Demo di AS Masuki Hari Ke-11, Wali Kota-Gubernur Umumkan Reformasi Kepolisian
Unjuk rasa antirasialisme di AS untuk memprotes tewasnya George Floyd memasuki hari ke-11. Sejumlah wali kota dan gubernur dari kalangan Demokrat ikut menyuarakan tuntutan pengunjuk rasa, termasuk reformasi kepolisian.
Oleh
KRIS MADA & MH SAMSUL HADI
·5 menit baca
WASHINGTON, SABTU — Sejumlah politisi terkemuka Demokrat yang menjabat wali kota atau gubernur, Jumat (5/6/2020) waktu setempat atau Sabtu dini hari WIB, ikut menyuarakan isu yang diusung para pengunjuk rasa antirasialisme di Amerika Serikat. Mereka juga mengumumkan langkah-langkah untuk mereformasi kepolisian AS.
Wali Kota Washington Muriel Bowser mengizinkan tulisan besar berbunyi ”Black Lives Matter”, slogan para pengunjuk rasa, digoreskan dalam huruf besar berwarna kuning di sebuah ruas jalan menuju Gedung Putih, kantor dan kediaman Presiden AS Donald Trump. Bowser berselisih pandangan dengan Trump soal cara penanganan terhadap para pengunjuk rasa.
Gubernur California Gavin Newsom menegaskan bahwa dirinya akan melarang badan pelatihan polisi di negara bagian yang dipimpinnya mengajarkan teknik bertahan. Teknik bertahan, yang kadang-kadang disebut ”menekan orang tidur”, itu dilakukan dengan cara termasuk menekan pembuluh nadi kepala di leher.
Di New York, Gubernur Andrew Cuomo mengungkapkan, negara bagian yang dipimpinnya harus memimpin upaya meloloskan reformasi kepolisian bertajuk ”Say Their Name”. Salah satu bagian dari reformasi itu adalah membuat rekam jejak masalah pelanggaran polisi bisa diketahui warga dan melarang tindakan menekan leher dalam penanganan oleh aparat kepolisian.
”Pembunuhan Floyd adalah titik balik,” ujar Cuomo, yang juga seorang Demokrat, melalui pernyataan tertulis. ”Warga berkata ’Cukup sudah’, kita harus berubah.”
Para aktivisi gerakan Black Lives Matter juga menyerukan pembekuan dana departemen kepolisian. Wali Kota Los Angeles Eric Garcetti, seorang Demokrat yang pada April lalu sempat mengusulkan peningkatan dana untuk penegakan hukum, pada pekan ini menarik kembali usulannya. Ia mengatakan, pihaknya akan mengajukan pemotongan anggaran 150 juta dollar AS bagi Departemen Kepolisian Los Angeles (LAPD).
Unjuk rasa di AS pada hari Jumat kemarin memasuki hari ke-11. Unjuk rasa berlangsung di sejumlah wilayah, seperti Atlanta, Los Angeles, Minneapolis, Miami, New York, Denver, dan Detroit. Di ibu kota Washington DC, unjuk rasa berlangsung di depan Gedung Putih di tengah guyuran hujan. Secara keseluruhan, unjuk rasa berlangsung damai.
Gelombang unjuk rasa mengguncang AS terkait tewasnya George Floyd (46), warga kulit hitam, akibat tindakan seorang polisi kulit putih menekankan dengkul selama hampir sembilan menit pada leher Floyd yang terkapar di jalan. Para kepala daerah dari kalangan Demokrat mendesak dihentikannya tindakan polisi menekankan dengkul pada leher seseorang dalam menangani pelanggaran hukum.
Insiden kekerasan
Di tengah gelombang unjuk rasa atas kekerasan polisi di negara itu, sejumlah polisi di sana tetap mencelakai warga sipil. Korban terbaru adalah seorang pria berusia 75 tahun yang mengalami cedera di kepala setelah didorong dua polisi di Buffalo, salah satu kota di Negara Bagian New York, dekat Air Terjun Niagara.
Dalam rekaman yang beredar pada Kamis (4/6/2020) malam waktu New York atau Jumat pagi WIB terlihat seorang pria didorong dua polisi. Akibatnya, pria itu terjengkang dan dari belakang kepalanya keluar darah. Seorang polisi yang mencoba memeriksa pria tua itu dihalau oleh polisi lain.
Wali Kota Buffalo Byron Brown mengumumkan, penyelidikan telah dilakukan. Polisi yang mendorong pria itu dibebastugaskan. ”Korban dalam kondisi stabil, walau serius. Setelah berhari-hari protes damai dan ada pertemuan antara masyarakat dan saya serta pimpinan polisi, kejadian ini mengecewakan,” ujar Brown.
Insiden itu bukan satu-satunya kekerasan polisi terhadap pengunjuk rasa yang memprotes kekerasan berujung kematian George Floyd. Sejak rangkaian unjuk rasa dimulai pada Selasa pekan lalu, telah mencuat sejumlah laporan kekerasan oleh polisi.
Di Atlanta, seorang warga bernama Amber Jackson dipukul polisi. Insiden pada 29 Mei 2020 itu terekam kamera. Sebelumnya, dua polisi dibebastugaskan karena menyetrum dua mahasiswa. Insiden itu melibatkan empat polisi lain. Para polisi bernama Lonnie Hood, Willie Sauls, Ivory Streeter, Mark Gardner, Armond Jones, dan Roland Claud itu dijerat dengan dakwaan penyerangan dan perusakan milik orang lain.
Insiden itu terjadi kala Messiah Young dan Teniyah Pilgrim berada dalam mobil mereka. Awalnya, para pelaku meminta agar mereka bisa terus melaju. Belakangan, salah seorang polisi menghentikan, lalu membuka paksa mobil yang dikemudikan Young. Claud diketahui memecahkan kaca pintu mobil untuk menarik Pilgrim keluar.
Para polisi itu juga menyetrum dan memukuli kedua mahasiswa itu. Sebelum menyetrum dan memukuli Young, salah seorang polisi terekam menyatakan Young memegang pistol. Belakangan diketahui, Young tidak memiliki senjata apa pun.
Aparat AS juga diketahui menyerang ratusan jurnalis yang meliput rangkaian unjuk rasa itu. Sejumlah penyerangan terekam dalam siaran langsung televisi. Berkali-kali terlihat polisi sengaja mengarahkan senjata dan menembak jurnalis yang sedang melakukan siaran langsung di televisi. Ada juga yang memukuli peliput rangkaian unjuk rasa itu.
Musuhi rakyat
Untuk mengatasi kerusuhan, AS mengerahkan ratusan ribu polisi dan puluhan ribu tentara cadangan. Bahkan, Presiden AS Donald Trump ingin mengerahkan tentara aktif. Keinginan itu membutuhkan penetapan negara dalam keadaan bahaya karena ada pemberontakan bersenjata.
Mantan panglima AS di Afghanistan, Jenderal John Allen, mengecam Trump terkait keinginan itu. ”Daripada memperlakukan warga Amerika sebagai musuh, perlakukan warga sebagai masyarakat yang haknya dijamin konstitusi,” ujar Allen, sebagaimana dikutip CNN.
Ia mendesak pemerintah federal berhenti membahas pengerahan tentara untuk berhadapan dengan rakyat. Pemerintah federal, negara bagian, dan kota seharusnya bekerja sama melakukan reformasi yang telah lama dituntut.
Kecaman kepada Trump juga dilayangkan politisi kulit hitam asal Georgia, Stacey Abrams. Perempuan yang dikalahkan sekutu Trump dalam pemilihan gubernur Georgia itu juga mengajak warga menyalurkan emosi lewat pemilu tahun ini. ”Presiden AS pengecut, dia harus dikawal agar bisa menyeberang jalan,” ujarnya merujuk pada keputusan Trump berfoto di depan gereja dekat Gedung Putih.
Abrams mengakui tidak turun ke jalan. Ia memilih menggalang dana dan pengacara untuk membantu warga yang ditangkap selama rangkaian unjuk rasa. Ia juga mengatakan, aksi di jalan-jalan saat ini adalah momentum kepemimpinan anak muda dan tidak boleh diambil oleh warga yang lebih senior seperti dirinya.
Ia menyebut, memberi suara di pemilu adalah penyembuh untuk banyak penyakit. ”Bangsa kita sakit oleh rasisme dan sistem yang tidak adil. Butuh disembuhkan. Akan tetapi, pengobatannya tidak bisa singkat dan butuh banyak perawatan. Memilih adalah salah satu cara pengobatannya,” tutur pengacara yang pernah jadi anggota DPRD Georgia itu. (AP/REUTERS)