Warga Melengserkan Wali Kota Kaohsiung, Loyalis China di Taiwan
Mayoritas pemilik hak suara di Kota Kaohsiung, Taiwan, menari kembali suara dukungan mereka terhadap Hang Kuo-yu sebagai wali kota. Warga menilai Han sebagai pengkhianat rakyat karena kedekatannya dengan China.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
TAIPEI, MINGGU – Han Kuo-yu, Wali Kota Kaohsiung di Taiwan, yang baru 18 bulan berkuasa sejak Desember 2018, dilengserkan warga dalam sebuah pemungutan suara pada Sabtu (6/6/2020). Sebanyak 97 persen pemilih tetap mendukung gerakan pelengseran tokoh pro-China di Taiwan dari kursi wali kota.
Upaya pelengseran Han digagas gerakan bernama “WeCare Kaohsiung” (Kami Peduli Kaohsiun). Gerakan ini menuduh Han mengkhianati penduduk kota dan memenangkan posisi wali kota pada 2018 karena didukung media pro-China.
Pada saat kampanye Pilpres Taiwan 2019, Han dalam setiap kampanye menggunakan isu untuk mendukung China daratan. Fakta itu juga membuat dia kehilangan suara dukungan pada pemungutan suara Pilpres Taiwan pada 11 Januari 2020, yang dimenangkan oleh Tsai Ing-wen, presiden petahana.
Sebenarnya untuk melengserkan Han kali ini dibutuhkan hanya 25 persen dukungan atau setara dengan 574.996 suara dari total sekitar 2,3 juta warga yang memiliki hak suara. Di luar dugaan, 97 persen pemilih tetap justru mendukung pelengseran Han. Hanya 22.000 pemilih yang menolak pelengseran itu.
“Ini adalah pemungutan suara yang tidak adil,” kata Han, seusai pemungutan suara.
Sementara, Partai Kuomintang, partai pendukung Han, menerima dan menghormati hasil tersebut. "Kami tidak memahami dengan baik kehangatan warga Kaohsiung, dan kami tidak menanggapi harapan rakyat Kaohsiung dengan baik," kata Ketua Partai Kuomintang, Chiang.
Komisi Pemilihan Taiwan masih memerlukan waktu sekitar sepekan untuk memvalidasi dan menyetujui hasil pemungutan suara itu. Setelah itu Han akan diberhentikan dan pemilihan wali kota yang baru akan dilaksanakan dalam waktu tiga bulan. Han tidak boleh mencalonkan diri lagi.
Partai Demokratik Progresif menyatakan, pemungutan suara untuk melengserkan Han itu membuktikan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat. Mereka juga menyatakan hasil pemungutan suara itu menjadi tonggak sejarah penting dalam perkembangan demokrasi di Taiwan.
Isu China saat pilpres
Pelengseran Han dari kursi wali kota, setelah memenangkan pemilihan pada November 2018, tidak terlepas dari ketidakpuasan sejumlah warga atas kepemimpinannya di kota tersebut.
Tidak hanya itu, Han, yang juga mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilihan Januari lalu, melawan Tsai Ing-wen – kandidat dari Partai Demokratik Progresif – memainkan isu pro-china sebagai alas kampanye pilpresnya.
Gerakan “WeCare Kaohsiung” (Kami Peduli Kaohsiun) sebagai pelopor terselenggaranya pemungutan suara untuk melengserkan Han dari wali kota. Mereka menuduh Han mengkhianati penduduk kota yang sudah memilihnya pada November 2018.
Dia dilaporkan telah mengambil cuti selama berbulan-bulan dalam proses pecalonan dan kampanye Pilpres 2019 menjelang Pilres Januari 2020. Pengambilan cuti itu sendiri dilakukan ketika Han belum setahun menjalankan tugasnya sebagai wali kota.
Kelompok itu berpendapat bahwa Han telah memenangkan pemilihannya di Kaohsiung dengan dukungan media pro-China dan membuatnya semakin kehilangan dukungan warga Kaohsiung.
Han juga dinilai gagal menyelesaikan masalah kota dan telah membuat pernyataan yang telah merusak citranya ketika masa kampanye pilpres.
Menurut The South China Morning Post, Aaron Yi, pendiri gerakan WeCare Kaohsiung telah mengatakan, Han harus mundur karena dia gagal menepati janjinya ketika terpilih sebagai wali kota.
“Dia telah mengkhianati warga [Kaohsiung] karena gagal menepati janji kampanyenya bahwa dia akan tetap tinggal di kota jika terpilih sebagai walikota,” kata Yi. Kelompok ini juga menilai Han gagal memenuhi komitmennya untuk mengembangkan kota dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat Kaohsiung.
Setelah mengumumkan dirinya mencalonkan diri sebagai presiden, dikutip dari situs The Diplomat, hasil sebuah jajak pendapat awal menunjukkan Han unggul hampir 30 poin atas pesaingnya Tsai Ing-wen.
Keunggulan itu menambah keyakinan Han dan partai pendukungnya, Kuomintang, yang mencoba menggeser kebijakannya dengan mendekatkan diri ke China.
Hal itu semakin jelas ketika di dalam debat calon presiden pada Desember 2019, Han meneriakkan slogan “Panjang Umur Republik Rakyat China”.
Selama kampanye, Han sering digambarkan sebagai "Trump-nya Taiwan, karena berkampanye sebagai pengusaha yang anti-intelektual, anti-elit dan terus mendorong pemilih untuk berbalik arah dengan politisi arus utama.
Namun pada akhirnya, popularitasnya goyah dan jajak pendapat berayun ke arah lain, yang mengarah ke kemenangan Tsai pada Januari 2020. Kini, warga Kaohsiung pun melengserkannya sebagai wali kota.
Ketidaksetujuan Taiwan yang kuat terhadap tindakan keras terhadap pengunjuk rasa pro-demokrasi di wilayah Cina semi-otonom di Hong Kong dan pertanyaan tentang bagaimana Han memperoleh properti mahal dengan gaji pegawai negeri yang sederhana juga membantu Tsai untuk kemenangan besar.
Wang Kung-yi, profesor ilmu politik di Universitas Kebudayaan China di Taiwan mengatakan, dengan hasil itu warga Kaohsiung ingin memberikan sinyal pada pemerintah Beijing bahwa mereka tidak menyukai kebijakan-kebijakannya terhadap warga yang setujuh hidup dalam lingkungan pro-demokrasi.
“Pemilih sebenarnya bermaksud menggunakan suara mereka untuk memberi tahu Beijing bahwa mereka semakin membenci tindakan politik Pemerintah China daratan yang semakin menancapkan kukunya ke ke Hong Kong dan ancaman militer yang terus-menerus dan tekanan diplomatik terhadap Taiwan," kata Wang. (AFP/AP/REUTERS)