AS mengeluarkan Penyeimbangan Ulang Pasifik sebagai tanggapan atas kebangkitan kekuatan China. Sekeras apa pun silang pendapatnya, neraca dagang mereka tetap bernilai hingga ratusan miliar dollar AS per tahun.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
Selain Rusia, China kini adalah negara yang paling serius diperhatikan Amerika Serikat. Walakin, sesengit apa pun Washington berseteru dengan Beijing, AS dan China saling membutuhkan. Begitu pula negara-negara yang memilih posisi di seberang China. Persaingan geopolitik seolah berada di ranah yang berbeda dari hubungan mereka di bidang ekonomi atau perdagangan.
Keseriusan AS pada China, antara lain, ditunjukkan lewat perubahan doktrin pertahanan. Pada masa Presiden Barack Obama, AS mengeluarkan doktrin Penyeimbangan Ulang Pasifik sebagai tanggapan atas kebangkitan kekuatan China di kawasan. Di masa Presiden Donald Trump, Washington memaknai konsep Indo-Pasifik sebagai cara menghadang laju perkembangan kekuatan China. AS juga secara terbuka menyokong dan menggandeng pihak-pihak yang keras terhadap China, yang kerap dilambangkan sebagai naga itu. Australia, Vietnam, dan Taiwan masuk dalam urutan teratas daftar itu.
Dengan Taipei, ketegangan terutama terjadi karena Beijing berkeras menegaskan bahwa Taiwan bagian tidak terpisahkan dari China. Ketegangan dengan Hanoi juga meningkat karena sengketa di Laut China Selatan. Adapun dengan Australia, China marah gara-gara sikap Canberra soal pandemi Covid-19 dan Hong Kong.
Namun, sekeras apa pun silang pendapat negara-negara itu, neraca dagang mereka tetap bernilai hingga ratusan miliar dollar AS per tahun. Versi Beijing, impor China dari Taiwan mencapai 172 miliar dollar AS pada 2019. Pada periode yang sama, impor China dari Australia bernilai 119 miliar dollar AS dan dari Vietnam 64 miliar dollar AS. Ekspor masing-masing negara itu jauh lebih besar dibandingkan dengan ekspor Indonesia ke China.
Memang Canberra, Hanoi, dan Taipei melaporkan nilai total impor China lebih kecil dari versi Beijing. Walakin, neraca masing-masing menunjukkan hal yang sama: China menyerap 30 persen impor mereka.
Washington malah menanggung dampak lebih besar lagi, yakni 5,8 miliar dollar AS. Pabrik di AS kehilangan aneka bahan baku industri yang biasanya dipasok China. Perusahaan-perusahaan di AS juga kehilangan pasar penting untuk aneka ekspor mereka selama China mengisolasi diri.
Reformasi ekonomi membuat China menjadi salah satu mata rantai penting dalam proses bisnis dan rantai pasok global masa kini. Hingga 20 persen dari rantai pasok global kiwari berasal dari China. Perlambatan—terlebih penghentian sementara selama isolasi—ekonomi China akan berdampak serius pada negara-negara yang perekonomiannya terhubung dengan China.
Posisi Indonesia
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri RI Siswo Pramono menyebut Indonesia perlu semakin menegaskan netralitasnya di tengah perseteruan AS-China yang semakin mengeras. Prinsip tidak memihak sudah didorong Indonesia sejak memelopori Gerakan Nonblok puluhan tahun lalu.
Berpihak kepada AS dan sekutunya atau ke China akan menutup peluang Indonesia mendapat manfaat optimum. Seburuk apa pun pendapat sebagian WNI atas Beijing, hal itu tidak bisa menutup fakta bahwa hingga 54 persen bahan baku obat Indonesia diimpor dari China. Beijing juga sumber aneka bahan baku pada banyak proses produksi di Indonesia.
Di sisi lain, Washington juga telah dan terus menanamkan investasi dan mengucurkan hibah miliaran dollar AS selama bertahun-tahun. AS telah menjajaki pemindahan sejumlah pabrik dari China ke Indonesia.
Perseteruan AS-China dan pandemi Covid-19 memicu relokasi itu. Pendek kata, dalam hal ini, membenci lalu mendukung salah satu di antara AS-China bukan pilihan.