Krisis Libya kini menyeret ketegangan baru antara Mesir dan Turki. Mesir berniat melakukan intervensi militer ke Libya setelah sekutunya, Tentara Nasional Libya, yang hendak merebut Tripoli, dipukul mundur oleh Turki.
Oleh
Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir
·3 menit baca
KAIRO, KOMPAS — Isu Libya kini makin memanas menyusul pernyataan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, Sabtu lalu, bahwa kota Sirte di Libya utara dan Al-Jufra di Libya tengah adalah garis merah bagi Mesir.
Pernyataan Sisi dikecam oleh Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) pimpinan Perdana Menteri Fayez al-Sarraj yang berpusat di Tripoli.
Jika diterabas pasukan GNA, itu jadi penentu bagi Mesir dalam mengirim pasukan militernya ke Libya. Dalam keterangan persnya, Senin (22/6/2020), di Tripoli, Sarraj mengatakan, Sisi melakukan provokasi dan mencampuri urusan domestik Libya. Pernyataan Sisi sebagai deklarasi perang.
Pesawat Turki, Minggu malam lalu, diberitakan mendarat di Bandara Misrata, kota yang terletak sekitar 200 km arah timur kota Tripoli. Sejumlah 129 militan bayaran diturunkan di sana dan akan diterjunkan dalam perang merebut kota Sirte mendatang. Misrata terletak sekitar 250 km barat Sirte.
Sarraj, didampingi sejumlah pejabat Libya, kemarin, mendadak menemui komandan Komando Afrika Amerika Serikat (Africom) Stephen J Townsend di kota Zuwara (102 km arah barat Tripoli), untuk membahas situasi Sirte dan Al-Jufra. Juga untuk membahas keberadaan militer Rusia dan Wagner, milisi bayaran Rusia, di Sirte dan Al-Jufra.
Africom adalah pihak pertama yang mendeteksi melalui rekaman satelit tentang ada gerakan konvoi pesawat tempur Rusia MiG-29 dan Sukhoi-24, akhir Mei lalu, dari Rusia ke pangkalan udara militer di kota Al-Jufra. Africom ketika itu bereaksi setelah melihat campur tangan langsung Rusia di dalam konflik Libya.
Al-Sarraj berharap Africom mendukung GNA dalam merebut kembali Sirte dan Al-Jufra. Stasiun televisi Alarabiya yang berbasis di Dubai memberitakan, parlemen Libya yang berkedudukan di kota Tobruk, Libya timur, segera menggelar sidang darurat untuk meminta secara resmi campur tangan Mesir di Libya untuk membendung ekspansi Turki.
Bulan sabit minyak
Sumber di Parlemen Libya menegaskan, Turki takkan bisa menguasai sumur-sumur minyak Libya, pemilik cadangan minyak terbesar Afrika yang mencapai 46,4 miliar barel. Sebelum revolusi Libya pada 2011, negara berpenduduk sekitar 6 juta jiwa itu memproduksi 1.65 juta barel per hari.
Sumur dan sekaligus pelabuhan minyak terbesar Libya berada di kota Sidra, Ras Lanuf, dan Brega yang hanya berjarak sekitar 200 km arah timur kota Sirte. Tiga kota itu terkenal dengan sebutan area bulan sabit minyak. Area itu kini berada dalam kekuasaan pasukan loyalis Khalifa Haftar, pemimpin Tentara Nasional Libya (LNA) yang berpusat di Benghazi.
Menurut perusahaan minyak nasional Libya (Agoco/Arabian Gulf Oil Company), kerugian Libya mencapai 6 miliar dollar AS akibat area bulan sabit minyak tidak bisa memproduksi minyak setelah dikontrol pasukan loyalis Haftar.
Dalam upaya menurunkan ketegangan di Libya, Presiden Tunisia Kais Saied, Senin kemarin, mendadak mengunjungi Paris untuk bertemu Presiden Perancis Emmanuel Macron.
Harian berbahasa Arab, Al-Quds al-Arabi, menyebutkan, agenda utama kunjungan Saied ke Perancis untuk membahas isu Libya, selain hubungan bilateral Tunisia-Perancis.
Menurut harian tersebut, Tunisia kemungkinan mengajak Perancis untuk menghidupkan kembali upaya internasional dan regional mencari solusi politik di Libya untuk mencegah konflik militer langsung Mesir dan Turki di negara itu.
Perancis selama ini dikenal sebagai pendukung Jenderal Khalifa Haftar yang menguasai wilayah Libya timur. Adapun Tunisia bersikap lebih netral, tetapi mengakui GNA yang dipimpin PM Sarraj, yang lahir dari kesepakatan politik di kota Skhirat, Maroko, pada 2015.