Efektivitas Masker sebagai Senjata Penangkal Covid-19
Salah satu kebiasaan yang perlu dilakukan di masa pandemi Covid-19 ini adalah menggunakan masker untuk mencegah tertular virus korona. Sebenarnya, seberapa efektifkah penggunaan masker itu?
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Perang melawan virus korona tipe baru belum berakhir. Setelah kebijakan pembatasan di sejumlah negara dilonggarkan, kini kita hidup berdampingan bersama virus penyebab Covid-19 yang sebagian tinggal di antara orang-orang positif tanpa gejala. Artinya, risiko untuk tertular tetap besar.
Ibarat pertempuran, setiap individu di masyarakat memiliki beberapa strategi untuk menangkal Covid-19 sesuai anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Strategi itu, antara lain, menjaga jarak fisik minimal 1 meter, memakai masker, sering mencuci tangan pakai sabun dengan air mengalir atau membersihkan tangan memakai hand sanitizer, menutup mulut dan hidung saat bersin, serta menghindari menyentuh wajah.
Salah satu perubahan yang bisa kita saksikan sehari-hari di era pandemi ini adalah semakin banyaknya orang yang memakai masker selama beraktivitas di luar rumah sehari-hari. Masker menjadi salah satu ”senjata” kita untuk menangkal virus korona.
Sebenarnya, seberapa efektifkah penggunaan masker untuk mencegah penularan Covid-19?
Untuk menjawab itu, Derek Chu, ilmuwan dari McMaster University di Ontario, Kanada, memimpin studi metaanalisis terhadap 44 riset yang melibatkan 25.000 orang atau partisipan di 16 negara. Hasil studi Chu ini sudah dipublikasi di jurnal kesehatan The Lancet, 1 Juni 2020.
Hasilnya, peluang tertular jika kita memakai masker wajah hanya 3 persen. Sementara jika tidak menggunakan masker, peluang kita tertular sebesar 17 persen.
Penggunaan masker baru akan efektif jika dikombinasikan dengan tindakan pencegahan lain secara komprehensif, seperti jaga jarak, sering cuci tangan, dan tidak menyentuh wajah.
Adapun jaga jarak dari orang lain minimal 1 meter bisa menurunkan risiko tertular hingga 3 persen. Sementara jaga jarak kurang dari 1 meter risiko tertular 13 persen. Untuk setiap penambahan jarak 1 meter, risiko tertular virus korona berkurang setengahnya.
”Meski jaga jarak, masker, dan pelindung mata masing-masing memberikan perlindungan, tidak ada yang membuat seseorang benar-benar kebal (dari Covid-19),” ujar Chu seperti dikutip Livescience, Selasa (2/6/2020).
WHO juga mengingatkan bahwa penggunaan masker saja tidaklah cukup untuk mencegah tertular Covid-19. Penggunaan masker baru akan efektif jika dikombinasikan dengan tindakan pencegahan lain secara komprehensif, seperti jaga jarak, sering cuci tangan, dan tidak menyentuh wajah.
Covid-19 yang terus menyebar luas dan tingginya kasus positif tanpa gejala WHO pun kemudian memberikan panduan terbaru penggunaan masker oleh masyarakat umum.
Berdasarkan panduan terbaru WHO itu, masyarakat yang berada di daerah dengan penyebaran Covid-19 yang luas dianjurkan untuk memakai masker kain tiga lapis ketika berada di tempat umum jika jaga jarak tidak memungkinkan dilakukan.
Selain itu, lansia, orang dengan masalah kesehatan, juga tenaga medis tanpa kecuali dianjurkan harus memakai masker medis.
”Memakai masker setiap hari sebelum pergi keluar rumah ibarat ritual. Itu seperti memakai seragam. Perilaku kita pun harus sejalan dengan tujuan penggunaan masker, yaitu menerapkan perilaku yang higienis. Perilaku lainnya yang perlu dipraktikkan adalah tidak menyentuh wajah, menghindari kerumunan, dan menjaga jarak,” kata Donald Low, profesor dari Hong Kong University of Science and Technology, seperti dikutip BBC, 12 Mei 2020.
Bahan apa saja yang direkomendasikan untuk membuat masker?
WHO terus mendorong penelitian soal masker. Penelitian terbaru mengidentifikasi bahan-bahan inilah yang dinilai baik untuk membuat masker nonmedis tiga lapis.
Untuk lapisan paling dalam bisa menggunakan bahan yang bisa menyerap, seperti katun. Lapisan di tengah bisa memakai kain nonwoven (bukan anyaman) ,seperti polypropylene. Sementara lapisan terluar bisa memakai kain yang tidak menyerap, seperti polyester.
Masker nonmedis seperti itu bisa dibuat sendiri di rumah. Yang terpenting adalah masker bisa menutup hidung, mulut, dan dagu sekaligus.
Sejak pandemi Covid-19, banyak negara yang mewajibkan warganya untuk memakai masker ketika berada di tempat umum. The Economist memberikan contoh, warga Paris, Perancis, misalnya, yang wajib memakai masker ketika menggunakan transportasi publik. Jika tidak, ancamannya denda 150 dollar AS.
Di beberapa wilayah di China, seseorang yang tidak memakai masker bisa ditangkap dan dihukum. Adapun di Singapura, penggunaan masker di tempat umum kini wajib. Jika tidak memakai masker, mereka akan dikenai denda 210 dollar AS.
Namun, lain halnya dengan di Inggris yang sekitar sepertiga warganya memakai masker ketika menggunakan transportasi umum. Begitu juga dengan di Amerika Serikat. Ada negara bagian yang mewajibkan warganya memakai masker dan ada yang tidak.
Bahkan, di AS, penggunaan masker dibawa ke ranah kebebasan individu. Argumentasinya, mewajibkan pemakaian masker melanggar kebebasan sipil.
Namun, di negara-negara Asia Timur yang dinilai berhasil mengendalikan Covid-19, seperti Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, juga Jepang, penggunaan masker sudah menjadi kebiasaan sebelum pandemi terjadi.
Tidak sekadar untuk melindungi dari debu dan udara kotor, warga di Asia Timur terbiasa memakai masker ketika sakit mencegahnya menulari orang lain.
Kebiasaan itu juga didapat dari kejadian wabah sindrom pernapasan akut parah (SARS) yang melanda tahun 2003. Pengalaman Asia Timur dengan SARS membuat penduduk di sana menjadi terbiasa memakai masker dan kebiasaan ini sangat membantu dalam mencegah penyebaran Covid-19.