Metode baru pertanian padi bisa menghemat air dan biaya buruh. Sayangnya, metode baru bisa memicu pengangguran dan membutuhkan lebih banyak pupuk.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Setiap musim tanam, ratusan ribu orang berdatangan ke sawah-sawah di berbagai penjuru India. Mereka mencari upah dengan menjadi tenaga harian lepas yang bertugas menanam bibit padi. Musim tanam kali ini, hal seperti itu tidak lagi terlihat.
Petani di Negara Bagian Haryana, Ravidra Kajal (46), harus mengubah cara menanam yang telah diterapkan leluhurnya sejak dulu. Pada musim tanam 2020, sawah 3,6 hektar miliknya di Desa Raiput Jattan tidak lagi didatangi buruh harian lepas yang berasal dari berbagai negara bagian di luar Haryana.
Di musim tanam sebelumnya, mudah sekali mencari pekerja harian lepas yang mayoritas datang dari berbagai daerah dan negara bagian lain. Dengan limpahan tenaga kerja, Kajal menanam sawahnya dengan cara terlebih dulu membasahi lahan dari aliran irigasi. Setelah itu, ia merekrut banyak pekerja harian lepas untuk menanam bibit padi.
Kini, pekerja harian lepas sulit didapat. Pandemi Covid-19 membuat India memerintahkan isolasi dan pembatasan gerak di banyak daerah. Akibatnya, pekerja yang telanjur pulang kampung tidak bisa kembali ke daerah-daerah yang menyediakan lapangan kerja.
Karena kesulitan mendapat buruh tanam, Kajal menyewa mesin penebar benih. Pemerintah Haryana menyebut penggunaan mesin itu sebagai metode penanam padi secara langsung (DSR). Dari sisi dana, Kajal memang bisa menghemat hingga 71,100 rupee untuk biaya tanam musim ini.
Namun, ia tetap cemas. ”Karena terbiasa dengan cara lama menanam padi, saya menggunakan metode baru dengan sejumlah kekhawatiran,” ujarnya.
Ia tidak sendiri. Banyak petani lain di Haryana dan Punjab, yang terletak di sebelah Haryana, harus menggunakan mesin tanam gara-gara kelangkaan buruh tanam. Seperti Kajal, banyak petani di Punjab dan Haryana khawatir dengan metode baru itu.
Padahal, penggunaan metode baru menunjukkan hasil lebih baik. Di Punjab, lokasi Revolusi Hijau yang memicu peningkapan sawah di India pada dekade 1960-an, penggunaan DSR membuat setiap meter persegi lahan bisa ditanami hingga 30 bibit. Dengan metode tanam manual, paling banyak 18 bibit di setiap meter persegi lahan.
Sepanjang 2020, penggunaan DSR membuat petani Punjab bisa menanam 500.000 hektar sawah pada 2020. Pada 2019, dengan metode lama yang memanfaatkan buruh tanam, hanya 50.000 hektar sawah bisa ditanami. ”Ini revolusi pada pertanian India,” kata Menteri Pertanian Punjab Kahan Singh Pannu.
Ia berharap semakin banyak petani menggunakan DSR pada tahun-tahun mendatang. ”Semakin banyak petani menggunakan DSR, sawah 2,7 juta hektar bisa terwujud tahun depan. Ini akan menjadi terobosan produksi beras India,” katanya.
Namun, Avinash Kishore mengingatkan untuk bersabar. Peneliti pada International Food Policy Research Institute (IFPRI) itu mengatakan, penggunaan DSR akan meluas jika panen tahun ini bagus. ”Perubahan (dari manual ke) DSR tahun ini adalah momentum bagi perubahan pertanian padi di India,” ujarnya.
Petani berpendapat senada. Oktober 2020 adalah bulan penentuan DSR akan digunakan lebih luas atau tidak. Pada Oktober nanti, padi hasil semaian dengan DSR dijadwalkan mulai bersemi dan berbulir. ”Teknologi baru memang menghemat air dan buruh. Akan tetapi, ujian sebenarnya ada di produktivitas dan petani tidak akan yakin sampai melihat padi tumbuh di sawah,” kata seorang petani, Ashok Singh.
Terpaksa karena mahal
Seperti di negara lain, India memang belum terbiasa menggunakan mesin tanam untuk padi sawah. Vietnam dan Thailand yang sama-sama produsen beras utama dunia juga belum terlalu banyak menggunakan mesin tanam. Agronomis International Rice Research Institute (IRRI), Sudhanshu Singh, mengatakan, penggunaan DSR mungkin salah satu dampak positif yang amat jarang dari pandemi Covid-19.
Memang, petani di pusat-pusat produksi padi India menggunakan DSR dengan keterpaksaan. Petani Punjab dan Haryana harus mengeluarkan biaya lebih besar jika menyewa buruh tanam dari sekitar tempat tinggal mereka. Di sisi lain, pekerja dari negara bagian lain belum kunjung datang saat musim tanam dimulai. Semua masih berada di kampung halaman masing-masing karena pembatasan gerak untuk mengendalikan laju infeksi Covid-19 di India.
Peneliti di Punjab Agricultural University, Jaskaran Signh Mahal, mengatakan bahwa upah buruh tanam lokal naik dari rata-rata 1.500 rupee menjadi 4.500 rupee per 0,4 hektar. Untuk setiap 0,4 hektar sawah, butuh hingga 12 buruh tanam. Sementara biaya operasional mesin tanam paling mahal hanya 6.000 rupee per 0,4 hektar. Setiap mesin bisa dipakai untuk menanam hingga 12,1 hektar sawah per hari. ”Selain menghemat biaya rutin untuk air dan buruh tanam, DSR membawa perubahan, tidak seperti metode lama yang butuh waktu banyak,” kata Devinder Singh Gill, petani di Distrik Moga, Punjab.
Dengan metode lama, bibit harus disemai sampai 30 hari, selanjutnya dipindahkan ke sawah. Sementara dengan DSR, bibit bisa langsung ditanam ke sawah.
DSR juga memangkas penggunaan air hingga 60 persen. Dengan metode lama, butuh hingga 5.000 liter air untuk produksi setiap kilogram beras. Sementara dengan DSR, kebutuhan air bisa ditekan hingga 2.000 liter untuk setiap 1 kg beras.
Masalahnya, DSR membutuhkan lebih banyak pupuk dibandingkan dengan metode biasa. Meskipun demikian, Kajal menilai biaya penggunaan DSR tetap lebih hemat dibandingkan dengan metode lama.
Persoalan lain adalah penggunaan DSR bisa memicu pengangguran. Sebab, lebih sedikit buruh tanam yang dibutuhkan. (REUTERS)