AS dan dua kubu di Israel belum bulat dalam melaksanakan rencana aneksasi sebagian wilayah di Tepi Barat, 1 Juli ini. Di pihak lain, Otoritas Palestina menawarkan kesiapan berunding dengan Israel.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
KAIRO, KOMPAS — Rencana Israel menganeksasi Lembah Jordan dan area permukiman Yahudi di Tepi Barat, yang menurut rencana akan dilaksanakan mulai Rabu (1/7/2020), berpeluang ditunda. Sinyal ini dilaporkan media Israel, seperti harian Maariv, Senin (29/6/2020), yang mengungkapkan ada isyarat kuat bahwa Israel tidak akan melaksanakan aneksasi wilayah di Tepi Barat pada awal Juli ini.
Rencana aneksasi wilayah di Tepi Barat merupakan bagian dari proposal damai Amerika Serikat—dikenal dengan sebutan ”Transaksi Abad Ini”—yang diumumkan Presiden AS Donald Trump pada Januari 2020. Aneksasi wilayah di Tepi Barat akan dilakukan dengan imbalan bahwa Palestina akan mendapatkan wilayah di Gurun Negev, dekat Jalur Gaza, dan perbatasan Israel-Mesir. Palestina menolak keras proposal tersebut.
Opsi penundaan aneksasi tersebut mencuat setelah muncul perbedaan pendapat antara mitra koalisi pemerintahan darurat nasional Israel, yakni Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dari Partai Likud, dan Menteri Pertahanan Benny Gantz dari Partai Biru-Putih. Netanyahu bersikeras, proses aneksasi bisa dimulai 1 Juli ini. Di depan Fraksi Partai Likud di Knesset (parlemen), ia menegaskan bahwa pelaksanaan aneksasi wilayah di Tepi Barat tidak tergantung pada mitra Partai Biru-Putih.
Gantz membalas bahwa tanggal 1 Juli bukan jadwal sakral. ”Mengurus virus korona dan dampak ekonomi, sosial, serta kesehatannya adalah masalah lebih penting saat ini,” ujar Gantz, seperti dikutip Times of Israel dan Yedioth Ahronoth.
Perbedaan pendapat juga masih terjadi antara Netanyahu dan tim dari Amerika Serikat (AS) tentang peta dan jadwal pelaksanaan aneksasi. Tim dari AS, yang terdiri dari penasihat politik Presiden Trump yang juga menantunya, Jared Kushner, dan Utusan Khusus AS untuk Timur Tengah Avi Berkowitz, Jumat lalu, tiba di Israel untuk membahas rencana aneksasi di Tepi Barat dengan Pemerintah Israel.
Ketika bertemu tim dari AS, Gantz mengatakan, pelaksanaan aneksasi pada 1 Juli itu bukan jadwal yang sakral. Menurut dia, lebih baik mengutamakan agar rakyat Israel bisa pergi ke tempat kerja mereka secara aman sebelum memaksakan menggerakkan diplomasi terkait aneksasi.
Kushner meminta Netanyahu lebih berhati-hati dalam melaksanakan rencana aneksasi di Tepi Barat. Ia khawatir, Palestina membalas dengan mendeklarasikan negara Palestina dengan ibu kota Jerusalem Timur dan mendapat pengakuan internasional. Ia meminta lebih banyak waktu lagi untuk membahas gambaran peta di Tepi Barat yang akan dianeksasi.
Raja Jordania Abdullah II, ketika bertemu Direktur Mossad Yossi Cohen, pekan lalu, di Amman, seperti dilansir televisi Israel, Saluran 13, juga menegaskan menolak keras aneksasi Israel atas Lembah Jordan baik secara luas maupun terbatas.
Abdullah II menyampaikan, aneksasi Israel atas Lembah Jordan akan mengancam keamanan nasional Jordania. Ia mengatakan telah menyampaikan sikap Jordania itu kepada AS, Eropa, Rusia, dan China.
Jordania adalah negara Arab kedua setelah Mesir yang mencapai kesepakatan damai dengan Israel pada tahun 1994. Jordania sangat khawatir, jika Israel menganeksasi Lembah Jordan, hal itu akan kian memperkuat Jordania sebagai alternatif negara Palestina kelak. Israel sejak lama mendengungkan propaganda bahwa wilayah negara Palestina berada di tepi timur Sungai Jordan atau wilayah negara Jordania saat ini.
Sikap Palestina
Adapun Otoritas Palestina, dalam surat kepada Quartet (PBB, Uni Eropa, AS, dan Rusia) menyatakan siap kembali berunding dengan Israel. Bahkan, Palestina setuju ada ”perubahan kecil perbatasan yang bakal disepakati bersama sesuai garis perbatasan 4 Juni 1967” saat Israel menduduki Tepi Barat.
Negosiasi Palestina dan Israel terhenti sejak 2014. Palestina juga memutus sama sekali komunikasi dengan Israel, beberapa waktu terakhir. ”Jika Israel mendeklarasikan aneksasi bagian mana pun dari wialyah teritorial Palestina, itu berarti pembatalan seluruh kesepakatan yang telah ditandatangani,” tulis Otoritas Palestina dalam surat berisi empat halaman kepada Quartet.
”Tidak ada siapa pun yang lebih menginginkan kesepakatan damai dibandingkan Palestina. Tidak ada pula yang lebih rugi dari Palestina jika perdamaian tidak terwujud,” demikian tertulis dalam surat itu.
Otoritas Palestina menambahkan, mereka menerima kehadiran pasukan internasional, seperti NATO, atas mandat PBB untuk memonitor kepatuhan pada hasil perjanjian damai yang nanti dihasilkan.
Komisioner PBB untuk HAM, Michelle Bachelet, menegaskan, aneksasi Israel atas wilayah di Tepi Barat seluas 30 persen atau hanya 5 persen adalah ilegal. Dampak aneksasi itu tidak dapat diprediksi, bisa menjadi bencana bagi Palestina, Israel, dan Timur Tengah.
Salah seorang juru bicara faksi Fatah, Riyadh Naser, mengungkapkan, Jalur Gaza akan menggelar pawai rakyat mulai hari Rabu ini melawan rencana aneksasi Israel atas wilayah di Tepi Barat.
Reaksi di Indonesia
Di Jakarta, Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat RI mengecam rencana aneksasi Israel tersebut. Tindakan itu dipandang sebagai upaya kolonialisasi terhadap Palestina, yang memiliki hak sebagai bangsa untuk merdeka dan berdaulat.
Dalam keterangan pers Komisi I DPR RI, Selasa, Komisi I DPR menyatakan, tindakan Israel itu hanya akan memperburuk upaya perdamaian Palestina dan Israel. ”Tindakan itu menambah panjang daftar pelanggaran HAM terhadap warga Palestina, terutama perempuan dan anak-anak,” kata Abdul Kharis Almasyhari, Wakil Ketua Komisi I DPR.
Ia menambahkan, tindakan Israel itu bertentangan dengan hukum, prinsip, dan kesepakatan internasional soal resolusi Dewan Keamanan PBB terkait konflik Palestina dan Israel.
Kecaman terhadap Israel juga disampaikan oleh Wahid Foundation. Direktur Wahid Foundation Yenny Zannuba Wahid dalam keterangannya, Selasa, mengatakan, langkah Israel tidak bisa dilepaskan dari agenda yang didorong AS.
”Rencana kebijakan Perdana Menteri Netanyahu mencaplok wilayah Tepi Barat itu contoh ketidakadilan yang nyata, bukan hanya bagi Palestina, melainkan juga bagi dunia. Keadilan bukan hanya penting, melainkan juga fundamental. Inilah makna dari perkataan ’perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi’,” ujarnya menyitir pernyataan dari KH Abdurrahman Wahid.
”Rencana ilegal Israel itu juga berpotensi makin meningkatkan sentimen radikal-ekstremis dan bara konflik di kawasan,” kata Yenny. (AFP/REUTERS/RAZ/REK)