Unjuk rasa memprotes kasus tewasnya George Floyd terus bergulir di Amerika Serikat. Selain terus menggulirkan penghapusan rasialisme di negara itu, seruan dalam unjuk rasa juga menuntut pembenahan mendasar
Oleh
Kris Mada/M Samsul Hadi
·3 menit baca
WASHINGTON, SABTU— Unjuk rasa memprotes kasus tewasnya George Floyd terus bergulir di Amerika Serikat. Selain terus menggulirkan penghapusan rasialisme di negara itu, seruan dalam unjuk rasa juga menuntut pembenahan mendasar di tubuh kepolisian AS, termasuk dalam penanganan orang yang diduga melanggar hukum. Seruan ini langsung ditindaklanjuti dengan beberapa langkah konkret.
Seorang hakim federal di Denver memerintahkan kepolisian di kota itu menghentikan penggunaan gas air mata, peluru karet, dan perlengkapan-perlengkapan lain meski dinilai ”kurang mematikan”. Keputusan itu dikeluarkan dengan mempertimbangkan contoh-contoh kasus terlukanya para pengunjuk rasa dan wartawan akibat tindakan polisi.
”Ini adalah demonstrasi-demonstrasi damai. Para jurnalis dan tenaga medis juga menjadi target tindakan ekstrem,” tulis R Brooke Jackson, hakim distrik AS, dalam putusannya, Jumat (5/6/2020).
Putusan sementara itu menjawab gugatan hukum setempat yang diajukan empat aktivis di Pengadilan Distrik Denver, Kamis (4/6), terhadap tindakan ekstrem aparat kepolisian terhadap para pengunjuk yang memprotes tewasnya Floyd.
Gelombang unjuk rasa terus mengguncang AS menyusul tewasnya Floyd (46), warga kulit hitam, akibat tindakan polisi menekankan dengkul selama hampir sembilan menit pada leher Floyd yang terkapar di jalan, 25 Mei lalu.
Sejumlah kepala daerah yang berlatar belakang politisi dari Demokrat juga mengumumkan langkah upaya mereformasi kepolisian AS. Gubernur California Gavin Newsom menegaskan bahwa dirinya akan melarang badan pelatihan polisi di negara bagian yang dipimpinnya mengajarkan teknik bertahan seperti dilakukan polisi terhadap Floyd.
Di New York, Gubernur Andrew Cuomo mengungkapkan, negara bagian yang dipimpinnya harus meloloskan reformasi kepolisian bertajuk ”Say Their Name”. Salah satu bagian dari reformasi itu adalah membuat rekam jejak pelanggaran polisi bisa diketahui warga dan melarang tindakan menekan leher dalam tindakan penanganan aparat.
”Terbunuhnya Floyd adalah titik balik,” ujar Cuomo, yang juga seorang Demokrat, melalui pernyataan tertulis. ”Warga berkata ’cukup sudah’, kita harus berubah,” tulisnya lagi.
Para aktivis gerakan Black Lives Matter juga menyerukan pembekuan dana departemen kepolisian. Wali Kota Los Angeles Eric Garcetti, seorang Demokrat, yang pada April lalu mengusulkan peningkatan dana untuk penegakan hukum, minggu ini menarik kembali usulannya. Ia mengatakan, pihaknya akan mengajukan pemotongan anggaran 150 juta dollar AS bagi Departemen Kepolisian Los Angeles.
Unjuk rasa antirasialisme di AS berlangsung 11 hari. Unjuk rasa serupa digelar di banyak negara di dunia sehingga kasus pembunuhan Floyd ini menjadi isu global. Namun, di tengah sorotan tajam atas tindakannya, polisi di AS masih menggunakan kekerasan dan mencelakai warga sipil selama unjuk rasa berlangsung.
Korban terbaru adalah seorang pria berusia 75 tahun yang cedera di kepala setelah didorong dua polisi di Buffalo, salah satu kota di Negara Bagian New York, dekat Air Terjun Niagara.
Dalam rekaman yang beredar pada Kamis (4/6) malam waktu New York atau Jumat pagi WIB, terlihat seorang pria didorong dua polisi. Akibatnya, pria itu terjengkang dan dari belakang kepalanya keluar darah. Seorang polisi yang mencoba memeriksa pria tua itu dihalau oleh polisi lain.
Wali Kota Buffalo Byron Brown mengumumkan, penyelidikan telah dilakukan. Polisi yang mendorong pria itu dibebastugaskan. ”Setelah berhari-hari protes damai dan ada pertemuan antara masyarakat dan saya beserta pimpinan polisi. Kejadian ini sangat mengecewakan,” ujar Brown.
Di Atlanta, seorang warga, Amber Jackson juga dipukul polisi. Insiden 29 Mei 2020 itu terekam kamera. Sebelumnya, dua polisi dibebastugaskan karena menyetrum dua mahasiswa dalam insiden yang melibatkan empat polisi lain.
Menurut rencana, unjuk rasa akan kembali digelar pada Sabtu waktu setempat atau Minggu WIB. Sejumlah aktivis, melalui media sosial, mengatakan, unjuk rasa di ibu kota Washington DC akan diikuti sejuta orang meski media massa setempat memperkirakan unjuk rasa bakal diikuti puluhan ribu orang.