Saling Tuding Perancis dan Turki Ganggu Soliditas NATO
Insiden yang melibatkan kapal fregat Courbet milik Perancis dan kapal perang Turki yang mengawal kapal kargo berbendara Tanzania berbuntut pada keluarnya Perancis dari Operasi Gabungan NATO.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
PARIS, SENIN — Saling tuding di antara dua anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara, yakni Perancis dan Turki, kini mengganggu soliditas di tubuh aliansi tersebut. Kantor berita AP, Minggu (5/7/2020), melaporkan, saling tuding terjadi setelah Perancis tak bersedia ikut serta mengirimkan kapal perang untuk memantau situasi keamanan di Laut Mediterania, Kamis lalu.
Perancis juga mendesak Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) untuk bersikap soal keterlibatan Turki yang membuat perang saudara di Libya semakin panas. Sebaliknya Turki menuding Perancis memorakporandakan perdamaian regional Afrika Utara dan bermain mata dengan milisi pimpinan Jenderal Khalifa Haftar, yang berseberangan posisi dengan dunia internasional di Libya.
Pertikaian ini bermula dari insiden yang melibatkan kapal patroli Perancis yang tergabung dalam operasi gabungan, yaitu Operasi Penjaga Lautan. di wilayah Laut Mediterania tengah. Dalam operasi itu, selain kapal perang jenis fregat Courbet, operasi juga melibatkan kapal perang dan kapal selam milik Angkatan Laut Italia.
Sementara untuk patroli udara, pesawat tempur milik Turki dan Yunani ikut serta dalam operasi gabungan yang berlangsung 27 Mei hingga 16 Juni lalu.
Konflik sesama anggota NATO ini terjadi pada 10 Juni lalu ketika Courbet yang dikomandoi Kapten Guillaume Tandonnet memeriksa sebuah kapal ro-ro berbendera Tanzania, Cirkin. Namun, kapal kargo berbobot mati 5.846 ton ini tidak bisa didekati Courbet karena mendapat pengawalan tiga kapal perang Turki.
Dikutip dari laman BBC, kapal Cirkin, menurut keterangan Pemerintah Turki, mengangkut perlengkapan medis saat itu. Namun, keterangan itu berbeda dengan keterangan yang didapat Tandonnet.
Kementerian Pertahanan Perancis menyatakan, Courbet mendekat ke Cirkin karena berdasarkan informasi intelijen NATO bahwa kapal sipil dapat terlibat perdagangan senjata ke Libya, yang tengah berkonflik. Pemeriksaan urung terjadi karena salah satu kapal perang milik Angkatan Laut Turki berlaku agresif dan menargetkan persenjataan mereka sebanyak tiga kali ke Courbet.
Ismail Hakki Musa, Duta Besar Turki untuk Perancis, dalam penjelasannya di hadapan para senator Perancis, Kamis pekan lalu, membantah bahwa kapal perang milik Angkatan Laut Turki menarget Courbet. Sebaliknya, dia menuding Angkatan Laut Perancis melecehkan konvoi kapal perang Turki.
Setelah pertemuan itu, Kementerian Pertahanan Perancis merilis keterangan kejadian versi mereka dan menyatakan mereka tidak akan ambil bagian dalam operasi gabungan NATO sampai sekutu-sekutu mereka di aliansi itu memiliki komitmen yang sama tentang penerapan embargo senjata di Libya dan sejumlah tuntutan lain.
Markas NATO menolak memberikan rincian kejadian itu kepada publik dengan menyebut bahwa laporan tersebut bersifat rahasia.
Tidak lama setelah Kementerian Pertahanan Perancis mengumumkan kejadian versi mereka, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu menuduh Perancis berbohong.
”Kami telah membuktikan kejadian ini dengan mengirim laporan dan dokumen kepada NATO. NATO melihatnya sebagai sebuah kebenaran. Untuk itu, kami berharap Perancis meminta maaf, tanpa jika atau tetapi, karena tidak memberikan informasi yang benar,” kata Cavusoglu.
Sebaliknya, Presiden Perancis Emmanuel Macron menuding Turki mengabaikan komitmennya sebagai anggota NATO dengan meningkatkan kehadiran militernya di Libya. Militer dan Pemerintah Turki bahkan memboyong para pejuang dan tentara bayaran dari Suriah untuk bertempur di Libya.
”Kami memiliki hak untuk mengingatkan dan mengharapkan lebih dari Turki daripada dari Rusia mengingat Turki adalah anggota NATO,” kata Macron. Tindakan Turki terlibat dalam konflik Libya, menurut Macron, selain tanggung jawab historis, juga memiliki dampak pidana.
Kontroversi Turki
Sepak terjang Turki di Libya menjadi kontroversi tersendiri bagi NATO. Meski bersama-sama PBB mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) pimpinan Perdana Menteri Fayez al-Sarraj, sepak terjang Turki sering kali di luar kendali dunia internasional, termasuk di dalamnya NATO.
Sepak terjang Turki di Libya, seperti halnya sepak terjang negara ini di Suriah, membuat gerah Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi. Dia menyatakan, Mesir siap berperang dengan Turki dan pasukan GNA yang didukungnya apabila berani melewati garis depan milisi pimpinan Jenderal Khalifa Haftar di Benghazi Timur, yang didukung Mesir.
Dukung-mendukung dan saling mengerahkan senjata, termasuk artileri berat, menjadi hal yang dicemaskan PBB. Alih-alih membawa perdamaian, meredakan konflik, peran Turki di Libya malah memancing konflik yang semakin dalam di negeri kaya minyak ini.
Secara kasatmata, Turki dan Rusia melanggar embargo senjata yang disetujui pada konferensi perdamaian di Berlin, Januari 2020. Sebuah hal mendasar, yang menurut Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg, harus dihormati dan dilaksanakan oleh setiap negara anggota NATO, termasuk di dalamnya adalah embargo senjata.
Pernyataan Stoltenberg dinilai hanya wacana di atas kertas belaka. Mantan utusan PBB untuk Libya, Ghassan Salame, Selasa (30/6/2020), mengatakan, di atas kertas, negara-negara memang menyatakan dukungannya atas embargo senjata. Namun, di lapangan, berdasarkan foto-foto yang dia peroleh, pengiriman senjata terus-menerus terjadi dan sangat masif. Bahkan, anggota Dewan Keamanan PBB pun terjun dalam pengiriman senjata dan para tentara bayaran ke Libya.
Sejauh ini NATO belum mengeluarkan pernyataan resmi tentang hubungan yang semakin memanas sesama anggota itu. Kanselir Jerman Angela Merkel menyatakan, insiden antara kapal perang Perancis dan Turki adalah sebuah hal yang serius. Dia berharap ada penyelesaian di antara mereka dan kejadian yang sama tidak terulang kembali. (AP)