehakiman, Biro Investigasi Federal, tengah menyelidiki hal ini dan menjadikan kasus ini sebagai prioritas utama. (AFP/AP/RAZ/JOS)