China bersikap semakin tegas terhadap Hong Kong, yang antara lain ditandai dengan pengesahan UU Keamanan Hong Kong oleh parlemen pusat. Hal ini terjadi berbarengan dengan kebangkitan luar biasa ekonomi China.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Unjuk rasa di Hong Kong kini diarahkan langsung ke pemerintah pusat China. Perkembangan itu memunculkan pertanyaan tentang wajah masa depan Hong Kong.
Seperti telah diberitakan harian ini, warga Hong Kong kembali berunjuk rasa, Jumat (5/6/2020). Dalam demonstrasi, ada spanduk-spanduk menyuarakan kemerdekaan.
Demontrasi bukan barang baru di Hong Kong. Pada tahun lalu, demonstrasi berlangsung berbulan-bulan. Unjuk rasa pada 2019 dipicu penolakan aktivis terhadap usulan UU Ekstradisi oleh pemerintah Hong Kong, yang memungkinkan pelanggar hukum di wilayah itu diekstradisi ke China daratan. RUU Ekstradisi dinilai mengancam kebebasan di Hong Kong karena bisa digunakan untuk menekan aktivis prodemokrasi.
Saat itu, demonstrasi diarahkan kepada lembaga legislatif setempat: menekan mereka agar tak memproses usulan pemerintah lokal. RUU Ekstradisi pun akhirnya dicabut.
Namun, sejumlah unjuk rasa tahun ini diarahkan langsung kepada otoritas pusat. Mereka mengkritik Beijing, terutama terkait pengesahan UU Keamanan Hong Kong oleh parlemen pusat, bukan parlemen lokal. China berargumen, UU Keamanan adalah mandat konstitusi Hong Kong yang belum terwujud. Menurut konstitusi ini, Hong Kong perlu memiliki UU Keamanan yang melarang aktivitas antipemerintah, pengkhianatan, dan separatisme. Bagi Beijing, legislasi untuk Hong Kong berhak dijalankannya tanpa lewat parlemen lokal.
Dalam kondisi itulah, demontrasi warga pada pekan lalu dapat dipahami sebagai kekhawatiran terhadap Beijing karena dinilai mengabaikan prinsip “satu negara, dua sistem” yang disetujui China dan Inggris menjelang penyerahan kembali Hong Kong tahun 1997. Dengan prinsip itu, Beijing menjamin warga Hong Kong menikmati kebebasan lebih besar. Warga Hong Kong juga memiliki hukum dan peradilan independen.
Dengan prinsip itu, Beijing menjamin warga Hong Kong menikmati kebebasan lebih besar.
Barat mengkritik pengesahan UU Keamanan Hong Kong. Bahkan, Amerika Serikat bersiap menerapkan sanksi terhadap pejabat China dan mencabut keistimewaan Hong Kong dalam perdagangan dengan AS.
Akan tetapi, tampak saat demonstrasi memanas pada tahun lalu, Beijing menegaskan sikapnya menghormati ”satu negara, dua sistem”. Media China, Global Times, menulis, kekhasan Hong Kong sebagai penghubung budaya serta ekonomi antara Timur dan Barat terus dijaga Beijing. Kekhasan ini diyakini tak hanya menguntungkan Hong Kong, tapi juga wilayah Asia-Pasifik, termasuk AS.
Di sisi lain, Beijing menaruh perhatian besar pada ketertiban dan integrasi wilayah. Dengan kata lain, bagi Beijing, Hong Kong harus tetap khas (“satu negara, dua sistem”) tetapi tak memberi ruang bagi separatisme.
Hal yang menarik, “sikap tegas” Beijing yang antara lain ditandai dengan pengesahan UU Keamanan oleh otoritas pusat, baru terjadi sekarang, tidak pada tahun 2003, saat UU Keamanan juga coba digagas tetapi akhirnya ditunda. Di tengah kebangkitan ekonominya yang luar biasa, China tampak kini jauh lebih percaya diri. Wajah masa depan Hong Kong pun pelan-pelan mulai tergambar.