Tejasvi Duseja, pekerja kapal India, sudah tak tahan ingin pulang ke rumah. Ia sudah berbulan-bulan tersandera di kapal gara-gara kebijakan karantina dan penutupan hampir semua negara untuk mencegah persebaran Covid-19.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Duseja tak sendiri. Sedikitnya 200.000 pekerja kapal di seluruh dunia juga bernasib sama, mulai dari pekerja teknisi di kapal kargo sampai pramusaji di kapal pesiar mewah.
Krisis kemanusiaan, istilah yang digunakan PBB, tak hanya terjadi pada korban Covid-19. Krisis itu juga menimpa mereka yang terimbas secara tidak langsung. Para pekerja yang berada di kapal tak bisa digantikan oleh pekerja lain karena tidak ada yang boleh naik dan turun kapal.
”Secara mental jelas saya sudah drop. Tetapi, saya berusaha bertahan karena tidak ada pilihan lain,” kata Duseja (27) kepada kantor berita AFP melalui Whatsapp dan Facebook Messenger, akhir Juni lalu.
Kapal kargo milik India, tempat kerja Duseja, kini terapung-apung di perairan dekat Malaysia. Bersama Duseja, ada sedikitnya 30.000 pekerja asal India yang tidak bisa meninggalkan kapal. Mereka baru saja memperpanjang kontrak selama tujuh bulan, beberapa bulan sebelum pandemi Covid-19. ”Terakhir kali saya turun dari kapal sepanjang 200 meter ini pada Februari,” tutur Duseja.
Para pekerja di laut biasanya bekerja selama 6-8 bulan di kapal. Setelah itu, mereka kembali ke kampung halaman masing-masing. Mereka akan digantikan oleh kru-kru yang baru. Namun, karena pandemi ini melumpuhkan perjalanan internasional, pergantian pekerja tidak mungkin dilakukan.
Untuk membantu para pekerja di laut, lebih dari selusin negara pada Pertemuan Internasional Maritim yang diselenggarakan Inggris pada bulan ini berjanji akan mengakui para pekerja di laut itu sebagai ”pekerja penting”. Harapannya, dengan status itu, mereka akan bisa dipulangkan.
Senasib dengan Duseja, teknisi kapal pesiar mewah Filipina, Cherokee Capajo (31), juga terdampar empat bulan di kapal tanpa pernah sekalipun menginjakkan kaki di darat gara-gara pandemi. Capajo sama sekali tidak mendengar ada kabar tentang Covid-19 saat ia naik ke kapal bernama ”Carnival Ecstasy” di Florida, Amerika Serikat, akhir Januari lalu.
Tak berapa lama kemudian, sejumlah kapal pesiar yang juga milik Carnival tak bisa berlabuh di mana pun. Salah satu kapal pesiar itu adalah Diamond Princess di Jepang. Sejak para penumpang Carnival Ecstasy naik ke kapal dari Jacksonville, 14 Maret lalu, Capajo dan teman-temannya harus tetap tinggal di kapal selama tujuh pekan berikutnya.
Akhirnya, pada 2 Mei lalu, kapal itu berlayar ke Bahama. Di sana, Capajo dan 1.200 kru kapal dipindahkan ke kapal yang lain yang kemudian membawa mereka ke Jakarta, lalu sampai di Manila Bay pada 29 Juni. Capajo langsung mencium daratan begitu ia akhirnya boleh turun dari kapal setelah menyelesaikan karantina selama dua pekan.
”Ini pengalaman hidup saya yang terberat karena setiap hari kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Setiap hari saya khawatir, tidak tahu kapan bisa pulang dan berapa lama harus di kapal. Sedih sekali rasanya,” kata Capajo melalui aplikasi pertukaran pesan Facebook Messenger, pekan lalu.
Jumlah warga Filipina yang bekerja di laut mencapai hampir seperempat dari total seluruh pekerja di laut di dunia. Sekitar 80.000 pekerja Filipina tersandera di kapal karena pandemi. Selama berbulan-bulan mereka tersandera di kapal tanpa harapan kapan akan bisa pulang. Banyak pekerja di laut itu stres dan depresi.
Bahkan, ada yang memilih bunuh diri. Ada satu kasus pekerja Filipina tewas karena melukai diri sendiri di kapal pesiar Scarlet Lady saat berlabuh di Florida, Mei lalu. Kelompok industri perkapalan mengkhawatirkan kondisi para pekerja ini dan kecenderungan mereka untuk melukai diri sendiri dan bunuh diri. Kekhawatiran ini diungkapkan dalam surat bersama mereka kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres. Dalam surat itu disebutkan bahwa ada sejumlah pekerja yang bahkan telah bertugas di laut selama 15 bulan.
Padahal, dalam ketentuan Organisasi Buruh Internasional (ILO), Seafarers\' Bill of Rights, jam kerja setiap pekerja di laut dalam satu kali perjalanan dibatasi kurang dari 12 bulan.
Keluarga menanti
Ketegangan dan kekhawatiran para pekerja juga dirasakan oleh keluarga mereka yang menanti di rumah. Priyamvada Basanth yang tinggal di kota Kochi, India, tidak tahu kapan bisa bertemu dengan suaminya yang telah bekerja di kapal milik perusahaan Hong Kong selama delapan bulan. ”Pemerintah tidak melakukan apa pun. Saya cuma mau suami saya pulang,” ujarnya.
Lala Tolentino dari kelompok pendukung pekerja di laut yang berkantor di Filipina mengatakan, pihaknya menerima ratusan permintaan bantuan dari para pekerja yang tersandera sejak Maret lalu. ”Mereka ingin tahu, apa yang akan terjadi pada mereka dan ke mana tujuan mereka. Mereka juga ingin tahu, kapan mereka bisa turun dari kapal,” ujarnya.
ILO menyebutkan, banyak pekerja di laut yang terjebak di kapal yang sudah selesai jam kerjanya sejak empat bulan lalu. Mereka sudah lelah karena selama itu mereka tetap harus bekerja.
Bagi Duseja yang berasal dari kota Dehradun, kaki gunung Himalaya, India, kini nasibnya sudah agak jelas karena ia sudah diberitahu akan bisa dipulangkan pada pertengahan Agustus mendatang. ”Sekarang saya masih di kapal, tetapi saya merasa jauh lebih baik karena ada kabar baik itu,” ujarnya. (AFP)