Dewan Keamanan PBB Akhiri Misi Pasukan Perdamaian UNAMID
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa misi pasukan perdamaian gabungan PBB-Uni Afrika di Sudan. Misi selanjutnya akan dilakukan oleh misi sipil.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
NEW YORK, KAMIS —Dewan Keamanan PBB mengakhiri misi pasukan perdamaian gabungan antara PBB dan Uni Afrika di Darfur, Sudan, dan menggantikannya dengan misi sipil. Belum ditetapkan kepastian waktu berakhirnya misi pasukan perdamaian yang dikenal dengan nama UNAMID itu. Namun, misi pasukan yang beranggotakan 6.500 personel itu akan diperpanjang selama 6 bulan atau hingga 31 Desember 2020.
Resolusi Dewan Keamanan PBB yang disetujui, Kamis (4/6/), itu menyebutkan, pada saat itu nanti barulah DK PBB akan memutuskan, penarikan diri yang bertangggung jawab, dari UNAMID. Keputusan itu akan memperhitungkan laporan khusus dari Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dan pimpinan Komisi Uni Afrika.
UNAMID yang dibentuk pada 2007 merupakan misi penjaga perdamaian bersama pertama antara PBB dan Uni Afrika.
Laporan PBB dan Uni Afrika yang dijadwalkan selesai 31 Oktober mendatang itu akan memaparkan situasi di wilayah itu, termasuk dampak proses perdamaian Sudan terhadap situasi keamanan di Darfur dan kemampuan pemerintah Sudan melindungi warga sipil.
Resolusi DK PBB lain yang juga disetujui pada kesempatan yang sama adalah misi politik baru, yakni Misi Bantuan Transisi Terintegrasi PBB di Sudan atau UNITAMS. Misi yang akan berjalan selama satu tahun itu diberi mandat membantu transisi politik menuju pemerintahan yang demokratis sekaligus melindungi hak asasi manusia dan perdamaian abadi.
UNITAMS juga harus membantu pemerintah melindungi warga sipil, menjaga perdamaian, dan penegakan hukum, terutama di Darfur. Selain itu, juga harus memberikan bantuan teknis dalam menyusun konstitusi dan mendukung perundingan perdamaian hingga implementasi hasil kesepakatan apabila diminta.
DK PBB meminta Guterres segera menyiapkan UNITAMS sehingga bisa mulai menjalankan mandatnya 1 Januari 2021.
Mengejutkan
Konflik Darfur meletus tahun 2003 ketika etnis Afrika memberontak menuduh pemerintahan Sudan yang didominasi Arab diskriminatif. Pemerintah dituduh membalas dengan mempersenjatai suku Arab lokal yang nomadik dan meminta mereka menyerang warga sipil. Namun, pemerintah membantah tuduhan itu.
Beberapa tahun terakhir, sepak terjang pemberontak bisa ditekan karena tekanan dari militer pemerintah lalu berubah menjadi faksi Tentara Pembebasan Sudan yang dipimpin Abdul Wahid Elnur di Jebel Marra. Pada Juli 2018, DK PBB mengurangi jumlah personel UNAMID untuk mengurangi pertikaian dan memulihkan kondisi keamanan. Kemudian dibuat target mengakhiri misi itu pada 30 Juni 2020.
Konflik Darfur terjadi pada masa pemerintahan otokratis mantan Presiden Omar al-Bashir yang berlangsung selama 30 tahun. Pada saat itu, Sudan dikejutkan oleh perang saudara dan pemberontakan berdarah yang terjadi tidak hanya di Darfur, tetapi juga di negara-negara bagian Blue Nile dan South Kordofan.
Kepemimpinan Al-Bashir berakhir April 2019 setelah militer menggulingkannya pascaprotes besar-besaran oleh gerakan prodemokrasi yang dimulai akhir 2018. Pada Agustus 2019 disepakati pembagian kekuasaan antara militer dan demonstran, lalu membentuk kekuasaan sipil-militer. Namun, sipil kemudian kembali bergejolak untuk menunjukkan otoritas di hadapan militer.
Pada Oktober 2019, DK PBB memutuskan mempertahankan UNAMID di Darfur selama satu tahun lagi dengan harapan pemerintahan transisi yang baru akan bisa memulihkan perdamaian. Pemerintahan transisi menghadapi banyak tantangan sulit, termasuk kondisi ekonomi yang buruk yang menjadi penyebab protes.
Perekonomian Sudan berantakan gara-gara perang sipil dan sanksi internasional. Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok menegaskan prioritas pemerintah untuk mewujudkan perdamaian dengan kelompok-kelompok bersenjata. Jika ini bisa terwujud, pemerintah akan bisa mengurangi anggaran militer yang saat ini menghabiskan sekitar 80 persen dari total anggaran negara. (AP)