Pandemi Covid-19 membangkitkan memori kelam pada krisis-krisis besar sebelumnya, seperti Depresi Besar, Perang Dunia, atau serangan 9/11. Krisis besar membawa perubahan besar dunia. Pandemi ini mempercepat akhir era AS.
Oleh
Mh Samsul Hadi, B Josie Susilo Hardianto & Kris Mada
·5 menit baca
Pembicaraan tentang akhir hegemoni AS dan kemerosotan kejayaannya sebetulnya bukan hal baru. Alexander Cooley dan Daniel H Nexon, penulis buku Exit from Hegemony: The Unraveling of the American Global Order, misalnya, mencatat prediksi kemerosotan AS dan pergeseran tata dunia sudah muncul pada pertengahan tahun 1980-an. Namun, hingga tiga dekade setelahnya, prediksi itu meleset. Bahkan, sejak runtuhnya Uni Soviet pada akhir 1991, AS menjadi ”kutub tunggal” hegemoni dunia berkat kemajuan inovasi teknologi dan pertumbuhan ekonominya. (Foreign Affairs, Juli/Agustus 2020)
Tanda kemerosotan hegemoni AS baru benar-benar terlihat nyata dalam empat tahun terakhir ketika Presiden Donald Trump terpilih memimpin negara itu dan mencanangkan kredo ”Kami tidak akan lagi menyerahkan negeri ini... pada kepalsuan lagu globalisme”. Hingga menjelang akhir masa jabatannya tahun ini, Trump dicatat telah mengikis 75 tahun kepemimpinan AS di panggung global.
Dengan slogan ”mengutamakan Amerika” (America first), ia menarik AS dari berbagai forum multilateral, mengkritik mitra aliansinya, dan meremehkan institusi ekonomi internasional. Ia juga memilih jalur bilateral dalam kerja sama antarnegara.
Tahun 2020, tahun terakhir kepemimpinan Trump di AS, sebelum ia berkesempatan memperpanjang jabatan untuk periode kedua melalui pemilu, November mendatang, muncul pandemi Covid-19. Hingga akhir Juni ini, lebih dari 9,7 juta warga dunia terinfeksi virus penyakit itu, dan lebih dari 490.000 orang meninggal. Pukulan serta efek akibat pandemi global saat ini mengingatkan banyak orang pada krisis-krisis besar dunia, yang juga membawa perubahan besar dunia.
Sejumlah pengamat menyebut pandemi saat ini mempercepat keruntuhan hegemoni AS. Sebelum pandemi, AS telah meninggalkan forum kesepakatan iklim Paris, perjanjian nuklir Iran, pakta perdagangan Trans-Pasifik, UNESCO, Dewan HAM PBB, dan lain-lain. Di tengah pandemi, Trump membekukan pendanaan bagi WHO dan mengancam keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia itu.
”Dalam beberapa tahun ke depan, pandemi ini bisa membawa pada kemunduran relatif AS, semakin terkikisnya tata internasional liberal, dan kebangkitan fasisme di seluruh dunia,” tulis Francis Fukuyama dalam Foreign Affairs, Juli/Agustus 2020.
Ia memperkirakan—di luar hal-hal positif yang ia catat—pandemi juga mempercepat berkembangnya nasionalisme, isolasionisme, xenofobia, dan serangan pada tata dunia liberal. Peningkatan nasionalisme akan meningkatkan pula potensi konflik internasional.
Di luar AS, muncul kekuatan besar lain yang berambisi merebut pengaruh global, seperti China dan Rusia. Ahli teori hubungan internasional merumuskan situasi itu dengan istilah ”problem anarki”, ditandai dengan pertarungan hegemoni, transisi kekuasaan, kompetisi demi keamanan, perebutan jangkauan pengaruh, dan kebangkitan nasionalisme. Tak banyak ruang bagi multilateralisme dan kerja sama. (G John Ikenberry, Foreign Affairs, Juli/Agustus 2020)
Pandemi Covid-19 mengakselerasi situasi anarki itu. Setelah pintu-pintu perbatasan negara ditutup guna mengerem laju penularan virus dan negara-negara lebih terfokus pada urusan dalam negeri, anarki antara lain tergambar dari langkah sejumlah negara mengamankan pasokan vaksin—yang masih dalam pengembangan—untuk negara mereka.
AS dan Inggris, misalnya, telah mengalokasikan miliaran dollar AS untuk mengamankan stok vaksin bagi negara sendiri. Hal serupa dimintakan mandatnya oleh Komisi Eropa pada negara-negara anggotanya.
Emanuel Capobianco, Direktur Kesehatan dan Keperawatan Federasi Palang Merah Internasional (IFRC), mengistilahkan fenomena itu dengan sebutan ”nasionalisme vaksin”. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus juga menyoroti persoalan ”kurangnya solidaritas global dan kepemimpinan global” menghadapi pandemi. Menurut dia, hal ini, bukan virusnya sendiri, merupakan sumber ketakutan terbesar dunia saat ini.
Kebangkitan China
Dunia tengah mengalami kekosongan pemimpin global ketika pandemi Covid-19 menghantam. Tata dunia juga mengalami pergeseran.
Sejumlah pengamat menyebut ada pergeseran kekuatan dan pengaruh dari Barat ke Timur. Pandemi Covid-19 bisa menjadi bagian dari seleksi alam. Asia Timur (China, Taiwan, Korea Selatan) mampu menangani krisis lebih baik daripada AS atau Eropa.
”Pandemi tak akan mengubah secara fundamental arah ekonomi global,” kata Kishore Mahbubani dari Asia Research Institute di National University of Singapore kepada Foreign Policy. ”(Pandemi) bakal mengakselerasi perubahan yang mulai terjadi: pergeseran dari globalisasi yang berpusat di AS kepada globalisasi yang lebih berpusat China.”
Saat ini, terlalu dini mengatakan bahwa China bakal menjadi pemimpin dunia, menggantikan AS. Meski mengalami kebangkitan luar biasa sejak membuka diri pada era Deng Xiaoping akhir 1970-an dan memulai konfrontasi dengan AS di bawah Xi Jinping dalam satu dekade terakhir, China belum menjadi kekuatan super di banyak bidang sekaligus: militer, finansial, ekonomi, hukum, budaya, dan lain-lain.
Namun, seperti kerap diingatkan banyak pihak, pergeseran kekuatan dan pergantian era kerap menghasilkan ketegangan, benturan, dan konfrontasi. Hal inilah yang terjadi sekarang dan pada tahun-tahun mendatang.
Jauh sebelum pandemi, AS telah bersaing dengan Rusia dan China. Dengan Rusia, persaingan AS terpusat di Eropa. Dengan China, AS berhadapan di seluruh benua. AS rutin menempatkan tiga kapal induk, diiringi ratusan pesawat tempur dan puluhan kapal perang, di sekitar Laut China Selatan. China pun menempatkan aneka persenjataan.
AS, China, dan Rusia terus membangun kekuatan ekonomi dan militer. Persenjataan hipersonik dan berbasis teknologi seluler generasi kelima terus dikembangkan tiga negara itu. Pengembangan kekuatan terus-menerus adalah satu dari tiga syarat pecahnya perang.
Syarat kedua adalah perebutan hegemoni. Sejarah mencatat, kekuatan baru cenderung memenangi perebutan hegemoni dari kekuatan lama. Hal itu terjadi pada Romawi, Spanyol, Inggris, dan Portugal yang pernah menguasai lebih dari separuh wilayah Bumi di masa lalu.
”Kekuatan lama punya keterbatasan,” kata Andi Widjajanto, pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, dalam diskusi virtual ”Geopolitik Energi di Laut China Selatan” yang diselenggarakan Purnomo Yusgiantoro Center, 20 Juni 2020.
Konfrontasi AS-China berlangsung di berbagai front: geopolitik, ekonomi, militer, telekomunikasi, teknologi luar angkasa, militer, media, kesehatan, dan sebagainya. Di sisi lain, dunia mencatat kebangkitan populisme nasionalis di berbagai kawasan yang—seperti disebut di awal—meningkatkan potensi konflik internasional. Figur pemimpin, seperti Xi Jinping (China), Vladimir Putin (Rusia), Recep Tayyip Erdogan (Turki), Viktor Orban (Hongaria), atau Rodrigo Duterte (Filipina), kerap dikelompokkan mewakili kebangkitan populisme nasionalis itu.
Merawat kemitraan
Di tengah pergolakan saat ini, muncul pertanyaan soal nasib multilateralisme dan lembaga- lembaga penopangnya. Multilateralisme, salah satu pilar penyangga kemitraan, terancam bersamaan terkikisnya tata dunia dan sistem internasional berbasis aturan. Bagi Indonesia dan negara setara, perkembangan ini merugikan. Indonesia bisa menolak klaim China di Laut China Selatan karena ada mekanisme multilateral.
Kebutuhan akan multilateralisme semakin mendesak di tengah pandemi sekarang. Dunia memerlukan kerja sama untuk menemukan vaksin, memulihkan ekonomi, dan membuka lagi pagar-pagar perbatasan negara yang dikunci akibat pandemi.
Tak bisa dimungkiri, pandemi juga mengubah protokol diplomasi antarnegara. Komunikasi melalui telekonferensi menjadi pilihan untuk menjaga relasi. Berbagai pertemuan, seperti KTT ASEAN, G-7, G-20, Uni Eropa, sidang tahunan WHO, hingga Sidang Majelis Umum PBB yang akan datang, digelar virtual. Dunia dituntut beradaptasi dan menciptakan cara baru. Salah satu tantangan di tengah pandemi saat ini, seperti diungkapkan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, adalah menjamin agar lalu lintas barang tak mengalami hambatan di tengah pandemi.
Dengan platform apa pun relasi itu dijalin, kemitraan, multilateralisme, dan tata dunia berbasis aturan mutlak perlu dijaga. Pertanyaannya, saat kekuatan utama dunia, AS dan China, sulit diharapkan terkait rivalitas keduanya, siapa yang dapat diandalkan menyelamatkan semua itu?
Muncul harapan pada negara-negara kekuatan menengah (middle power), seperti Jepang, Jerman, Perancis, Swedia, Kanada, Norwegia, India, dan bahkan—The Economist (18 Juni 2020) menyebut juga—Indonesia, agar tampil sebagai penyelamat. Mereka menjadi tumpuan harapan menggalang upaya dunia keluar dari pandemi Covid-19.
------
Baca juga laporan edisi khusus "Wajah Baru Dunia":