Warga Kulit Hitam AS Alami Marginalisasi Ekonomi dari Generasi ke Generasi
Persoalan upah lebih rendah, nilai properti yang dihargai lebih murah, hingga waktu perjalanan dari rumah ke tempat kerja yang lebih panjang bagi warga kulit hitam menjadi salah satu potret gambaran ketidaksetaraan itu.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
Perlakuan ketidaksetaraan yang dihadapi warga Amerika Serikat keturunan Afrika tak hanya berkaitan dengan persoalan tindak kekerasan dalam interaksi mereka dengan aparat kepolisian. Lebih dari hal itu, persoalan ketidaksetaraan warga kulit hitam di negara tersebut berlangsung sejak lama, terpatri melalui marginalisasi ekonomi dari generasi ke generasi.
Dari persoalan upah yang lebih rendah, nilai properti yang dihargai lebih murah hingga waktu perjalanan dari rumah ke tempat kerja yang lebih panjang bagi warga kulit hitam menjadi salah satu potret gambaran ketidaksetaraan itu. Belakangan ini, pandemi Covid-19 pun memberi tekanan lebih keras bagi kehidupan warga Afrika-Amerika.
Pusat kota Washington DC bersinar dengan aneka tanda kekayaan dan kemakmuran. Justin Monroe (25), warga AS keturunan Afrika, mengaku tidak ikut merasakan kemakmuran itu. “(Kemakmuran) itu bukan untuk orang-orang tertentu. Bukan untuk banyak orang tertentu,” kata dia. "Kami tidak bisa menghasilkan uang itu. Mereka tidak ingin kami menghasilkan uang itu."
Monroe tinggal di salah satu permukiman di ibu kota negara tersebut. Tempat tinggalnya dipisahkan oleh sungai dari kantor-kantor bisnis atas dan gedung-gedung pemerintah di tengah kota. Ia sebelumnya bekerja sebagai seorang juru masak restoran. Namun, belum lama ini ia kehilangan pekerjaannya akibat kebijakan penutupan wilayah selama pandemi Covid-19.
Pembunuhan polisi terhadap George Floyd (46), warga kulit hitam di Minneapolis, Negara Bagian Minnesota, 25 Mei lalu, menyebabkan gelombang raksasa beragam protes di hampir seluruh wilayah AS. Unjuk rasa masih berlangsung hingga Jumat (5/6/2020) atau hari ke-11. Para pengunjuk rasa menyerukan diakhirinya kekerasan terhadap orang Amerika-Afrika.
Beberapa studi dan penelitian menunjukkan, warga kulit hitam di AS menghadapi risiko kematian yang tinggi di tangan aparat penegak hukum. Monroe memandang kekerasan polisi yang memicu protes nasional di AS sudah menjadi norma bagi warga kulit hitam di negaranya. "Aku tidak suka mereka," kata Monroe tentang polisi. "Aku tidak suka melihat banyak rekan yang sama ras denganku ditembak polisi."
Peminggiran ekonomi
Data menunjukkan, struktur ekonomi AS sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia ini cenderung meminggirkan orang kulit hitam. Hal itu, antara lain, terwakili dalam angka tingkat pengangguran. Data Departemen Tenaga Kerja AS mencatat penurunan tingkat pengangguan secara keseluruhan menjadi 13,4 persen pada bulan Mei 2020, tetapi ada sedikit peningkatan menjadi 16,8 persen bagi warga Amerika-Afrika.
"Orang Amerika-Afrika selalu menjadi bagian penuh dalam ekonomi AS, namun mereka bukan penerima (hak) penuh,” kata Nicole Smith, kepala ekonom pada Pusat Pendidikan dan Tenaga Kerja Universitas Georgetown.
Sebelum Floyd meninggal di bawah lutut seorang perwira polisi kulit putih di kota Minneapolis, 25 Mei lalu, pandemi Covid-19 telah merenggut korban besar di AS. Covid-19 dilaporkan telah menewaskan lebih dari 106.000 orang. Sebanyak 42 juta orang harus menelan pil pahit kehilangan pekerjaan mereka akibat pandemi mematikan itu.
Pandemi Covid-19, bahkan, juga menghasilkan efek yang "diskriminatif" pula. Warga kulit hitam di AS menyumbang 13,4 persen dari populasi di negara itu, namun kematian akibat Covid-19 yang menimpa warga Amerika-Afrika mencapai 22,9 persen.
Tingkat kemiskinan warga kulit hitam di AS dua setengah kali lebih tinggi dibanding warga kulit putih di negara itu.
Secara umum perekonomian di AS terlihat tidak berpihak pada warga Amerika-Afrika. Kajian lembaga think-thank Lembaga Kebijakan Ekonomi menunjukkan warga Amerika-Afrika hanya cukup menghasilkan 73 sen untuk setiap dollar AS yang diperoleh oleh orang kulit putih Amerika. Tingkat kemiskinan warga kulit hitam pun dua setengah kali lebih tinggi dibanding warga kulit putih.
Kesenjangan di AS juga begitu luas. The Federal Reserve (The Fed) Cleveland menghitung pada tahun lalu bahwa kekayaan rata-rata rumah tangga kulit putih di AS adalah sekitar 6,5 kali lebih banyak daripada rumah tangga warga kulit hitam. Kondisi itu relatif sama dengan potret kondisi pada tahun 1962.
Dalam skenario optimistis, sebagian besar warga Amerika kulit hitam akan mengejar ketinggalan dalam waktu 200 tahun. Namun, karena pandemi Covid-19, ekonom senior The Fed Cleveland Dionissi Aliprantis memperingatkan dalam sebuah wawancara bahwa "sebagian besar potret-potret kesenjangan akan tumbuh.” Waktu untuk mengejar ketertinggalan itu pun dikhawatirkan lebih lama ditempuh oleh warga kulit hitam.
Masa perbudakan telah dihapuskan di AS pada pertengahan abad ke-19. Namun, praktik penerapan hukum dan praktik rasis lainnya yang memisahkan warga kulit hitam Amerika di lingkungan tertentu dan merampas akses mereka pada layanan-layanan keuangan masih terus berlangsung. Hal itu ikut memicu ketidakadilan dan terus menghantui kota-kota di AS.
Di AS, mungkin seperti di negara-negara lain, kepemilikan rumah merupakan salah satu kunci untuk membangun kekayaan antargenerasi. Namun, sebuah studi di lembaga Brookings Institution tahun 2018 menemukan bahwa rumah-rumah di lingkungan yang separuhnya dihuni oleh warga kulit hitam dihargai 50 persen lebih rendah daripada rumah-rumah di ingkungan yang tidak ada penghuni warga kulit hitam.
Orang Amerika-Afrika juga membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai ke lokasi bekerja daripada kelompok lain mana pun. Hal itu termuat dalam sebuah studi University of Chicago tahun 2014. Studi ini menemukan, kebanyakan warga kulit hitam di AS tinggal di lingkungan dengan pekerjaan yang lebih sedikit dan jaringan transportasi yang lebih buruk. Akibatnya, waktu tempuh mereka ke lokasi pekerjaan pun lebih lama dibandingkan warga kelompok lain.
Bahkan, menurut sebuah penelitian pada tahun 2016 oleh para peneliti University of Toronto dan Stanford University, identitas kulit hitam dapat mempersulit pemiliknya. Orang Amerika-Afrika yang berusaha menyembunyikan ras mereka pada resume mereka akan dihubungi oleh atasan mereka lebih dari dua kali lipat dibanding mereka yang tak berupaya menyembunyikannya.
"Saya jelas dirugikan, baru keluar dari perguruan tinggi dan menjadi minoritas," kata Emmanuel Sanchez, seorang siswa kulit hitam yang segera mengakhiri masa studinya dan hari-hari terakhir ini ikut berunjuk rasa memprotes tewasnya George Floyd di luar Gedung Putih, Washington DC.
Sejumlah undang-undang federal melarang diskriminasi terbuka. Namun, banyak orang AS kulit hitam mengatakan, mereka merasakan adanya bias dalam kehidupan sehari-hari. "Menjadi laki-laki Amerika-Afrika, saya harus memberikan kompensasi yang berlebih untuk banyak hal agar setara di masyarakat," kata Devyn Brown, yang belum lama ini di-PHK dari pekerjaan di sebuah perusahaan telekomunikasi di San Diego karena pandemi Covid-19.
Nicole Smith dari Pusat Pendidikan dan Tenaga Kerja Universitas Georgetown. Smith mengatakan, aneka kesenjangan telah menguras potensi ekonomi suatu wilayah atau negara. Dia menunjuk penelitiannya yang menunjukkan bahwa pendapatan orang kulit hitam di Amerika bisa mencapai lebih tinggi 186 miliar dollar AS jika tingkat pendidikan mereka sama dengan kulit putih yang berpenghasilan tinggi.
"Ini merupakan serangkaian rasisme sistematis yang benar-benar membawa kita ke dalam situasi kita hari ini," kata Smith. (AFP)